POLITIK DAGANG
Hubungan Portugis dengan Sunda
Pada tahun 1511 armada Demak sedang berada di Cirebon. Hal ini dianggap mengancam kedaulatan Pajajaran, terutama pasca Cirebon menyatakan diri sebagai negara merdeka. Oleh karena itu Sri Baduga mengutus putra mahkotanya, yakni Surawisesa untuk mengadakan hubungan dengan Portugis.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521).
Hasil kunjungan pertama bersifat penjajakan, pada tahun 1513 Portugis tiba diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan tersebut disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Kisah ini dimuat didalam Pustaka Nusantara III/1. Naskah tersebut sebagai berikut :
• Karena itu Sang Prabu Pakuan Pajajaran mengutus putera mahkota yaitu Ratu Sangian atau Prabu Surawisesa. Duta Kerajaan Pajajaran ini menuju ke negeri Malaka. Di sana sang duta menegadakan persahabatan dengan pemimpin (nerpati) orang Portugis yang bernama Laksamana Bungker.
• Ia telah berjanji akan selalu membantu Kerajaan Pajajaran bila diserang oleh Pasukan Demak dan Cirebon serta ingin menjalin hubungan dagang. Setahun kemudian orang-orang Portugis berkunjung ke Pulau Jawa. Jumlah kapalnya 4 buah.
• Mereka menginggahi semua pelabuhan yang ada di negeri Sunda, dan sang bule membuat surat kelak ketika sang putra mahkota telah menjadi ratu Sunda dengan gelar Prabu Surawisesa. [RPMSJB, Jilid ke-4, 16].
Surawisesa ketika itu masih menjadi Prabu Anom. Kelak dikemudian hari para penulis babad dan petutur pantun mengisahkan lalampahannya ini di dalam Lalakon Salaka (mungkin sakakala) Domas, dengan nama Munding Laya Dikusumah, sedangkan orang Purtugis digambarkannya sebagai Guriang.
Menurut Tome Pires orang Portugis yang mengikuti pelayaran penjajakan pada bulan Maret – Juni 1513, menyatakan, bahwa pada saat itu Portugis telah berhasil menguasai perairan Malaka.
Pada tahun 1522 Surawisesa naik tahta. Penobatannya dihadilir utusan Portugis di Malaka. Pada akhir kunjungan tersebut utusan Portugis dengan Pakuan menandatangani perjanjian dengan Pajajaran. Perjanjian tersebut menurut Soekanto (1956) ditandatangai pada tanggal 21 Agustus 1522.
Ten Dam (1957) menganggap bahwa perjanjian itu dibuat secara lisan, akan tetapi sumber portugis yang dikutip oleh Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield” (Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu).
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Pajajaran akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun, untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua costumodos atau + 351 kuintal.
Perjanjian Pajajaran dengan Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggono, disebabkan Selat Malaka merupakan pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara yang sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus.
Trenggono mengirimkan armadanya di bawah pimpinan Senapati Demak, yakni Fadilah Khan. Pada saat itu Fadillah Khan telah memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana (Cirebon). Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya, yakni Barkat Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah.
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Pada masa itu Hasanudin sedang berusaha menjatuhkan tahta Ua nya, yakni Arya Surajaya.
Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten (Sang Arya Surajaya) beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya, Syarif Hidayat menjadi Bupati Banten pada tahun 1526.
Setahun kemudian Fadillah menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran. Menurut Versi lainnya pada masa itu Kalapa tidak dijaga ketat oleh Legiun Sunda, mengingat jarak Pajajaran dengan Kalapa diperkirakan dua hari (Tome Pires : 1453). Menurut versi lainnya, jarak tempuh dari Ibukota Pakuan ke Kalapa lewat perairan memerlukan waktu dua minggu.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan membawa 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa.
Pada tanggal 30 Juni 1527 di Muara Cisadane De Sa memancangkan padrao dan menjuluki Cisadane dengan nama Rio de Sa Jorge. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah.
Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Hubungan Portugis dengan Demak
Panembahan Hasanudin memiliki peranan yang cukup besar ketika ia masih berstatus Bupati bawahan Cirebon. Pada masa tersebut Sultan Trenggono mengutus adiknya, yakni Nyi Pembayun, isteri dari Fadillah Khan, meminta bantuan pasukan Banten agar bergabung dengan pasukan Fadillah Khan (Bupati Kalapa), untuk menaklukkan, Blambangan, Panarukan dan Pasuruan. Dalam penyerangan tersebut, Demak menyertakan Pasukan Portugis untuk membantunya.
Pada masa itu Demak tidak lagi memusuhi Portugis, bahkan Portugis diijinkan membuka kantor dagang di Banten Pasisir, serta menempatkan armada lautnya disana. Armada Portugis pada saat itu dipimpin oleh Tome Pinto (pelaku penanda tangan perjanjian Pajajaran – Portugis 21 Agustus 1522 M di Pakuan). Dari catatan Tom Pires inilah sejarah ini diketahui.
Mungkin cerita tersebut sangat menganggu mengingat peristiwa penandatanganan Perjanjian Pajajaran – Portugis di pahami sebagai kesalahan Pajajaran melakukan kolaborasi dengan pihak asing dalam mempertahankan kedaulatannya. Namun akan menjadi lain ketika mengetahui sejarah selanjutnya, terutama ketika Demak menyertakan Portugis untuk menaklukan Blambangan, Panarukan dan Pasuruan.
Begitu pula pandangan Demak. Awalnya dimasa pemerintahan Raden Patah sangat memusuhi Portugis. Namun ketika Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon sudah berada dibawah pengaruhnya, demi kepentingan perdagangan maka Demak tidak mengharamkan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis.
Ketika Banten Pasisir sudah berubah menjadi Kerajaan Surasowan, dunia perdagangannya semakin pesat. Islam telah mewarnai Surasowan menjadi Negara perniagaan. Menurut (Iskandar, 2005) dari catatan perjalanan dapat digambarkan sebagai berikut :
• Dari Malaka berlayar lagi, Setelah 17 hari, tibalah aku dipelabuhan Banten tempat yang biasa dikunjungi orang Portugis untuk berdagang. Disana keperluan untuk muatan kapal kita, merica, ketika itu sedang sangat jarang didapat diseluruh negeri. Karena itu kami terpaksa harus tinggal disini selama musim hujan.
• Telah berlangsung dua bulan lamanya kami dalam perdagangan yang menyenangkan disin, ketika raja Demak penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali, Madura, Angenia mengirim utusan kepada Tagaril, raja Sunda, meminta bantuan dengan pesan bahwa dalam tempo setengah bulan harus datang ke Jepara tempat peralatan perang sedang disiapkan untuk menyerang Pasuruan.
• Bala bantuan Banten ketika itu berkekuatan yang terdiri dari 30 calaluzes dan 10 jurupango diperlengkapi dengan keperluan perjalan dan peralatan perang. Dalam 40 kapal itu terdapat 7.000 orang diluar para pendayung. Sedangkan dari Portugis menyertakan 40 orang. Kesertaan Portugis tentunya setelah mendapat konsensi, bahwa Portugis akan dibantu di Banten, sehingga janji ini mendorong Portugis untuk membantu peperangan ini.
Dari catatan Tome Pinto, menyebutkan, bahwa Raja Sunda (Hasanudin) bertolak dari pelabuhan Banten pada tanggal 5 januari 1546 dan tiba pada tanggal 19 bulan itu dikota Jepara. Disana peralatan perang sedang disiapkan.
Terakhir
Dari catatan ini diketahui pula adanya kepentingan politik perdagangan antara Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak dengan Portugis. Walaupun 24 tahun yang lalu Portugis telah mengadakan perjanjian dagang dengan Pajajaran, namun kemudian berpaling dan mengikat persahabatan dengan negara-negara yang memiliki pelabuhan dagang. Pada waktu semua pelabuhan milik Pajajaran sudah direbut Demak. Hal ini ditegaskan dalam catatan Tome Pinto, bahwa raja Demak adalah penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali, Madura, Angenia.
Suatu hal yang jarang dibahas dalam kondisi ini, yakni kesempatan Pajajaran untuk menguasai kembali daerahnya yang telah direbut Cirebon – Demak. Keengganan Pajajaran untuk menggunakan kesempatan ini dimungkinkan karena penguasa Pajajaran percaya terhadap Perjanjian Cirebon – Pajajaran untuk tidak saling mengganggu. Dimasa kemudian, perjanjian ini menjadi haraus dilanggar, terutama ketika Hasanudin dan Panembahan Yusup merasa pelu untuk menaklukan Pajajaran (***)
MANURAJASUNYA
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Pada tahun 1535 masehi, atau dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai Sakakala untuk ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Surawisasa dipusarakan di Padaren.
Surawisesa begitu mencintai dan menghormati ayahnya, ia berupaya mempertahan keutuhan Sunda, namun tidak pernah ada kesempatan untuk tetap memajukannya kecuali terfokus mempertahankan dari gempuran Cirebon, Demak dan Banten. Upayanya ini ia dikenang dan dilantunkan dalam pantun serta dikisahkan dalam babad. Konon hanya Surawisesa dan Sri Baduga yang paling banyak dikisahkan petutur tradisional Sunda. Namun sejak Surawisesa purna tugas dan purna hirup, Pajajaran mengalam kemorosotan yang sulit dibangkitkan kembali. Mungkin masa tersebut adalah peralihan jaman, geus niti wancina nu mustari sangkan Pajajaran ganti ngaran, tileum heula terus ngaganti ngaran jadi Sunda anu anyar.
Surawisesa digantikan oleh Ratu Dewata, putranya yang bertahta di Pakuan pada tahun 1535 sampai tahun 1543. Ratu Dewata sangat berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani. Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara Sunatan, adat khitan pra Islam yang memang telah biasa dilakukan di kalangan raja Sunda, ia pun melakukan tapa Pwah – Susu, suatu kebiasaan adat yang hanya makan buah-buahan dan minum susu dan berperilaku sebagai raja resi.
Pelanggaran Perjanjian
Pada saat Ratu Dewata bertahta perjanjian perdamaian Pajajaran dengan Cirebon masih dianggap berlaku. Ratu Dewata sangat yakin perdamaian ini akan ditaati para pihak, sehingga ia tidak mempunyai prasangka buruk akan adanya pelanggaran perjanjian yang dilakukan pihak lain. Disamping itu, Ratu Dewata lebih banyak memilih menekuni masalah keagamaan dan berpuasa dibandingkan mengurus kenegaraan.
Anggapan Ratu Dewata tentu berlainan dengan Hasanudin dari Banten, yang pada saat itu ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran – Cirebon, Hasanudin melakukan penandatanganan perjanjian karena kepatuhannya kepada Syarif Hidayat, ayahnya. Hasanudin beranggapan bahwa perjanjian Cirebon dengan Pajajaran hanya menguntungkan Cirebon, samak sekali tidak menjamin kepentingan Banten, padahal wilayah kekuasaan Banten berbatasan langsung dengan Pajajaran.
Hasanudin secara diam-diam membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya pada saat terjadi huru hara di keraton Surasowan yang memaksa bupati Banten melarikan diri ke Pajajaran, kemudian menjadikan Hasanudin sebagai bupati Banten dibawah vassal Cirebon. Pasukan ini oleh Belanda dinamakan rover karena dianggap sering mengganggu ketertiban, sedangkan penulis Carita Parahyangan menyebutnya “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya).
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Disamping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan serangan Banten tidak mampu menembus Pakuan.
Didalam prasasti batu tulis dituliskan, bahwa Sri Baduga membuat benteng Pakuan yang kokoh. Hal yang sama disebutkan didalam naskah Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 dengan istilah Amateguh Kadatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud “membuat parit” (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.
Posisi Pakuan sangat strategis untuk pertahanan, karena berada pada permukaan yang tinggi atau Lemah Duwur – Lemah Luhur, Van Riebeeck menyebutnya “bovenvlakte”. Pada posisi ini pasukan pengawal keraton sangat leluasa untuk memantau sekelilingi luar istana, sehingga mempermudah untuk mengetahui manuver musuh.
Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi 3 batang sungai pernah dijadikan pemukiman lemah duwur sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi. Lokasi Pakuan merupakan lahan Lemah Duwur yang satu sisinya terbuka menghadap Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah. Tipe Lemah Duwur biasanya dipilih masyarakat dengan latar belakang kebudayaan Huma (Ladang). Kota-kota seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur, dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan Perkebunan.
Lainnya halnya dengan yang disebut dengan Garuda Ngupuk, biasanya digunakan masyarakat yang berlatar belakang Kebudayaan Sawah. Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan. Kota demikian seperti Garut, Bandung dan Tasikmalaya.
Pasukan Hasanudin setelah gagal merebut benteng kota, bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan lemah larangan (Kabuyutan) di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri, Daerah tersebut pada masa Sri Baduga merupakan desa Kawikwan yang dilindungi oleh negara, mungkin juga Hasanudin menyerang ketiga wilayah ini bertujuan menghancur- kan ‘dangiang kerajaan’, atau untuk mengalihkan perhatian pasukan Sunda agar keluar menyerang di luar Benteng.
Penulis Carita Parahyangan menyebutkan adanya penyerangan dan pembunuhan para pandita, sebagai berikut .
Hana pandita sakti diruksak, pandita di Sumedeng. Sang panadita di Ciranjang pinejahan tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. / Sang pandita di Jayagiri Iinabuhaken ring sagara. / Hana sang pandita sakti hanteu dosana.
Ngarajaresi di jaman Susah
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus “memerintah dengan baik”. Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan Manurajasunya seperti yang telah dilakukan oleh Wasitu Kancana.
Kepribadian Ratu Dewata yang ngarajaresi di masa perang mungkin dianggap kurang tepat, bahkan ada yang berpendapat, bahwa hal tersebut dilakukan karena ia tidak mampu menghadapi kenyataan. Penulis carita parahyangan kemudian berkomentar pendek ‘Samangkana ta precinta’ (begitulah jaman susah).
Perilaku Ratu Dewata di sindir oleh penulis Carita Parahyangan. “Nya iyatnayatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (ya berhati-hatilah orang-orang yang kemudian, janganlah engkau kalah perang karena rajin puasa). Memang seolah-olah ada sifat yang ambigu dalam menyikapi perilaku Ratu Dewata dengan raja-raja sebelumnya yang menjadi raja resi, seperti Sang Bunisora yang diberinya gelar Satmata.
Menurut Kropak 630, tingkatan batin manusia dalam keagamaan adalah acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah tingkatan kelima dan tahap tertinggi bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat keenam (suraloka), orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan ketujuh (nirawerah) padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal. Pada saat itu mungkin Ratu Dewata sudah mencapai tingkat diatas Satmata sehingga tidak menjalankan fungsinya sebagai raja Sunda. Padahal fungsinya sebagai raja tentu sangat berhubungan dengan masalah keduniaan.
Suatu hal yang kerap tidak terperhatikan oleh para penulis sejarah Sunda yakni mencari kondisi kekinian (semangat jaman) pada masa pemerintahan Ratu Dewata. Jika mencermati catatan Bujangga Manik yang diperkirakan menuliskan perjalanannya pada akhir tahun 1400 atau awal 1500 an. Dokumen tersebut saat ini disimpan di Perpustakaan Bodley, Oxford sejak tahun 1627, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada masa itu memang semangat keagamaan sudah mewarnai kisah perjalanan hidup kerabat keraton, bahkan Bujangga Manik pun diperkirakan seorang rahib. Mungkin kondisi pada waktu yang membentuk Ratu Dewata untuk lebih menekuni masalah keagamaan dibandingkan masalah kenegaraan.
Ratu Dewata dikesankan oleh Penulis Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Prebu Ratudé wata,
inya nu surup ka Sawah-tampian-dalem.
Lumaku ngarajaresi.
Tapa Pwah Susu.
Sumbé lé han niat tinja bresih suci wasah.
Disunat ka tukangna, jati Sunda teka.
Datang na bancana musuh ganal,
tambuh sangkané.
Prangrang di burwan ageung.
Pejah Tohaan Saréndét deung Tohaan Ratu Sanghiyang.
Hana pandita sakti diruksak,
pandita di Sumedeng.
Sang panadita di Ciranjang
pinejahan tanpa dosa,
katiban ku tapak kikir.
Sang pandita di Jayagiri
Iinabuhaken ring sagara.
Hana sang pandita sakti hanteu dosana.
Munding Rahiyang ngaraniya
linabuhaken ring sagara
tan keneng pati, hurip muwah,
moksa tanpa tinggal raga
teka ring duniya.
Sinaguhniya ngaraniya Hiyang Kalingan.
Nya iyatnajatna sang kawuri,
haywa ta sira kabalik pupuasaan.
Samangkana ta pr écinta.
Prebu Ratudé wata,
lawasniya ratu dalapan tahun,
kasalapan panteg hanca dina bwana.
Ratu Dewata Wafat pada tahun 1543, dipusarakan disawah tampian dalem. Kemudian digantikan oleh Ratu Sakti, putranya yang memiliki sifat yang berbeda dengan ayahnya. Masa pemerintahan Ratu Sakti sering juga disebutkan dengan istilah Masa Kaliyuga. (*)
MASA KALIYUGA
20Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti menggantikan Ratu Dewata, ia berkuasa pada tahun 1543 sampai dengan 1551 masehi. Kemudian ia diturunkan dari tahta dan digantikan oleh Nilakendra, yang berkuasa dari tahun 1551 sampai dengan 1567 masehi.
Penulis Carita Parahyangan menggambarkan, bahwa masa kaliyuga tiba pada masa Nilakendra, karena suasana masyarakat sudah menampilkan kejahatan dan kemaksiatan. Namun jika diurut dari sebab-sebabnya, tentu tidak dapat dilepaskan dari kondisi akhir pemerintahan Ratu Sakti, sehingga kondisi pada masa Nilakendra hanya berbentuk kondisi lanjutan yang mengarah pada jaman pralaya [kehancuran]. Carita Parahyangan mengamanatkan, : “aja tinut de sang kawuri polah sang nata” [jangan ditiru oleh mereka yang kemudian kelakuan raja ini].
Adanya permasalahan intern Pajajaran sangat jarang diperhatikan masyarakat, mengingat masyarakat Sunda pada umumnya hanya melihat adanya gangguan yang datang dari luar, yakni Banten, Cirebon dan Demak.
Kedatangan masa pralaya sebenarnya dapat dicegah jika Ratu Sakti meninggalkan kesenangangan pribadi dan memperhatikan suatu tatatanan masyarakat yang merasa aman lahir dan bathin serta dijauhkan dari kesengsaraan (Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sanghara, kreta). Pada jaman pemerintahan Ratu Sakti, merupakan masa yang sangat strategis untuk mengembalikan wilayah-wilayah Sunda yang telah direbut Cirebon.
Pada masa tersebut di Banten dan Kalapa terjadi kekosongan pasukan, karena pasukan Banten, Cirebon dan Demak disibukan menaklukan Pasuruan dan Panarukan. Serbuan pasukan gabungan tersebut, yang sudah dibantu Portugis mengalami kegagalan, apalagi setelah Trenggono gugur ditikam pelayannya yang baru berusia 10 tahun, putra Bupati Surabaya. Pasca peristiwa itu Demak dilanda huru hara. Didalam huru hara di Demak, gugur pula Pangeran Pasarean, putra mahkota Cirebon.
Kemudian pada tahun yang sama, yakni tahun 1546 Kerajaan Islam Demak runtuh, kekuasaannya beralih ke Pajang, untuk selanjutnya dilanjutkan oleh Mataram. Kondisi inilah yang tidak dimanfaatkan Ratu Sakti.
Jaman Ratu Sakti
Didalam suatu teori politik yang termasuk pada katagori jaman (masa) berulang, biasanya muncul dari suatu kondisi yang serba longgar dan menuju kearah kondisi chaos. Dalam kondisi ini masyarakat yang serba longgar akan mengarahkan kedalam kondisi free ficht competition. Pada akhirnya yang kuatlah yang menang. Dari kondisi chaos akan lahir suatu pihak dan kelompok atau tokoh yang kuat. Pihak ini bertujuan melakukan stabilitas dan mengembalikan aturan-aturan agar on the track terhadap tujuannya. Namun jika pihak tersebut sudah sangat berkuasa dan beralih menjadi otoriter, maka masyarakat akan mendesak kembali agar dapat lebih bebas dan serba longgar.
Kondisi seperti itu memang muncul pada masa Ratu Dewata, karena Ratu Dewata sendiri sudah tidak terlalu menghiraukan urusan kenegaraan. Mungkin Ratu Sakti merasa perlu untuk menstabilkan kembali kondisi negara, dan dapat dibenarkan jika langkah-langkahnya disertai dengan adanya penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, serta menggunakan aturan-aturan dan etika yang berlaku.
Langkah yang dilakukan Ratu Sakti justru sebaliknya. Kesan masyarakat terhadap rajanya sangat jauh dari istilah bijaksana. Ratu Sakti lebih banyak menyelesai kan permasalahan dengan cara-cara yang represif, banyak rakyat yang dihukum mati hanya karena melakukan pelanggaran kecil. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton, ia dianggap tidak berbakti terhadap orang tua, dan menghinakan para pendeta, kondisi ini tentu tidak dapat mengkonsolidasikan negara menjadi suatu kekuatan, bahkan mendorong rakyat untuk melakukan perlawanan.
Sifat Ratu Sakti sangat bertolak belakang dengan sifat Ratu Dewata yang serba alim, rajin berpuasa dan sering bertapa (bertarak). Memang sangat antagonis dari kondisi sebelumnya. Pelanggaran yang paling dianggap memancingkan reaksi rakyat, adalah mengawini estri larangan tikaluaran dan menikahi para selir ayahnya. Dengan demikian ia melanggaran dua katagori istri larangan dari tiga katagori yang dilarang.
Wanita terlarang (Istri larangan) untuk dinikahi di dalam tradisi Sunda masa lalu ada tiga macam. Hal ini sebagaimana yang diberitakan dari Carita Parahyangan dan Siksa Kandang Karesyan, yaitu : (1) gadis atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya diterima, gadis atau wanita terlarang bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu, (2) Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat, dan (3) ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut. (Ekadjati – 2005 : hal.196)
Kondusifitas yang tidak menguntungkan masyarakat Pajajaran tersebut masih bisa dihindarkan, dengan cara menurunkan Ratu Sakti dari tahtanya. Disisi lain Pajajaran masih diselamatkan dari serangan luar, baik serangan dari tambuh sangkane atau slagorde Banten, karena pada masa tersebut pasukan Hasanuddin serta Fadillah Khan sedang membantu Sultan Trenggono menyerbu Pasuruan dan Panarukan.
Penulis Carita Parahyangan dalam menanggapi perilaku Ratu Sakti, menuliskan, sebagai berikut :
• Disilihan ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu surup ka / Péngpéléngan. Lawasniya ratu dalapan tahun, kenana ratu twahna kabancana ku estri / larangan ti kaluaran deung kana ambutéré. Mati-mati wong tanpa dosa, ngarampas / tanpa prégé, tan bakti ring wong-atuha [44], asampé ring sang pandita. / Aja tinut d é sang kawuri, polah sang nata. / Mangkana Sang Prebu Ratu, carita inya.
Ratu Sakti dimungkinkan wafat dengan mengalami peristiwa kekerasan, karena jika melihat dari sifatnya, suatu hal yang mustahil jika mau mengundurkan diri sebagaimana yang dilakukan Dewa Niskala (Kawali). Ratu Sakti dimakamkan di Pengpelangan.
Prabu Nilakendra
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran kelima. Pada masa ini penulis Carita parahyangan menganggap sudah tiba kaliyuga (jaman kali) yaitu jaman yang menampilkan kejahatan dan kemaksiatan. Setelah Kaliyuga datang Pralaya (kiamat, kehancuran). Pemerintah Nilakendra di jadikan pertanda bahwa tidak lama lagi Kerajaan Pajajaran akan hancur akibat keangkara murkaan penguasanya. (PMSJB, buku keempat, hal.29).
Pada masa itu situasi Pajajaran sudah tidak menentu, rasa frustasi sangat melanda segala lapisan masyarakat, baik kerabat keraton maupun petani. Penulis Carita Parahyangan memberitakan, : “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” [Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu]. Berita ini diartikan, bahwa kelaparan telah berjangkit di Pajajaran.
Prabu Nilakendra diberitakan pula, ia membuat Bendera keramat, memperindah keraton dengan membangun tangan berbalay – tanahnya diperkeras dengan batu – mengapit gerbang larangan. Yang mendirikan bangunan megah 17 baris, dilukis dengan emas yang menggambarkan bermacam-macam cerita.
• Tohaan di Majaya alah prangrang, mangka tan nitih ring kadatwan. Nu ngibuda
• Sanghiyang Panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapitkeun dora
• larangan. Nu migawe bale-bobot pituweJas jajar, tinulis pinarada warnana cacaritaan.
Penilaian para penulis terhadap Nilakendra yang dianggap negatif tersebut, yakni memperindah keraton ; membangun taman berbalay ; memperkeras tanah dengan batu ; mendirikan bangunan mungkin dapat dianggap mendua, karena terhadap Sri Baduga justru dinilai sebagai mahakarya, bahkan diabadikan di dalam prasasti Batutulis. Hemat saya, negatifitas terhadap penilaian ini bukan disebabkan ia membuat sesuatu sebagaimana diatas, namun karena dilakukan di dalam kondisi rakyat yang sedang dalam keadaan kesulitan hidup dan frustasi.
Menurut penulis Carita Parahyangan, : “Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar” [Karena ratu terlalu lama (sering) tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan]. Didalam berita selanjutnya di sebutkan pula, : “Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa kilang”. [air yang memabukan menjadi penyedap makanan dan minuman].
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah, timbul ketegangan yang mencekam dalam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang sewaktu-waktu akan datang. Kondisi ini disikapi Nilakendra dan para pembesarnya dengan cara memperdalam suatu aliran tertentu. Konon menurut RPMSJB, ajaran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya, bahkan untuk mempercepat keadaan tidak sadar didahului dengan pesta pora, minum minuman keras, padahal kondisi itu masih tetap tidak berubah. Perilaku ini tentunya sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran tentang ‘makan sekedar enak dan minum tuak hanya sekedar pelepas dahaga’ [nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang]. Itulah bunga Pralaya Pajajaran yang tinggal menunggu waktu kehancurannya.
Didalam carut marut dan tanpa bisa melakukan konsolidasi kekuatan dan pasukannya, pada ahirnya pasukan tambu sangkane [pasukan tanpa identias] dari Banten tiba di Pajajaran. Hanya beberapa saat akhirnya benteng Pakuan dapat dikuasainya.
Memang sulit mencari berita tentang penghancuran Pakuan yang pertama oleh Banten, karena serangan tersebut dilakukan tanpa identitas. Hal ini disebabkan kepatuhan Hasanudin terhadap Syarif Hidayat, untuk menghormati perjanjian yang telah dibuat pada masa Surawisesa, namun Hasanudin merasa perjanjian tersebut hanya menguntungkan Cirebon, sedangkan Banten masih belum merasa aman karena berbatasan langsung dengan Pajajaran. Mungkin juga Hasanudin merasa khawatir adanya pembalasan dari Pajajaran, karena tahta Hasanudin didapatkan setelah ia melakukan kup terhadap ua dari ibunya sendiri, pada saat itu bupati Banten masih berada dibawah kekuasaan Pajajaran.
Peristiwa kekalahan Nilakendra terjadi ketika Syarif Hidayat masih hidup. Syarif Hidayat wafat pada tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian.
Nasib Benteng Pakuan
Berita tentang penjebolan benteng Pakuan diberitakan didalam sebaris kalimat Carita Parahyangan, yang mengabarkan “Tohaan di maja alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan” (Tohaan di maja kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton), tanpa menyebutkan kuburannya, karena dimungkinkan ia wafat diluar Pakuan, atau di pengungsian.
Sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.
Pasca penyerangan Banten ke Pakuan maka Pakuan sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga cerita komunitas Abah Anom didaerah Ciptarasa mulai dari sini), sementara pengungsi kearah timur terdapat pembesar kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa membawa (menyelamatkan) Mahkota dan atribut raja Pajajaran (sanghjiyang pake) ke Sumedang Larang, yang menjadi simbol raja Pajajaran. Untuk kemudian diserahkan kepada Geusan Ulun. Adanya simbol-simbol kerajaan Pajajaran yang digunakan Geusan Ulun, maka raja Sumedang Larang itu dianggap sebagai pewaris syah tahta Sunda.
Sebagian para pengungsi turut bersama Ragamulya ke Pula Sari, Pandeglang. Ragamulya yang bergelar Prabu Surya Kencana, kia menjadi raja Pajajaran di pengungsian, dinobatkan tanpa Mahkota. Hal ini sesuai dengan legenda Kadu Hejo yang menyebutkan, bahwa benda purbakala itu peninggalan seorang raja yang datang ketempat itu tanpa mahkota. (***)
RAJA PAMUNGKAS
Raga Mulya (1567 – 1579) didalam sejarah Sunda dikenal sebagai raja Pajajaran yang terakhir. Penulis Carita Parahyangan memberikan mana Nusiya Mulya. Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan sebagaimana raja Sunda lainnya, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun Panembahan Pulasari.
Raja dipengungsian
Pasca penyerangan Banten pada masa Nilakendra, Pakuan sudah tidak berfungsi sebagai ibukota, bahkan telah ditinggalkan Nilakendra dan kerabat keraton yang mengungsi keberbagai wilayah. Pakuan kemudian diurus oleh para pengawal istana dan penduduk, dan mampu bertahan sampai dua belas tahun, ketika itu Banten melakukan penyerangan untuk yang kedua kalinya dan memboyong baru Sriman tempat dinobatkannya raja Sunda.
Sebagian penduduk mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga komunitas saat ini berada didaerah Ciptarasa dan Ciptagelar).
Tentang pelarian keluarga keraton kearah selatan, dikisahkan pada awal abad yang lalu oleh Aki Baju Rambeng, juru Pantun dari Bogor selatan, dalam judul Dadap Malang Sisi Cimandiri, mengetengahkan keteguhan seorang perwira Sunda, tokoh tersebut bernama Raden Rakeyan Kalang Sunda. Selain itu, muncul pula legenda tentang Uga Wangsit Siliwangi, yang diyakini di amanatkan Prabu Siliwangi didaerah ini, padahal Siliwangi, hidup dijaman Pajajaran masih jeneng dan Siliwangi masih mampu memerintah dengan tenang.
Rombongan lainnya mengungsi menuju ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa memboyong Mahkota dan atribut raja Pajajaran (Sanghiyang Pake) ke Sumedang Larang, mungkin tertinggal ketika Nilakendra meloloskan diri dari Pakuan. Didalam tradisi raja-raja Pajajaran Sanghiyang pake dan batu gilang atau palangka batu sriman sriwacana dianggap penting untuk menunjukan legalitas seorang raja.
Sebagian penduduk Pakuan mengungsi kearah barat daya tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang. Rombongan tersebut dipimpin oleh salah satu putra Nilakendra, yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana. Menurut legenda Kadu Hejo, di daerah Pulasari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Ia memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya dihancurkan oleh Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu. [RPMSJB, Jilid keempat, hal.30]
Ketiadaan pakaian dan perangkat raja diatas dapat pula dikaitkan dengan cerita lain. Dalam kisahnya disebutkan bahwa mahkota dan pakain kerajaan tersebut diboyong oleh Jaya Perkosa dari Pakuan dan adik-adiknya, yakni Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot, kemudian diserahkan untuk digunakan Geusan Ulun pada saat pelantikannya. Dengan penggunaan perangkat tersebut maka Geusan Ulun dianggap syah sebagai pewaris tahta Sunda.
Serangan Banten kedua
Pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka, bertepatan dengan tanggal 19 September 1568 masehi Susuhunan Jati wafat. Pemerintahan Cirebon diwalikan kepada Fadilah Khan, kemudian dua tahun sesudahnya atau pada tahun 1570, Fadilah Khan wafat, tahta Cirebon selanjutnya dilanjutkan oleh Panembahan Ratu. Namun lebih banyak mengkonsentrasikan perhatiannya ke Pajang, karena termasuk salah satu murid sekaligus menantu dari Adiwijaya.
Di Banten pada tahun 1570 Panembahan Hasanudin juga wafat. Tahta Banten di lanjutkan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf. Ia sangat berperan dalam menentukan hubungan selanjutnya dengan masalah Pajajaran. Hal ini disebabkan pula para penandatangan perdamaian Cirebon dengan Pajajaran sudah wafat, oleh karenanya ia tidak merasa harus menghormati perjanjian tersebut.
Semula Panembahan Yusuf tertarik untuk menaklukan Palembang, namun ia merasa kurang puas karena Pakuan belum seluruhnya dapat dilumpuhkan. Padahal telah dikepung dan beberapa kali diserang, benteng Pakuan masih belum dapat diterobos. Pada masa itu Pakuan sudah ditinggalkan rajanya, namun masih ada penduduk bersama pasukan yang ditugaskan untuk mempertahan Pakuan.
Untuk melakukan penyerangan, Panembahan Yusuf memerlukan persiapan yang matang, antara lain mempersiapkan pasukan yang lengkap dan menebar para telik sandi untuk mengetahui kelemahan penjagaan benteng. Penyerangan akhirnya dilakukan pada tahun 1579 dengan menggabungkan dua pasukan besar, yakni Banten dan Cirebon.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
• Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan, dalam Pupuh Kinanti, :
• Nalika kesah punika / ing sasih Muharam singgih / wimbaning sasih lapisan / dinten ahad tahun alif / punika sakalanya / bumi rusak rekeih iki ( Waktu keberangkatan itu / terjadi bulan Muharam / tepat pada awal bulan / hari Ahad tahun Alif /inilah tahun Sakanya / satu lima kosong satu). [RPMSJB, hal. 32]
Kejatuhan benteng pakuan diketahui dari naskah Banten. Naskah tersebut memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah dibuka dari dalam oleh komandan kawal benteng Pakuan yang merasa sakit hati, karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara Ki Jongjo seorang kepercayaan Panembahan Yusuf.
Pada tengah malam buta, setelah pintu gerbang Pakuan dibukan dari dalam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota. Kisah itu mungkin benar atau hanya rekaan, namun cerita ini cukup menggambarkan, bahwa betapa kuatnya pertahanan Benteng Pakuan yang dibuat Sri Baduga, bahkan setelah ditinggalkan oleh rajanya selama 12 tahun, pasukan Banten dan Cirebon masih perlu menggunakan cara halus untuk menembusnya.
Nasib Pakuan beserta para penghuninya setelah dihancurkan oleh pasukan Banten dan Cirebon, tidak terkabarkan beritanya, termasuk dari naskah-naskah tua. Namun pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Sersan Scipio, pada tanggal 1 September 1687 menemukan sisa-sisa keraton tersebut, terutama tempat duduk yang ditinggikan (sitinggil) raja Pajajaran, masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Dari sinilah kemungkinan muncul mitos, bahwa prajurit Pajajaran berubah menjadi harimau.
Berakhirnya jaman Pajajaran (1482 – 1579), ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu tersebut di boyong ke Banten karena tradisi politik mengharuskan demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Tentang batu palangka dikisahkan di dalam Carita Parahiyangan, :
• Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji d i Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata.
• (Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah Tahta Nobat, yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka yang berada di Kabuyutan itulah seorang calon raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok sehingga halus dan mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang, bila dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa.
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan Banten. Karena bentuknya yang mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gigilang, yang berarti Batu yang mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Berakhir di Pulasari
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Panembahan Yusuf mengarahkan serangannya ke Pulasari. Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada akhirnya Ragamulya Suryakancana bersama pengikut nya gugur di Pulasari. (***)
MASA PRALAYA
• Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa, tembey datang na prebeda. / Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam. / Prang ka Rajagaluh, él éh na Rajagaluh. Prang ka Kalapa, él éh na Kalapa. Prang ka Pakwan, prang ka Galuh, prang ka Datar, prang ka Madiri, prang ka Paté gé, prang ka Jawakapala, él éh na JawakapaJa. Prang ka Galé lang. Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam. / Kitu, kawisésa ku Demak deung ti Cirebon, pun.
Didalam akhir naskah, penulis Carita Parahyangan memberitakan tentang raja terakhir Pajajaran dan bagaimana proses peperangan dilakukan sehingga seluruh wilayah Pakuan menjadi “Kawisesa oleh Demak dan Cirebon”.
Kehancuran Pajajaran diakibatkan dua faktor, yakni faktor intern dan ekstern. Faktor intern disebabkan oleh perilaku raja yang tidak peduli terhadap kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat, sedangkan faktor eksteern disebabkan adanya serangan musuh yang bertubi-tubi, terutama yang dilakukan oleh pasukan gabungan Banten dan Cirebon. Faktor ini menimbulkan rasa frustrasi dan ketakutan rakyat. Itulah sebenarnya yang hendak di gambarkan oleh penulis Carita Parahyangan.
Penulis Carita Parahyangan mengupas tentang proses dialetika suatu kondisi masyarakat, sekalipun diuraikan secara sederhana namun bagi para pemikir nampak adanya pemikiran dialektis tentang bagaimana kehancuran suatu masyarakat itu terjadi.
Masalah Intern Pakuan
Penulis Carita Parahyang menguraikan, bahwa : jika suatu masa tidak mengalami kejahatan dan kemaksiatan maka manusia akan berada di dalam masa yang sejahtera. Akan tetapi justru sebaliknya, masa kaliyuga sudah sangat terasakan ketika masa Ratu Sakti, terutama ketika kejahatan dan kemaksiatan dianggap biasa dan dilindungi penguasa, sehingga Pajajaran hanya tinggal menunggu masa Pralaya (kehancuran, kiamat). Tentang analisa ini secara lengkap, sebagai berikut :
• Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sanghara, kreta, kreta. / Dopara luha gumenti tang kali. Sang Nilak éndra wwat ika sangké lamaniya manggirang, lumekas madumdum cereng. Manganugraha weka, hatina nunda wisayaniya, manurun aken pretapa, putu ri patiriyan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa kilang.
Tahapan kehancuran Pajajaran diuraikan pada bab terdahulu, tentang Manurajasuna dan masa Kaliyuga, tentunya mulai nampak pada masa Ratu Dewata, raja hanya mengejar kebahagiaan hidup melalui laku tapa, batarak, kuru cileuh kentel peujit, melakukan pwah susu namun tidak peduli terhadap kehidupan negara dan masyarakatnya.
Pada masa Ratu Dewata bertahta, kesempatan untuk melakukan pembangunan dan mengkonsolidasikan masyarakat lebih besar dibandingkan pada masa Surawisesa, namun Surawisesa sudah meletakan dasar-dasar keamanan negara melalui perjanjian damai dengan Cirebon, Demak dan Banten. Sekalipun luas yuridiksi negara sudah tidak seluas ketika Sri Baduga masih bertahta.
Kesempatan kedua nampak pada masa Ratu Sakti. Raja ini memiliki kesempatan yang luas untuk mengembalikan wilayah Pajajaran yang telah direbut Cirebon, Demak dan Banten. Pada masa itu pasukan Banten dan Kalapa sedang disibukan untuk menaklukan Pasuruan dan Panarukan, bahkan Sultan Trenggono, Demak dan Pangeran Pasarean, putra mahkota Cirebon terbunuh didalam huru hara Demak.
Proses selanjutnya tiba pada masa Nilakendra. Pada masa tersebut Pakuan sudah mulai membangun jalan-jalan disekitar istana dan memperbaiki segala macam atribut istana, namun kejahatan dan kemaksiatan sudah menyeruak keseantero negeri dan dianggap sesuatu yang biasa. Raja asyik mengejar kepuasaan hidup melalui pendalaman ajaran yang jauh dari realitas hidup, seperti mensyahkannya mabuk-mabukan sebelum melakukan ritual. Pada masa ini rakyat sudah frustasi dan dianggap sudah berada didalam masa Kaliyuga.
Pada masa Ragamulya ia bertindak sebagai raja sekaligus pertapa, masa ini raja berkuasa tanpa mahkota dan tanpa memiliki pasukan perang. Raja hanya tinggal meunggu waktu datangnya kehancuran yang ditimbulkan musuh. Pada masa ini disebutkan masa Pralaya Pajajaran.
Banten melanggar Perjanjian
Panembahan Hasanudin dari Banten Pasisir kurang setuju atas perjanjian damai Pajajaran – Cirebon. Perjanjian tersebut dianggap hanya aman bagi Cirebon, tetapi menjadi ancaman bagi Banten. Jika kemudian Ia menyetujui, hal ini hanya karena ketaatannya kepada kebijakan ayahnya, Susuhunan Jati.
Niat Hasanudin untuk menguasai pakuan dilakukan secara terselubung, dengan cara membentuk pasukan khusus tanpa indentitas (tambuh sangkane), sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya ketika merebut Surasowan. Dalam periode berikutnya, Belanda menyebut tambuh sangkane dengan istilah rover, pengganggu ketertiban.
Hasanudin didalam ranji Pajajaran ia masih cicit Sri Baduga Maharaja dari Kawunganten, maupun dari Susuhunan Jati. Kawunganten putra Surasowan dan Surasowan putra Sri Baduga Maharaja dari Kentring Manik Mayang Sunda. (Yoseph, hal. 282). Mungkin Hasanudin merasa berhak atas tahta Kerajaan Pajajaran. Suatu hal yang patut diperhitungkan adanya kekhawatiran Hasanudin terhadap serangan Pajajaran untuk mengembalikan Banten sebagai wilayah Pajajaran. Kekuasaan Hasanudin di Banten diperoleh pasca menggulingkan ua nya, yakni Sang Arya Surajaya, hal ini sangat terkait erat dengan ekspansi perdagangan para Saudagar islam waktu itu, mengingat sangat sulit dikatagorikan sebagai penyebaran agama islam di Banten jika Sang Arya Surajaya pada masa itu sudah memeluk agama islam, bahkan ayahnya pun, Sang Surasowan telah memeluk agama islam. Banten sebagai pelabuhan perdagangan pada masa Arya Surajaya berada di bawah kekuasaan Pajajaran.
Niat menyerang Pajajaran dilakukan pada masa pemerintahan Sang Ratu Dewata. Hasanudin dengan pasukan tambuh sangkane langsung menyerang Pakuan, serangan itu disongsong pasukan Pakuan dialun-alun Pakuan, sekarang alun-alun Empang. Dalam pertempuran itu, gugur Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sanghiyang, perwira-perwira muda pihak Pajajaran.
Peperangan ini dicatat dalam Carita Parahyangan, isinya :
• “datangna bancana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Ratu Sarendet deung Tohaan Ratu Sanghyang”. (Datang bencana dari laskar musuh. Tak dikenal asal-usulnya. Terjadi perang di alun-alun. Gugurlah Tohaan Ratu Sarendet dan Ratu Sanghyang).
Kemenangan pasukan Pajajaran lebih banyak ditopang oleh kesetiaan dan ketangguhan pasukan yang pernah menjadi pengawal Surawisesa. Pada masa lalu pasukan tersebut telah mengalami lima berlas kali pertemuan di front barat Citarum. Pasukan Hasanudin setelah gagal menyerang Pakuan, kemudian mengundurkan diri, lalu melakukan serangan ke daerah utara, kemudian Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri. Serangan ini dimungkinkan untuk memancing konsentrasi pasukan Pajajaran agar keluar meninggalkan benteng Pakuan.
Didaerah tersebut pasukan Banten banyak melakukan pengrusakan terhadap Kabuyutan dan para wiku yang sangat dilindungi Pajajaran. Dimasa lalu dianggap sebagai Dangiang Sunda, banyak raja Sunda yang mempertaruhkan harga diri negaranya di Kabuyutan, bahkan Darmasiksa memaklumkan, bahwa : “lebih hina seorang raja dari kulit musang di tong sampah jika tidak mampu mempertahankan Kabuyutannya”.
Serangan Kedua
Pasca penyerangan pertama, Pakuan sudah tidak dapat mengkonsolidasikan pasukannya dengan baik, mengingat rakyat sudah mulai frustasi melihat tingkah laku penguasanya, terutama ketika masa Ratu Sakti.
Pada masa Nilakendra memang telah masuk pada masa Kaliyuga. Pada masa ini muncul kembali serangan dari pasukan tambu sangkane menggempur ibukota Pakuan. Prabu Nilakendra tidak berdaya, ia meloloskan diri meninggalkan keraton. Prabu Nilakendra tidak pernah diketahui kapan wafatnya dan dimana dipusarakannya. Mungkin ia meninggal di tengan hutan belantara dalam keadaan sengsara sebatang kara. Peristiwa ini digambarkan didalam Carita Parahyangan, :
• “Tohaan Majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan” (Tohaan Majaya kalah perang dan ia tidak tinggal di Keraton).
Pakuan dipercayakan kepada semua pembesar yang tidak menyertainya dalam pelarian. Para pembesar kerajaan Pajajaran dengan segala daya upaya mempertahankan keraton Pakuan Pajajaran. Berkat perlindungan parit pertahanan dan benteng yang dibangun oleh Sri Baduga Maharaja, Pakuan dapat diselamatkan.
Pengungsi dari Pakuan
Pakuan pasca ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah. Sebagian lagi meninggalkan Pakuan mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, Senapati Jayaprakosa beserta adik-adiknya, kemudian menetap di Sumedang.
Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah kekerabatan dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.
Dari sekian bagian penduduk yang mengungsi, ada sebagian lagi yang mencoba bertahan di Pakuan, bersama beberapa orang pembesar kerajaan yang ditugaskan menjaga dan mempertahankan Pakuan. Walaupun sudah tidak berfungsi, kehidupan di Pakuan pulih kembali.
Pengusian lainnya kewilayah barat daya dipimpin oleh Ragamulya. Di pengungsian ia berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk diselamatkan. Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara. Dalam versi lainnya ada juga yang menyebutkan, bahwa Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim digambarkan dalam suatu pemerintahan. Pulasari waktu itu sebagai Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan. Digunakan oleh Suryakancana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Menurut Iskandar (2005), Prabu Ragamulya Suryakancana seperti sudah mempunyai firasat, bahwa pusat kerajaannya harus di Pulasari Pandeglang. Mungkin berdasarkan petunjuk spiritual (uga), bahwa ia harus kembali ketitik-asal (purbajati). Mungkin juga ia mengetahui melalui bacaan lontar, catatan tentang Rajakasawa yang mengisahkan Karuhun (leluhur) Jawa Barat. Atau hanya berdasarkan dorongan batin yang ia miliki sebagai pewaris darah raja.
Sulit dibayangkan, sebab pusat kerajaannya yang baru, justru berdampingan dengan Kerajaan Surasowan. Yang pasti, Pulasari yang dijadikan ibukota Kerajaan Pajajaran tersebut adalah patilasan (bekas) pemukiman yang dahulu kala didirikan oleh Sang Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dalam abad kedua Masehi. Di Pulasari pula Sang Dewawarman mendirikan Rajatapura, ibukota Salakanagara pada tahun 130 Masehi.
Pajajaran Sirna
Pasca penyerangan Banten kali kedua ke Pakuan, tokoh penanda tangan perjanjian Pajajaran-Cirebon, satu persatu menutup usianya, yakni Sanghiyang Surawisesa (raja Pajajaran), wafat lebih awal, pada tahun 1535 M ; Susuhunan Jati, wafat pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka atau 19 September 1568 M ; Fadillah Khan, yang menggantikan Susuhunan Jati, wafat, pada tahun 1570 Masehi ; dan Panembahan Hasanudin, wafat pada tahun 1570 Masehi.
Hasanudin digantikan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf, putra dari pernikahannya dengan puteri Indrapura. Panembahan Yusuf merasa tidak terikat dalam perjanjian damai Cirebon dengan Pajajaran, ia pun tertarik untuk memperluas wilayah Banten, kemudian mempersiapkan serangannya dengan matang, terutama setelah Hasanudin Gagal menghancurkan Pakuan untuk yang kedua kalinya. Penyerangan tersebut dilakukan setelah sembilan tahun Panembahan Yusuf memegang tahta kerajaan Surasowan. Serangan tersebut mendapat bantuan dari kerajaan Cirebon, sehingga disebut serangan besar-besaran ke Pakuan.
Serangan Banten ke Pakuan diabadikan dalam Serat Banten dalam bentuk pupuh Kinanti, :
• Nalika kesah punika / Ing sasih muharam singgih / Wimbaning sasih sapisan / Dinten ahad tahun alif / Puningka sangkalanya / Bumi rusak rikih iki (Waktu keberangkatan itu – terjadi bulan muharam – tepat pada awal bulan – hari ahad tahun alif – inilah tahun sakanya – satu lima kosong satu).
Pakuan pasca ditinggalkan Nilakendra masih memiliki aktifitas seperti biasanya, namun memang sudah tidak lagi digunakan sebagai persemayamannya raja Pajajaran. Benteng Pakuan memiliki pertahanan yang sangat kuat. Pakuan masih memiliki soliditas dan ketangguhan sisa-sisa prajurit Pajajaran yang masih bermukim dibenteng.
Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam yang sakit hati”. Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan akhirnya dapat ditaklukan. Penduduk Pakuan telah susah payah membangun kembali kehidupannya, namun pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dijadikan simbol Pajajaran dibumi hanguskan.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
• Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Memburu Raja Nu Ngungsi
Para pengungsi yang menuju kearah barat daya berakhir di Pulasari. Mereka menyertakan Ragamulya. Di pengungsian ia berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk diselamatkan, untuk kemudian diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun.
Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara. Namun dalam versi lain disebutkan, bahwa : Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim digambarkan dalam suatu pemerintahan. Di Pulasari hanya sebagai wilayah Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan dan dilindungi negara. Hal tersebut digunakan pula oleh Ragamulya untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga, namun ia bukan raja Sunda seperti leluhurnya dahulu, ia tidak memiliki perlengkapan perang, karena ia hanya hidup Ngaresi dipengungsian.
Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya pada akhirnya harus menerima kodratnya, ia gugur di Pulasari setelah di bantai dan diluluh lantakan penduduknya. Demikian catatan sejarah menuliskan, Prabu Ragamulya Suryakancana gugur di Pulasari oleh pasukan Maulana Yusuf.
Lima abad setelahnya, setiap pengunjung Situs Purbakala Pulasari diberitahukan tentang adanya legenda Kaduhejo. Konon pada masa lalu telah datang kedaerah ini seorang raja tanpa mahkota, yang wafat di telasan pasukan Panembahan Yusuf. (***)
PUING PAKUAN
Antara Pajajaran sirna Ing Bhumi sampai ditemukan kembali oleh ekspedisi Scipio (1867) berlangsung kira-kira satu abad. Kota Pakuan yang pernah berpenghuni sekitar 48.271 jiwa ini ditemukan sebagai puing yang diselimuti oleh hutan tua (geheel met out bosch begroeijt zijnde; 1703).
Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana yang mengantarkan ekspedisi Scipio menemukan kembali kotanya yang hilang. Pakuan ditelan jaman, di selimuti kabut duka, dihancurkan kerakusan manusia.
Pada tanggal 1 September 1687 titi mangsa ditemukan tapak lacak lemah cainya. Mereka hadir sebagai pejiarah pertama. Di puing Kabuyutan Pajajaran yang mereka duga sebagai singggasana raja, mereka tafakur dan mengenang kejayaan dan keagungan Pajajaran.
Scipio pada tahun 1687 memiliki dua catatan penting dari ekspedisinya, yakni perjalanan antara Parung Angsana, Tanah Baru menuju Cipaku dengan melalui Tajur. Scipio mencatat : Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni. Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit.
Pada tanggal 1 September 1687 M memperoleh keterangan dari anak buahnya, bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran. Dari perjalanannya disimpulkan bahwa ada jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan kesan wajah kerajaan, terutama Situs Batutulis.
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja Pajajaran, sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau.
Penduduk Parung Angsana menghubungkan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau penjaga ‘singgasana raja Pajajaran’. Mungkin laporan dan peristiwa ini yang memunculkan mitos tentang hubungan Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau. Selanjutnya disebutkan pula bahwa raja Pajajaran tilem, sedangkan prajuritna berubah wujud menjadi harimau.
Dari hasil ekspedisi Winkler dilaporkan pula, tentang perjalanannya yang bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana, Tanah Baru lalu ke selatan, melewati jalan besar, Scipio menyebutnya ‘twee lanen’. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku, namun hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah melewati sungai Jambuluwuk, Cibalok dan melintasi parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak, tepinya nampak membentang ke arah Ciliwung sampai ke jalan menuju arah tenggara, setelah arca. Kemudian ia sampai di lokasi kampung Tajur Agung. Setelah itu sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya.
Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian dikedua sisinya. Dari Tajur Agung menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak pada tahun 1709 dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota. Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama.
Di sekitar Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan. Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan 7 batang pohon beringin.
Lahan di bagian utara bersambung dengan Bale Kambang yang biasanya digunakan untuk bercengkrama raja. Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi jalan Batutulis (sisi barat) dan Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan benteng batu yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara).
Balekambang terletak di sebelah utara benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang. Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa Istana Pakuan itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8.5 baris, disebutkan demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup. Winkler menyebut kedua batu itu stond (berdiri).
Setelah terlantar selama kira-kira 110 tahun, sejak Pajajaran burak oleh pasukan Banten pada tahun 1579, batu-batu itu masih berdiri dan masih tetap pada posisi semula.
Winkler dari tempat prasasti menuju ke tempat arca, pada penduduk menyebutnya Purwakalih, pada tahun 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih. Di sana terdapat 3 buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian pada tahun 1862 disadur dalam bentuk pupuh. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara Kabuyutan Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad Pajajaran, Pohon Campaka Warna terletak tidak jauh dari alun-alun.
Konon kabar Pakuan dihias dengan kraton Sri Bima, telaga panjang Sang Hiyang Talaga Rena Mahawijaya atau Sanghyang Kamala Rena Wijaya, dengan taman Milakancana dekat hutan Songgong tempat punden Pakuan Pajajaran.
Kearah Pakuan Pajajaran dibuat jalan-jalan besar yang dapat dilalui gerobak-gerobak dan beberapa kilometer. ke utara Muaraberes di kali Ciliwung masih ada bekas-bekas dermaga, dan juga di Ciampea, disebelah barat dari Pakuan, di Kali Cisadane semestinya akan dapat ditemukan bekas-bekas peninggalan dermaga atau sistim pertahanan, karena kedua tempat itu adalah batas sungai yang dapat dilayari sampai ke muara Laut Jawa, pintu gerbang menuju pedalaman.
Dari Pakuan ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusa, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwa karta, Sagalaherang, terus ske Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga Kawali dan ke pusat kerajaan Galuh Pakuan disekitar Ciamis dan Bojong Galuh. (Mungkin semacam jalan tol).
Pakuan bukan hanya lahan melainkan juga kenangan. Lahannya “dihidupkan kembali” tetapi kerajaanya takkan kembali. Inilah yang dirindukkan dan disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap kali gema Pajajaran menyentuh hati mereka “Geus deukeut ka Pajajaran ceuk galindeng Cianjuran Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng panineungan” (Sudah dekat ke Pajajaran menurut lantun Cianjuran Masih jauh ke Pakuan menurut lantun Kenangan) Pakuan terasa dekat, tetapi tak kunjung sampai. Kedekatan batin terhadap Pajajaran ini akhirnya menjelmakan gagasan Pajajaran Ngahiyang atau Pajajaran Tilem.
Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun - Pajajaran tidak hilang, Pakuan hanya ngahiang. Paling itulah kata-kata orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajaran, bahkan mereka menghibur diri dengan berkata : “Ngan engke bakal ngadeg deui” [Suatu saat akan berdiri kembali).
• Talung talung keur jaman Pajajaran / jaman aya keneh kuwarabekti / jaman guru bumi di pusti-pusti / jaman leuit tangtu eusina metu / euweuh nu tani mudu ngijon / euweuh nu tani nandonkeun karang / euweuh nu tan paeh ku jengkel / euweuh nu tani modar ku lapar. (masih mending waktu Pajajaran / ketika masih ada kuwarabekti / ketika guru bumi dipuja-puja / ketika lumbung padi melimpah ruah / tiada petani perlu mengijon / tiada petani harus mati kelaparan / tiada petani harus mati karena kesal / tiada hatus petani mati karena lapar).
Cag heula. (***)
Sumber Bacaan :
Sejarah Bogor – bagian 1, Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor – 1983 – di copy dari pasundan.homestead.com
Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
• Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
• Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
• Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
• Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
• Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor, – 1983.
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
Di Kutip dari : GUNUNG SEPUH
akibalangantrang.blogspot.com
Disarikan oleh : Agus Setiya Permana
Dari : berbagai sumber
Hubungan Portugis dengan Sunda
Pada tahun 1511 armada Demak sedang berada di Cirebon. Hal ini dianggap mengancam kedaulatan Pajajaran, terutama pasca Cirebon menyatakan diri sebagai negara merdeka. Oleh karena itu Sri Baduga mengutus putra mahkotanya, yakni Surawisesa untuk mengadakan hubungan dengan Portugis.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521).
Hasil kunjungan pertama bersifat penjajakan, pada tahun 1513 Portugis tiba diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan tersebut disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Kisah ini dimuat didalam Pustaka Nusantara III/1. Naskah tersebut sebagai berikut :
• Karena itu Sang Prabu Pakuan Pajajaran mengutus putera mahkota yaitu Ratu Sangian atau Prabu Surawisesa. Duta Kerajaan Pajajaran ini menuju ke negeri Malaka. Di sana sang duta menegadakan persahabatan dengan pemimpin (nerpati) orang Portugis yang bernama Laksamana Bungker.
• Ia telah berjanji akan selalu membantu Kerajaan Pajajaran bila diserang oleh Pasukan Demak dan Cirebon serta ingin menjalin hubungan dagang. Setahun kemudian orang-orang Portugis berkunjung ke Pulau Jawa. Jumlah kapalnya 4 buah.
• Mereka menginggahi semua pelabuhan yang ada di negeri Sunda, dan sang bule membuat surat kelak ketika sang putra mahkota telah menjadi ratu Sunda dengan gelar Prabu Surawisesa. [RPMSJB, Jilid ke-4, 16].
Surawisesa ketika itu masih menjadi Prabu Anom. Kelak dikemudian hari para penulis babad dan petutur pantun mengisahkan lalampahannya ini di dalam Lalakon Salaka (mungkin sakakala) Domas, dengan nama Munding Laya Dikusumah, sedangkan orang Purtugis digambarkannya sebagai Guriang.
Menurut Tome Pires orang Portugis yang mengikuti pelayaran penjajakan pada bulan Maret – Juni 1513, menyatakan, bahwa pada saat itu Portugis telah berhasil menguasai perairan Malaka.
Pada tahun 1522 Surawisesa naik tahta. Penobatannya dihadilir utusan Portugis di Malaka. Pada akhir kunjungan tersebut utusan Portugis dengan Pakuan menandatangani perjanjian dengan Pajajaran. Perjanjian tersebut menurut Soekanto (1956) ditandatangai pada tanggal 21 Agustus 1522.
Ten Dam (1957) menganggap bahwa perjanjian itu dibuat secara lisan, akan tetapi sumber portugis yang dikutip oleh Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield” (Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu).
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Pajajaran akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun, untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua costumodos atau + 351 kuintal.
Perjanjian Pajajaran dengan Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggono, disebabkan Selat Malaka merupakan pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara yang sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus.
Trenggono mengirimkan armadanya di bawah pimpinan Senapati Demak, yakni Fadilah Khan. Pada saat itu Fadillah Khan telah memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana (Cirebon). Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya, yakni Barkat Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah.
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Pada masa itu Hasanudin sedang berusaha menjatuhkan tahta Ua nya, yakni Arya Surajaya.
Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten (Sang Arya Surajaya) beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya, Syarif Hidayat menjadi Bupati Banten pada tahun 1526.
Setahun kemudian Fadillah menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran. Menurut Versi lainnya pada masa itu Kalapa tidak dijaga ketat oleh Legiun Sunda, mengingat jarak Pajajaran dengan Kalapa diperkirakan dua hari (Tome Pires : 1453). Menurut versi lainnya, jarak tempuh dari Ibukota Pakuan ke Kalapa lewat perairan memerlukan waktu dua minggu.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan membawa 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa.
Pada tanggal 30 Juni 1527 di Muara Cisadane De Sa memancangkan padrao dan menjuluki Cisadane dengan nama Rio de Sa Jorge. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah.
Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Hubungan Portugis dengan Demak
Panembahan Hasanudin memiliki peranan yang cukup besar ketika ia masih berstatus Bupati bawahan Cirebon. Pada masa tersebut Sultan Trenggono mengutus adiknya, yakni Nyi Pembayun, isteri dari Fadillah Khan, meminta bantuan pasukan Banten agar bergabung dengan pasukan Fadillah Khan (Bupati Kalapa), untuk menaklukkan, Blambangan, Panarukan dan Pasuruan. Dalam penyerangan tersebut, Demak menyertakan Pasukan Portugis untuk membantunya.
Pada masa itu Demak tidak lagi memusuhi Portugis, bahkan Portugis diijinkan membuka kantor dagang di Banten Pasisir, serta menempatkan armada lautnya disana. Armada Portugis pada saat itu dipimpin oleh Tome Pinto (pelaku penanda tangan perjanjian Pajajaran – Portugis 21 Agustus 1522 M di Pakuan). Dari catatan Tom Pires inilah sejarah ini diketahui.
Mungkin cerita tersebut sangat menganggu mengingat peristiwa penandatanganan Perjanjian Pajajaran – Portugis di pahami sebagai kesalahan Pajajaran melakukan kolaborasi dengan pihak asing dalam mempertahankan kedaulatannya. Namun akan menjadi lain ketika mengetahui sejarah selanjutnya, terutama ketika Demak menyertakan Portugis untuk menaklukan Blambangan, Panarukan dan Pasuruan.
Begitu pula pandangan Demak. Awalnya dimasa pemerintahan Raden Patah sangat memusuhi Portugis. Namun ketika Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon sudah berada dibawah pengaruhnya, demi kepentingan perdagangan maka Demak tidak mengharamkan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis.
Ketika Banten Pasisir sudah berubah menjadi Kerajaan Surasowan, dunia perdagangannya semakin pesat. Islam telah mewarnai Surasowan menjadi Negara perniagaan. Menurut (Iskandar, 2005) dari catatan perjalanan dapat digambarkan sebagai berikut :
• Dari Malaka berlayar lagi, Setelah 17 hari, tibalah aku dipelabuhan Banten tempat yang biasa dikunjungi orang Portugis untuk berdagang. Disana keperluan untuk muatan kapal kita, merica, ketika itu sedang sangat jarang didapat diseluruh negeri. Karena itu kami terpaksa harus tinggal disini selama musim hujan.
• Telah berlangsung dua bulan lamanya kami dalam perdagangan yang menyenangkan disin, ketika raja Demak penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali, Madura, Angenia mengirim utusan kepada Tagaril, raja Sunda, meminta bantuan dengan pesan bahwa dalam tempo setengah bulan harus datang ke Jepara tempat peralatan perang sedang disiapkan untuk menyerang Pasuruan.
• Bala bantuan Banten ketika itu berkekuatan yang terdiri dari 30 calaluzes dan 10 jurupango diperlengkapi dengan keperluan perjalan dan peralatan perang. Dalam 40 kapal itu terdapat 7.000 orang diluar para pendayung. Sedangkan dari Portugis menyertakan 40 orang. Kesertaan Portugis tentunya setelah mendapat konsensi, bahwa Portugis akan dibantu di Banten, sehingga janji ini mendorong Portugis untuk membantu peperangan ini.
Dari catatan Tome Pinto, menyebutkan, bahwa Raja Sunda (Hasanudin) bertolak dari pelabuhan Banten pada tanggal 5 januari 1546 dan tiba pada tanggal 19 bulan itu dikota Jepara. Disana peralatan perang sedang disiapkan.
Terakhir
Dari catatan ini diketahui pula adanya kepentingan politik perdagangan antara Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak dengan Portugis. Walaupun 24 tahun yang lalu Portugis telah mengadakan perjanjian dagang dengan Pajajaran, namun kemudian berpaling dan mengikat persahabatan dengan negara-negara yang memiliki pelabuhan dagang. Pada waktu semua pelabuhan milik Pajajaran sudah direbut Demak. Hal ini ditegaskan dalam catatan Tome Pinto, bahwa raja Demak adalah penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali, Madura, Angenia.
Suatu hal yang jarang dibahas dalam kondisi ini, yakni kesempatan Pajajaran untuk menguasai kembali daerahnya yang telah direbut Cirebon – Demak. Keengganan Pajajaran untuk menggunakan kesempatan ini dimungkinkan karena penguasa Pajajaran percaya terhadap Perjanjian Cirebon – Pajajaran untuk tidak saling mengganggu. Dimasa kemudian, perjanjian ini menjadi haraus dilanggar, terutama ketika Hasanudin dan Panembahan Yusup merasa pelu untuk menaklukan Pajajaran (***)
MANURAJASUNYA
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Pada tahun 1535 masehi, atau dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai Sakakala untuk ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Surawisasa dipusarakan di Padaren.
Surawisesa begitu mencintai dan menghormati ayahnya, ia berupaya mempertahan keutuhan Sunda, namun tidak pernah ada kesempatan untuk tetap memajukannya kecuali terfokus mempertahankan dari gempuran Cirebon, Demak dan Banten. Upayanya ini ia dikenang dan dilantunkan dalam pantun serta dikisahkan dalam babad. Konon hanya Surawisesa dan Sri Baduga yang paling banyak dikisahkan petutur tradisional Sunda. Namun sejak Surawisesa purna tugas dan purna hirup, Pajajaran mengalam kemorosotan yang sulit dibangkitkan kembali. Mungkin masa tersebut adalah peralihan jaman, geus niti wancina nu mustari sangkan Pajajaran ganti ngaran, tileum heula terus ngaganti ngaran jadi Sunda anu anyar.
Surawisesa digantikan oleh Ratu Dewata, putranya yang bertahta di Pakuan pada tahun 1535 sampai tahun 1543. Ratu Dewata sangat berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani. Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara Sunatan, adat khitan pra Islam yang memang telah biasa dilakukan di kalangan raja Sunda, ia pun melakukan tapa Pwah – Susu, suatu kebiasaan adat yang hanya makan buah-buahan dan minum susu dan berperilaku sebagai raja resi.
Pelanggaran Perjanjian
Pada saat Ratu Dewata bertahta perjanjian perdamaian Pajajaran dengan Cirebon masih dianggap berlaku. Ratu Dewata sangat yakin perdamaian ini akan ditaati para pihak, sehingga ia tidak mempunyai prasangka buruk akan adanya pelanggaran perjanjian yang dilakukan pihak lain. Disamping itu, Ratu Dewata lebih banyak memilih menekuni masalah keagamaan dan berpuasa dibandingkan mengurus kenegaraan.
Anggapan Ratu Dewata tentu berlainan dengan Hasanudin dari Banten, yang pada saat itu ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran – Cirebon, Hasanudin melakukan penandatanganan perjanjian karena kepatuhannya kepada Syarif Hidayat, ayahnya. Hasanudin beranggapan bahwa perjanjian Cirebon dengan Pajajaran hanya menguntungkan Cirebon, samak sekali tidak menjamin kepentingan Banten, padahal wilayah kekuasaan Banten berbatasan langsung dengan Pajajaran.
Hasanudin secara diam-diam membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya pada saat terjadi huru hara di keraton Surasowan yang memaksa bupati Banten melarikan diri ke Pajajaran, kemudian menjadikan Hasanudin sebagai bupati Banten dibawah vassal Cirebon. Pasukan ini oleh Belanda dinamakan rover karena dianggap sering mengganggu ketertiban, sedangkan penulis Carita Parahyangan menyebutnya “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya).
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Disamping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan serangan Banten tidak mampu menembus Pakuan.
Didalam prasasti batu tulis dituliskan, bahwa Sri Baduga membuat benteng Pakuan yang kokoh. Hal yang sama disebutkan didalam naskah Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 dengan istilah Amateguh Kadatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud “membuat parit” (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.
Posisi Pakuan sangat strategis untuk pertahanan, karena berada pada permukaan yang tinggi atau Lemah Duwur – Lemah Luhur, Van Riebeeck menyebutnya “bovenvlakte”. Pada posisi ini pasukan pengawal keraton sangat leluasa untuk memantau sekelilingi luar istana, sehingga mempermudah untuk mengetahui manuver musuh.
Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi 3 batang sungai pernah dijadikan pemukiman lemah duwur sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi. Lokasi Pakuan merupakan lahan Lemah Duwur yang satu sisinya terbuka menghadap Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah. Tipe Lemah Duwur biasanya dipilih masyarakat dengan latar belakang kebudayaan Huma (Ladang). Kota-kota seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur, dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan Perkebunan.
Lainnya halnya dengan yang disebut dengan Garuda Ngupuk, biasanya digunakan masyarakat yang berlatar belakang Kebudayaan Sawah. Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan. Kota demikian seperti Garut, Bandung dan Tasikmalaya.
Pasukan Hasanudin setelah gagal merebut benteng kota, bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan lemah larangan (Kabuyutan) di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri, Daerah tersebut pada masa Sri Baduga merupakan desa Kawikwan yang dilindungi oleh negara, mungkin juga Hasanudin menyerang ketiga wilayah ini bertujuan menghancur- kan ‘dangiang kerajaan’, atau untuk mengalihkan perhatian pasukan Sunda agar keluar menyerang di luar Benteng.
Penulis Carita Parahyangan menyebutkan adanya penyerangan dan pembunuhan para pandita, sebagai berikut .
Hana pandita sakti diruksak, pandita di Sumedeng. Sang panadita di Ciranjang pinejahan tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. / Sang pandita di Jayagiri Iinabuhaken ring sagara. / Hana sang pandita sakti hanteu dosana.
Ngarajaresi di jaman Susah
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus “memerintah dengan baik”. Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan Manurajasunya seperti yang telah dilakukan oleh Wasitu Kancana.
Kepribadian Ratu Dewata yang ngarajaresi di masa perang mungkin dianggap kurang tepat, bahkan ada yang berpendapat, bahwa hal tersebut dilakukan karena ia tidak mampu menghadapi kenyataan. Penulis carita parahyangan kemudian berkomentar pendek ‘Samangkana ta precinta’ (begitulah jaman susah).
Perilaku Ratu Dewata di sindir oleh penulis Carita Parahyangan. “Nya iyatnayatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (ya berhati-hatilah orang-orang yang kemudian, janganlah engkau kalah perang karena rajin puasa). Memang seolah-olah ada sifat yang ambigu dalam menyikapi perilaku Ratu Dewata dengan raja-raja sebelumnya yang menjadi raja resi, seperti Sang Bunisora yang diberinya gelar Satmata.
Menurut Kropak 630, tingkatan batin manusia dalam keagamaan adalah acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah tingkatan kelima dan tahap tertinggi bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat keenam (suraloka), orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan ketujuh (nirawerah) padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal. Pada saat itu mungkin Ratu Dewata sudah mencapai tingkat diatas Satmata sehingga tidak menjalankan fungsinya sebagai raja Sunda. Padahal fungsinya sebagai raja tentu sangat berhubungan dengan masalah keduniaan.
Suatu hal yang kerap tidak terperhatikan oleh para penulis sejarah Sunda yakni mencari kondisi kekinian (semangat jaman) pada masa pemerintahan Ratu Dewata. Jika mencermati catatan Bujangga Manik yang diperkirakan menuliskan perjalanannya pada akhir tahun 1400 atau awal 1500 an. Dokumen tersebut saat ini disimpan di Perpustakaan Bodley, Oxford sejak tahun 1627, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada masa itu memang semangat keagamaan sudah mewarnai kisah perjalanan hidup kerabat keraton, bahkan Bujangga Manik pun diperkirakan seorang rahib. Mungkin kondisi pada waktu yang membentuk Ratu Dewata untuk lebih menekuni masalah keagamaan dibandingkan masalah kenegaraan.
Ratu Dewata dikesankan oleh Penulis Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Prebu Ratudé wata,
inya nu surup ka Sawah-tampian-dalem.
Lumaku ngarajaresi.
Tapa Pwah Susu.
Sumbé lé han niat tinja bresih suci wasah.
Disunat ka tukangna, jati Sunda teka.
Datang na bancana musuh ganal,
tambuh sangkané.
Prangrang di burwan ageung.
Pejah Tohaan Saréndét deung Tohaan Ratu Sanghiyang.
Hana pandita sakti diruksak,
pandita di Sumedeng.
Sang panadita di Ciranjang
pinejahan tanpa dosa,
katiban ku tapak kikir.
Sang pandita di Jayagiri
Iinabuhaken ring sagara.
Hana sang pandita sakti hanteu dosana.
Munding Rahiyang ngaraniya
linabuhaken ring sagara
tan keneng pati, hurip muwah,
moksa tanpa tinggal raga
teka ring duniya.
Sinaguhniya ngaraniya Hiyang Kalingan.
Nya iyatnajatna sang kawuri,
haywa ta sira kabalik pupuasaan.
Samangkana ta pr écinta.
Prebu Ratudé wata,
lawasniya ratu dalapan tahun,
kasalapan panteg hanca dina bwana.
Ratu Dewata Wafat pada tahun 1543, dipusarakan disawah tampian dalem. Kemudian digantikan oleh Ratu Sakti, putranya yang memiliki sifat yang berbeda dengan ayahnya. Masa pemerintahan Ratu Sakti sering juga disebutkan dengan istilah Masa Kaliyuga. (*)
MASA KALIYUGA
20Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti menggantikan Ratu Dewata, ia berkuasa pada tahun 1543 sampai dengan 1551 masehi. Kemudian ia diturunkan dari tahta dan digantikan oleh Nilakendra, yang berkuasa dari tahun 1551 sampai dengan 1567 masehi.
Penulis Carita Parahyangan menggambarkan, bahwa masa kaliyuga tiba pada masa Nilakendra, karena suasana masyarakat sudah menampilkan kejahatan dan kemaksiatan. Namun jika diurut dari sebab-sebabnya, tentu tidak dapat dilepaskan dari kondisi akhir pemerintahan Ratu Sakti, sehingga kondisi pada masa Nilakendra hanya berbentuk kondisi lanjutan yang mengarah pada jaman pralaya [kehancuran]. Carita Parahyangan mengamanatkan, : “aja tinut de sang kawuri polah sang nata” [jangan ditiru oleh mereka yang kemudian kelakuan raja ini].
Adanya permasalahan intern Pajajaran sangat jarang diperhatikan masyarakat, mengingat masyarakat Sunda pada umumnya hanya melihat adanya gangguan yang datang dari luar, yakni Banten, Cirebon dan Demak.
Kedatangan masa pralaya sebenarnya dapat dicegah jika Ratu Sakti meninggalkan kesenangangan pribadi dan memperhatikan suatu tatatanan masyarakat yang merasa aman lahir dan bathin serta dijauhkan dari kesengsaraan (Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sanghara, kreta). Pada jaman pemerintahan Ratu Sakti, merupakan masa yang sangat strategis untuk mengembalikan wilayah-wilayah Sunda yang telah direbut Cirebon.
Pada masa tersebut di Banten dan Kalapa terjadi kekosongan pasukan, karena pasukan Banten, Cirebon dan Demak disibukan menaklukan Pasuruan dan Panarukan. Serbuan pasukan gabungan tersebut, yang sudah dibantu Portugis mengalami kegagalan, apalagi setelah Trenggono gugur ditikam pelayannya yang baru berusia 10 tahun, putra Bupati Surabaya. Pasca peristiwa itu Demak dilanda huru hara. Didalam huru hara di Demak, gugur pula Pangeran Pasarean, putra mahkota Cirebon.
Kemudian pada tahun yang sama, yakni tahun 1546 Kerajaan Islam Demak runtuh, kekuasaannya beralih ke Pajang, untuk selanjutnya dilanjutkan oleh Mataram. Kondisi inilah yang tidak dimanfaatkan Ratu Sakti.
Jaman Ratu Sakti
Didalam suatu teori politik yang termasuk pada katagori jaman (masa) berulang, biasanya muncul dari suatu kondisi yang serba longgar dan menuju kearah kondisi chaos. Dalam kondisi ini masyarakat yang serba longgar akan mengarahkan kedalam kondisi free ficht competition. Pada akhirnya yang kuatlah yang menang. Dari kondisi chaos akan lahir suatu pihak dan kelompok atau tokoh yang kuat. Pihak ini bertujuan melakukan stabilitas dan mengembalikan aturan-aturan agar on the track terhadap tujuannya. Namun jika pihak tersebut sudah sangat berkuasa dan beralih menjadi otoriter, maka masyarakat akan mendesak kembali agar dapat lebih bebas dan serba longgar.
Kondisi seperti itu memang muncul pada masa Ratu Dewata, karena Ratu Dewata sendiri sudah tidak terlalu menghiraukan urusan kenegaraan. Mungkin Ratu Sakti merasa perlu untuk menstabilkan kembali kondisi negara, dan dapat dibenarkan jika langkah-langkahnya disertai dengan adanya penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, serta menggunakan aturan-aturan dan etika yang berlaku.
Langkah yang dilakukan Ratu Sakti justru sebaliknya. Kesan masyarakat terhadap rajanya sangat jauh dari istilah bijaksana. Ratu Sakti lebih banyak menyelesai kan permasalahan dengan cara-cara yang represif, banyak rakyat yang dihukum mati hanya karena melakukan pelanggaran kecil. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton, ia dianggap tidak berbakti terhadap orang tua, dan menghinakan para pendeta, kondisi ini tentu tidak dapat mengkonsolidasikan negara menjadi suatu kekuatan, bahkan mendorong rakyat untuk melakukan perlawanan.
Sifat Ratu Sakti sangat bertolak belakang dengan sifat Ratu Dewata yang serba alim, rajin berpuasa dan sering bertapa (bertarak). Memang sangat antagonis dari kondisi sebelumnya. Pelanggaran yang paling dianggap memancingkan reaksi rakyat, adalah mengawini estri larangan tikaluaran dan menikahi para selir ayahnya. Dengan demikian ia melanggaran dua katagori istri larangan dari tiga katagori yang dilarang.
Wanita terlarang (Istri larangan) untuk dinikahi di dalam tradisi Sunda masa lalu ada tiga macam. Hal ini sebagaimana yang diberitakan dari Carita Parahyangan dan Siksa Kandang Karesyan, yaitu : (1) gadis atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya diterima, gadis atau wanita terlarang bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu, (2) Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat, dan (3) ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut. (Ekadjati – 2005 : hal.196)
Kondusifitas yang tidak menguntungkan masyarakat Pajajaran tersebut masih bisa dihindarkan, dengan cara menurunkan Ratu Sakti dari tahtanya. Disisi lain Pajajaran masih diselamatkan dari serangan luar, baik serangan dari tambuh sangkane atau slagorde Banten, karena pada masa tersebut pasukan Hasanuddin serta Fadillah Khan sedang membantu Sultan Trenggono menyerbu Pasuruan dan Panarukan.
Penulis Carita Parahyangan dalam menanggapi perilaku Ratu Sakti, menuliskan, sebagai berikut :
• Disilihan ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu surup ka / Péngpéléngan. Lawasniya ratu dalapan tahun, kenana ratu twahna kabancana ku estri / larangan ti kaluaran deung kana ambutéré. Mati-mati wong tanpa dosa, ngarampas / tanpa prégé, tan bakti ring wong-atuha [44], asampé ring sang pandita. / Aja tinut d é sang kawuri, polah sang nata. / Mangkana Sang Prebu Ratu, carita inya.
Ratu Sakti dimungkinkan wafat dengan mengalami peristiwa kekerasan, karena jika melihat dari sifatnya, suatu hal yang mustahil jika mau mengundurkan diri sebagaimana yang dilakukan Dewa Niskala (Kawali). Ratu Sakti dimakamkan di Pengpelangan.
Prabu Nilakendra
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran kelima. Pada masa ini penulis Carita parahyangan menganggap sudah tiba kaliyuga (jaman kali) yaitu jaman yang menampilkan kejahatan dan kemaksiatan. Setelah Kaliyuga datang Pralaya (kiamat, kehancuran). Pemerintah Nilakendra di jadikan pertanda bahwa tidak lama lagi Kerajaan Pajajaran akan hancur akibat keangkara murkaan penguasanya. (PMSJB, buku keempat, hal.29).
Pada masa itu situasi Pajajaran sudah tidak menentu, rasa frustasi sangat melanda segala lapisan masyarakat, baik kerabat keraton maupun petani. Penulis Carita Parahyangan memberitakan, : “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” [Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu]. Berita ini diartikan, bahwa kelaparan telah berjangkit di Pajajaran.
Prabu Nilakendra diberitakan pula, ia membuat Bendera keramat, memperindah keraton dengan membangun tangan berbalay – tanahnya diperkeras dengan batu – mengapit gerbang larangan. Yang mendirikan bangunan megah 17 baris, dilukis dengan emas yang menggambarkan bermacam-macam cerita.
• Tohaan di Majaya alah prangrang, mangka tan nitih ring kadatwan. Nu ngibuda
• Sanghiyang Panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapitkeun dora
• larangan. Nu migawe bale-bobot pituweJas jajar, tinulis pinarada warnana cacaritaan.
Penilaian para penulis terhadap Nilakendra yang dianggap negatif tersebut, yakni memperindah keraton ; membangun taman berbalay ; memperkeras tanah dengan batu ; mendirikan bangunan mungkin dapat dianggap mendua, karena terhadap Sri Baduga justru dinilai sebagai mahakarya, bahkan diabadikan di dalam prasasti Batutulis. Hemat saya, negatifitas terhadap penilaian ini bukan disebabkan ia membuat sesuatu sebagaimana diatas, namun karena dilakukan di dalam kondisi rakyat yang sedang dalam keadaan kesulitan hidup dan frustasi.
Menurut penulis Carita Parahyangan, : “Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar” [Karena ratu terlalu lama (sering) tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan]. Didalam berita selanjutnya di sebutkan pula, : “Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa kilang”. [air yang memabukan menjadi penyedap makanan dan minuman].
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah, timbul ketegangan yang mencekam dalam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang sewaktu-waktu akan datang. Kondisi ini disikapi Nilakendra dan para pembesarnya dengan cara memperdalam suatu aliran tertentu. Konon menurut RPMSJB, ajaran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya, bahkan untuk mempercepat keadaan tidak sadar didahului dengan pesta pora, minum minuman keras, padahal kondisi itu masih tetap tidak berubah. Perilaku ini tentunya sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran tentang ‘makan sekedar enak dan minum tuak hanya sekedar pelepas dahaga’ [nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang]. Itulah bunga Pralaya Pajajaran yang tinggal menunggu waktu kehancurannya.
Didalam carut marut dan tanpa bisa melakukan konsolidasi kekuatan dan pasukannya, pada ahirnya pasukan tambu sangkane [pasukan tanpa identias] dari Banten tiba di Pajajaran. Hanya beberapa saat akhirnya benteng Pakuan dapat dikuasainya.
Memang sulit mencari berita tentang penghancuran Pakuan yang pertama oleh Banten, karena serangan tersebut dilakukan tanpa identitas. Hal ini disebabkan kepatuhan Hasanudin terhadap Syarif Hidayat, untuk menghormati perjanjian yang telah dibuat pada masa Surawisesa, namun Hasanudin merasa perjanjian tersebut hanya menguntungkan Cirebon, sedangkan Banten masih belum merasa aman karena berbatasan langsung dengan Pajajaran. Mungkin juga Hasanudin merasa khawatir adanya pembalasan dari Pajajaran, karena tahta Hasanudin didapatkan setelah ia melakukan kup terhadap ua dari ibunya sendiri, pada saat itu bupati Banten masih berada dibawah kekuasaan Pajajaran.
Peristiwa kekalahan Nilakendra terjadi ketika Syarif Hidayat masih hidup. Syarif Hidayat wafat pada tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian.
Nasib Benteng Pakuan
Berita tentang penjebolan benteng Pakuan diberitakan didalam sebaris kalimat Carita Parahyangan, yang mengabarkan “Tohaan di maja alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan” (Tohaan di maja kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton), tanpa menyebutkan kuburannya, karena dimungkinkan ia wafat diluar Pakuan, atau di pengungsian.
Sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.
Pasca penyerangan Banten ke Pakuan maka Pakuan sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga cerita komunitas Abah Anom didaerah Ciptarasa mulai dari sini), sementara pengungsi kearah timur terdapat pembesar kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa membawa (menyelamatkan) Mahkota dan atribut raja Pajajaran (sanghjiyang pake) ke Sumedang Larang, yang menjadi simbol raja Pajajaran. Untuk kemudian diserahkan kepada Geusan Ulun. Adanya simbol-simbol kerajaan Pajajaran yang digunakan Geusan Ulun, maka raja Sumedang Larang itu dianggap sebagai pewaris syah tahta Sunda.
Sebagian para pengungsi turut bersama Ragamulya ke Pula Sari, Pandeglang. Ragamulya yang bergelar Prabu Surya Kencana, kia menjadi raja Pajajaran di pengungsian, dinobatkan tanpa Mahkota. Hal ini sesuai dengan legenda Kadu Hejo yang menyebutkan, bahwa benda purbakala itu peninggalan seorang raja yang datang ketempat itu tanpa mahkota. (***)
RAJA PAMUNGKAS
Raga Mulya (1567 – 1579) didalam sejarah Sunda dikenal sebagai raja Pajajaran yang terakhir. Penulis Carita Parahyangan memberikan mana Nusiya Mulya. Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan sebagaimana raja Sunda lainnya, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun Panembahan Pulasari.
Raja dipengungsian
Pasca penyerangan Banten pada masa Nilakendra, Pakuan sudah tidak berfungsi sebagai ibukota, bahkan telah ditinggalkan Nilakendra dan kerabat keraton yang mengungsi keberbagai wilayah. Pakuan kemudian diurus oleh para pengawal istana dan penduduk, dan mampu bertahan sampai dua belas tahun, ketika itu Banten melakukan penyerangan untuk yang kedua kalinya dan memboyong baru Sriman tempat dinobatkannya raja Sunda.
Sebagian penduduk mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga komunitas saat ini berada didaerah Ciptarasa dan Ciptagelar).
Tentang pelarian keluarga keraton kearah selatan, dikisahkan pada awal abad yang lalu oleh Aki Baju Rambeng, juru Pantun dari Bogor selatan, dalam judul Dadap Malang Sisi Cimandiri, mengetengahkan keteguhan seorang perwira Sunda, tokoh tersebut bernama Raden Rakeyan Kalang Sunda. Selain itu, muncul pula legenda tentang Uga Wangsit Siliwangi, yang diyakini di amanatkan Prabu Siliwangi didaerah ini, padahal Siliwangi, hidup dijaman Pajajaran masih jeneng dan Siliwangi masih mampu memerintah dengan tenang.
Rombongan lainnya mengungsi menuju ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa memboyong Mahkota dan atribut raja Pajajaran (Sanghiyang Pake) ke Sumedang Larang, mungkin tertinggal ketika Nilakendra meloloskan diri dari Pakuan. Didalam tradisi raja-raja Pajajaran Sanghiyang pake dan batu gilang atau palangka batu sriman sriwacana dianggap penting untuk menunjukan legalitas seorang raja.
Sebagian penduduk Pakuan mengungsi kearah barat daya tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang. Rombongan tersebut dipimpin oleh salah satu putra Nilakendra, yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana. Menurut legenda Kadu Hejo, di daerah Pulasari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Ia memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya dihancurkan oleh Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu. [RPMSJB, Jilid keempat, hal.30]
Ketiadaan pakaian dan perangkat raja diatas dapat pula dikaitkan dengan cerita lain. Dalam kisahnya disebutkan bahwa mahkota dan pakain kerajaan tersebut diboyong oleh Jaya Perkosa dari Pakuan dan adik-adiknya, yakni Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot, kemudian diserahkan untuk digunakan Geusan Ulun pada saat pelantikannya. Dengan penggunaan perangkat tersebut maka Geusan Ulun dianggap syah sebagai pewaris tahta Sunda.
Serangan Banten kedua
Pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka, bertepatan dengan tanggal 19 September 1568 masehi Susuhunan Jati wafat. Pemerintahan Cirebon diwalikan kepada Fadilah Khan, kemudian dua tahun sesudahnya atau pada tahun 1570, Fadilah Khan wafat, tahta Cirebon selanjutnya dilanjutkan oleh Panembahan Ratu. Namun lebih banyak mengkonsentrasikan perhatiannya ke Pajang, karena termasuk salah satu murid sekaligus menantu dari Adiwijaya.
Di Banten pada tahun 1570 Panembahan Hasanudin juga wafat. Tahta Banten di lanjutkan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf. Ia sangat berperan dalam menentukan hubungan selanjutnya dengan masalah Pajajaran. Hal ini disebabkan pula para penandatangan perdamaian Cirebon dengan Pajajaran sudah wafat, oleh karenanya ia tidak merasa harus menghormati perjanjian tersebut.
Semula Panembahan Yusuf tertarik untuk menaklukan Palembang, namun ia merasa kurang puas karena Pakuan belum seluruhnya dapat dilumpuhkan. Padahal telah dikepung dan beberapa kali diserang, benteng Pakuan masih belum dapat diterobos. Pada masa itu Pakuan sudah ditinggalkan rajanya, namun masih ada penduduk bersama pasukan yang ditugaskan untuk mempertahan Pakuan.
Untuk melakukan penyerangan, Panembahan Yusuf memerlukan persiapan yang matang, antara lain mempersiapkan pasukan yang lengkap dan menebar para telik sandi untuk mengetahui kelemahan penjagaan benteng. Penyerangan akhirnya dilakukan pada tahun 1579 dengan menggabungkan dua pasukan besar, yakni Banten dan Cirebon.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
• Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan, dalam Pupuh Kinanti, :
• Nalika kesah punika / ing sasih Muharam singgih / wimbaning sasih lapisan / dinten ahad tahun alif / punika sakalanya / bumi rusak rekeih iki ( Waktu keberangkatan itu / terjadi bulan Muharam / tepat pada awal bulan / hari Ahad tahun Alif /inilah tahun Sakanya / satu lima kosong satu). [RPMSJB, hal. 32]
Kejatuhan benteng pakuan diketahui dari naskah Banten. Naskah tersebut memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah dibuka dari dalam oleh komandan kawal benteng Pakuan yang merasa sakit hati, karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara Ki Jongjo seorang kepercayaan Panembahan Yusuf.
Pada tengah malam buta, setelah pintu gerbang Pakuan dibukan dari dalam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota. Kisah itu mungkin benar atau hanya rekaan, namun cerita ini cukup menggambarkan, bahwa betapa kuatnya pertahanan Benteng Pakuan yang dibuat Sri Baduga, bahkan setelah ditinggalkan oleh rajanya selama 12 tahun, pasukan Banten dan Cirebon masih perlu menggunakan cara halus untuk menembusnya.
Nasib Pakuan beserta para penghuninya setelah dihancurkan oleh pasukan Banten dan Cirebon, tidak terkabarkan beritanya, termasuk dari naskah-naskah tua. Namun pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Sersan Scipio, pada tanggal 1 September 1687 menemukan sisa-sisa keraton tersebut, terutama tempat duduk yang ditinggikan (sitinggil) raja Pajajaran, masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Dari sinilah kemungkinan muncul mitos, bahwa prajurit Pajajaran berubah menjadi harimau.
Berakhirnya jaman Pajajaran (1482 – 1579), ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu tersebut di boyong ke Banten karena tradisi politik mengharuskan demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Tentang batu palangka dikisahkan di dalam Carita Parahiyangan, :
• Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji d i Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata.
• (Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah Tahta Nobat, yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka yang berada di Kabuyutan itulah seorang calon raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok sehingga halus dan mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang, bila dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa.
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan Banten. Karena bentuknya yang mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gigilang, yang berarti Batu yang mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Berakhir di Pulasari
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Panembahan Yusuf mengarahkan serangannya ke Pulasari. Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada akhirnya Ragamulya Suryakancana bersama pengikut nya gugur di Pulasari. (***)
MASA PRALAYA
• Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa, tembey datang na prebeda. / Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam. / Prang ka Rajagaluh, él éh na Rajagaluh. Prang ka Kalapa, él éh na Kalapa. Prang ka Pakwan, prang ka Galuh, prang ka Datar, prang ka Madiri, prang ka Paté gé, prang ka Jawakapala, él éh na JawakapaJa. Prang ka Galé lang. Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam. / Kitu, kawisésa ku Demak deung ti Cirebon, pun.
Didalam akhir naskah, penulis Carita Parahyangan memberitakan tentang raja terakhir Pajajaran dan bagaimana proses peperangan dilakukan sehingga seluruh wilayah Pakuan menjadi “Kawisesa oleh Demak dan Cirebon”.
Kehancuran Pajajaran diakibatkan dua faktor, yakni faktor intern dan ekstern. Faktor intern disebabkan oleh perilaku raja yang tidak peduli terhadap kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat, sedangkan faktor eksteern disebabkan adanya serangan musuh yang bertubi-tubi, terutama yang dilakukan oleh pasukan gabungan Banten dan Cirebon. Faktor ini menimbulkan rasa frustrasi dan ketakutan rakyat. Itulah sebenarnya yang hendak di gambarkan oleh penulis Carita Parahyangan.
Penulis Carita Parahyangan mengupas tentang proses dialetika suatu kondisi masyarakat, sekalipun diuraikan secara sederhana namun bagi para pemikir nampak adanya pemikiran dialektis tentang bagaimana kehancuran suatu masyarakat itu terjadi.
Masalah Intern Pakuan
Penulis Carita Parahyang menguraikan, bahwa : jika suatu masa tidak mengalami kejahatan dan kemaksiatan maka manusia akan berada di dalam masa yang sejahtera. Akan tetapi justru sebaliknya, masa kaliyuga sudah sangat terasakan ketika masa Ratu Sakti, terutama ketika kejahatan dan kemaksiatan dianggap biasa dan dilindungi penguasa, sehingga Pajajaran hanya tinggal menunggu masa Pralaya (kehancuran, kiamat). Tentang analisa ini secara lengkap, sebagai berikut :
• Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sanghara, kreta, kreta. / Dopara luha gumenti tang kali. Sang Nilak éndra wwat ika sangké lamaniya manggirang, lumekas madumdum cereng. Manganugraha weka, hatina nunda wisayaniya, manurun aken pretapa, putu ri patiriyan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa kilang.
Tahapan kehancuran Pajajaran diuraikan pada bab terdahulu, tentang Manurajasuna dan masa Kaliyuga, tentunya mulai nampak pada masa Ratu Dewata, raja hanya mengejar kebahagiaan hidup melalui laku tapa, batarak, kuru cileuh kentel peujit, melakukan pwah susu namun tidak peduli terhadap kehidupan negara dan masyarakatnya.
Pada masa Ratu Dewata bertahta, kesempatan untuk melakukan pembangunan dan mengkonsolidasikan masyarakat lebih besar dibandingkan pada masa Surawisesa, namun Surawisesa sudah meletakan dasar-dasar keamanan negara melalui perjanjian damai dengan Cirebon, Demak dan Banten. Sekalipun luas yuridiksi negara sudah tidak seluas ketika Sri Baduga masih bertahta.
Kesempatan kedua nampak pada masa Ratu Sakti. Raja ini memiliki kesempatan yang luas untuk mengembalikan wilayah Pajajaran yang telah direbut Cirebon, Demak dan Banten. Pada masa itu pasukan Banten dan Kalapa sedang disibukan untuk menaklukan Pasuruan dan Panarukan, bahkan Sultan Trenggono, Demak dan Pangeran Pasarean, putra mahkota Cirebon terbunuh didalam huru hara Demak.
Proses selanjutnya tiba pada masa Nilakendra. Pada masa tersebut Pakuan sudah mulai membangun jalan-jalan disekitar istana dan memperbaiki segala macam atribut istana, namun kejahatan dan kemaksiatan sudah menyeruak keseantero negeri dan dianggap sesuatu yang biasa. Raja asyik mengejar kepuasaan hidup melalui pendalaman ajaran yang jauh dari realitas hidup, seperti mensyahkannya mabuk-mabukan sebelum melakukan ritual. Pada masa ini rakyat sudah frustasi dan dianggap sudah berada didalam masa Kaliyuga.
Pada masa Ragamulya ia bertindak sebagai raja sekaligus pertapa, masa ini raja berkuasa tanpa mahkota dan tanpa memiliki pasukan perang. Raja hanya tinggal meunggu waktu datangnya kehancuran yang ditimbulkan musuh. Pada masa ini disebutkan masa Pralaya Pajajaran.
Banten melanggar Perjanjian
Panembahan Hasanudin dari Banten Pasisir kurang setuju atas perjanjian damai Pajajaran – Cirebon. Perjanjian tersebut dianggap hanya aman bagi Cirebon, tetapi menjadi ancaman bagi Banten. Jika kemudian Ia menyetujui, hal ini hanya karena ketaatannya kepada kebijakan ayahnya, Susuhunan Jati.
Niat Hasanudin untuk menguasai pakuan dilakukan secara terselubung, dengan cara membentuk pasukan khusus tanpa indentitas (tambuh sangkane), sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya ketika merebut Surasowan. Dalam periode berikutnya, Belanda menyebut tambuh sangkane dengan istilah rover, pengganggu ketertiban.
Hasanudin didalam ranji Pajajaran ia masih cicit Sri Baduga Maharaja dari Kawunganten, maupun dari Susuhunan Jati. Kawunganten putra Surasowan dan Surasowan putra Sri Baduga Maharaja dari Kentring Manik Mayang Sunda. (Yoseph, hal. 282). Mungkin Hasanudin merasa berhak atas tahta Kerajaan Pajajaran. Suatu hal yang patut diperhitungkan adanya kekhawatiran Hasanudin terhadap serangan Pajajaran untuk mengembalikan Banten sebagai wilayah Pajajaran. Kekuasaan Hasanudin di Banten diperoleh pasca menggulingkan ua nya, yakni Sang Arya Surajaya, hal ini sangat terkait erat dengan ekspansi perdagangan para Saudagar islam waktu itu, mengingat sangat sulit dikatagorikan sebagai penyebaran agama islam di Banten jika Sang Arya Surajaya pada masa itu sudah memeluk agama islam, bahkan ayahnya pun, Sang Surasowan telah memeluk agama islam. Banten sebagai pelabuhan perdagangan pada masa Arya Surajaya berada di bawah kekuasaan Pajajaran.
Niat menyerang Pajajaran dilakukan pada masa pemerintahan Sang Ratu Dewata. Hasanudin dengan pasukan tambuh sangkane langsung menyerang Pakuan, serangan itu disongsong pasukan Pakuan dialun-alun Pakuan, sekarang alun-alun Empang. Dalam pertempuran itu, gugur Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sanghiyang, perwira-perwira muda pihak Pajajaran.
Peperangan ini dicatat dalam Carita Parahyangan, isinya :
• “datangna bancana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Ratu Sarendet deung Tohaan Ratu Sanghyang”. (Datang bencana dari laskar musuh. Tak dikenal asal-usulnya. Terjadi perang di alun-alun. Gugurlah Tohaan Ratu Sarendet dan Ratu Sanghyang).
Kemenangan pasukan Pajajaran lebih banyak ditopang oleh kesetiaan dan ketangguhan pasukan yang pernah menjadi pengawal Surawisesa. Pada masa lalu pasukan tersebut telah mengalami lima berlas kali pertemuan di front barat Citarum. Pasukan Hasanudin setelah gagal menyerang Pakuan, kemudian mengundurkan diri, lalu melakukan serangan ke daerah utara, kemudian Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri. Serangan ini dimungkinkan untuk memancing konsentrasi pasukan Pajajaran agar keluar meninggalkan benteng Pakuan.
Didaerah tersebut pasukan Banten banyak melakukan pengrusakan terhadap Kabuyutan dan para wiku yang sangat dilindungi Pajajaran. Dimasa lalu dianggap sebagai Dangiang Sunda, banyak raja Sunda yang mempertaruhkan harga diri negaranya di Kabuyutan, bahkan Darmasiksa memaklumkan, bahwa : “lebih hina seorang raja dari kulit musang di tong sampah jika tidak mampu mempertahankan Kabuyutannya”.
Serangan Kedua
Pasca penyerangan pertama, Pakuan sudah tidak dapat mengkonsolidasikan pasukannya dengan baik, mengingat rakyat sudah mulai frustasi melihat tingkah laku penguasanya, terutama ketika masa Ratu Sakti.
Pada masa Nilakendra memang telah masuk pada masa Kaliyuga. Pada masa ini muncul kembali serangan dari pasukan tambu sangkane menggempur ibukota Pakuan. Prabu Nilakendra tidak berdaya, ia meloloskan diri meninggalkan keraton. Prabu Nilakendra tidak pernah diketahui kapan wafatnya dan dimana dipusarakannya. Mungkin ia meninggal di tengan hutan belantara dalam keadaan sengsara sebatang kara. Peristiwa ini digambarkan didalam Carita Parahyangan, :
• “Tohaan Majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan” (Tohaan Majaya kalah perang dan ia tidak tinggal di Keraton).
Pakuan dipercayakan kepada semua pembesar yang tidak menyertainya dalam pelarian. Para pembesar kerajaan Pajajaran dengan segala daya upaya mempertahankan keraton Pakuan Pajajaran. Berkat perlindungan parit pertahanan dan benteng yang dibangun oleh Sri Baduga Maharaja, Pakuan dapat diselamatkan.
Pengungsi dari Pakuan
Pakuan pasca ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah. Sebagian lagi meninggalkan Pakuan mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, Senapati Jayaprakosa beserta adik-adiknya, kemudian menetap di Sumedang.
Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah kekerabatan dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.
Dari sekian bagian penduduk yang mengungsi, ada sebagian lagi yang mencoba bertahan di Pakuan, bersama beberapa orang pembesar kerajaan yang ditugaskan menjaga dan mempertahankan Pakuan. Walaupun sudah tidak berfungsi, kehidupan di Pakuan pulih kembali.
Pengusian lainnya kewilayah barat daya dipimpin oleh Ragamulya. Di pengungsian ia berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk diselamatkan. Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara. Dalam versi lainnya ada juga yang menyebutkan, bahwa Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim digambarkan dalam suatu pemerintahan. Pulasari waktu itu sebagai Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan. Digunakan oleh Suryakancana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Menurut Iskandar (2005), Prabu Ragamulya Suryakancana seperti sudah mempunyai firasat, bahwa pusat kerajaannya harus di Pulasari Pandeglang. Mungkin berdasarkan petunjuk spiritual (uga), bahwa ia harus kembali ketitik-asal (purbajati). Mungkin juga ia mengetahui melalui bacaan lontar, catatan tentang Rajakasawa yang mengisahkan Karuhun (leluhur) Jawa Barat. Atau hanya berdasarkan dorongan batin yang ia miliki sebagai pewaris darah raja.
Sulit dibayangkan, sebab pusat kerajaannya yang baru, justru berdampingan dengan Kerajaan Surasowan. Yang pasti, Pulasari yang dijadikan ibukota Kerajaan Pajajaran tersebut adalah patilasan (bekas) pemukiman yang dahulu kala didirikan oleh Sang Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dalam abad kedua Masehi. Di Pulasari pula Sang Dewawarman mendirikan Rajatapura, ibukota Salakanagara pada tahun 130 Masehi.
Pajajaran Sirna
Pasca penyerangan Banten kali kedua ke Pakuan, tokoh penanda tangan perjanjian Pajajaran-Cirebon, satu persatu menutup usianya, yakni Sanghiyang Surawisesa (raja Pajajaran), wafat lebih awal, pada tahun 1535 M ; Susuhunan Jati, wafat pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka atau 19 September 1568 M ; Fadillah Khan, yang menggantikan Susuhunan Jati, wafat, pada tahun 1570 Masehi ; dan Panembahan Hasanudin, wafat pada tahun 1570 Masehi.
Hasanudin digantikan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf, putra dari pernikahannya dengan puteri Indrapura. Panembahan Yusuf merasa tidak terikat dalam perjanjian damai Cirebon dengan Pajajaran, ia pun tertarik untuk memperluas wilayah Banten, kemudian mempersiapkan serangannya dengan matang, terutama setelah Hasanudin Gagal menghancurkan Pakuan untuk yang kedua kalinya. Penyerangan tersebut dilakukan setelah sembilan tahun Panembahan Yusuf memegang tahta kerajaan Surasowan. Serangan tersebut mendapat bantuan dari kerajaan Cirebon, sehingga disebut serangan besar-besaran ke Pakuan.
Serangan Banten ke Pakuan diabadikan dalam Serat Banten dalam bentuk pupuh Kinanti, :
• Nalika kesah punika / Ing sasih muharam singgih / Wimbaning sasih sapisan / Dinten ahad tahun alif / Puningka sangkalanya / Bumi rusak rikih iki (Waktu keberangkatan itu – terjadi bulan muharam – tepat pada awal bulan – hari ahad tahun alif – inilah tahun sakanya – satu lima kosong satu).
Pakuan pasca ditinggalkan Nilakendra masih memiliki aktifitas seperti biasanya, namun memang sudah tidak lagi digunakan sebagai persemayamannya raja Pajajaran. Benteng Pakuan memiliki pertahanan yang sangat kuat. Pakuan masih memiliki soliditas dan ketangguhan sisa-sisa prajurit Pajajaran yang masih bermukim dibenteng.
Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam yang sakit hati”. Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan akhirnya dapat ditaklukan. Penduduk Pakuan telah susah payah membangun kembali kehidupannya, namun pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dijadikan simbol Pajajaran dibumi hanguskan.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
• Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Memburu Raja Nu Ngungsi
Para pengungsi yang menuju kearah barat daya berakhir di Pulasari. Mereka menyertakan Ragamulya. Di pengungsian ia berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk diselamatkan, untuk kemudian diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun.
Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara. Namun dalam versi lain disebutkan, bahwa : Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim digambarkan dalam suatu pemerintahan. Di Pulasari hanya sebagai wilayah Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan dan dilindungi negara. Hal tersebut digunakan pula oleh Ragamulya untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga, namun ia bukan raja Sunda seperti leluhurnya dahulu, ia tidak memiliki perlengkapan perang, karena ia hanya hidup Ngaresi dipengungsian.
Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya pada akhirnya harus menerima kodratnya, ia gugur di Pulasari setelah di bantai dan diluluh lantakan penduduknya. Demikian catatan sejarah menuliskan, Prabu Ragamulya Suryakancana gugur di Pulasari oleh pasukan Maulana Yusuf.
Lima abad setelahnya, setiap pengunjung Situs Purbakala Pulasari diberitahukan tentang adanya legenda Kaduhejo. Konon pada masa lalu telah datang kedaerah ini seorang raja tanpa mahkota, yang wafat di telasan pasukan Panembahan Yusuf. (***)
PUING PAKUAN
Antara Pajajaran sirna Ing Bhumi sampai ditemukan kembali oleh ekspedisi Scipio (1867) berlangsung kira-kira satu abad. Kota Pakuan yang pernah berpenghuni sekitar 48.271 jiwa ini ditemukan sebagai puing yang diselimuti oleh hutan tua (geheel met out bosch begroeijt zijnde; 1703).
Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana yang mengantarkan ekspedisi Scipio menemukan kembali kotanya yang hilang. Pakuan ditelan jaman, di selimuti kabut duka, dihancurkan kerakusan manusia.
Pada tanggal 1 September 1687 titi mangsa ditemukan tapak lacak lemah cainya. Mereka hadir sebagai pejiarah pertama. Di puing Kabuyutan Pajajaran yang mereka duga sebagai singggasana raja, mereka tafakur dan mengenang kejayaan dan keagungan Pajajaran.
Scipio pada tahun 1687 memiliki dua catatan penting dari ekspedisinya, yakni perjalanan antara Parung Angsana, Tanah Baru menuju Cipaku dengan melalui Tajur. Scipio mencatat : Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni. Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit.
Pada tanggal 1 September 1687 M memperoleh keterangan dari anak buahnya, bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran. Dari perjalanannya disimpulkan bahwa ada jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan kesan wajah kerajaan, terutama Situs Batutulis.
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja Pajajaran, sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau.
Penduduk Parung Angsana menghubungkan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau penjaga ‘singgasana raja Pajajaran’. Mungkin laporan dan peristiwa ini yang memunculkan mitos tentang hubungan Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau. Selanjutnya disebutkan pula bahwa raja Pajajaran tilem, sedangkan prajuritna berubah wujud menjadi harimau.
Dari hasil ekspedisi Winkler dilaporkan pula, tentang perjalanannya yang bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana, Tanah Baru lalu ke selatan, melewati jalan besar, Scipio menyebutnya ‘twee lanen’. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku, namun hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah melewati sungai Jambuluwuk, Cibalok dan melintasi parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak, tepinya nampak membentang ke arah Ciliwung sampai ke jalan menuju arah tenggara, setelah arca. Kemudian ia sampai di lokasi kampung Tajur Agung. Setelah itu sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya.
Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian dikedua sisinya. Dari Tajur Agung menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak pada tahun 1709 dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota. Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama.
Di sekitar Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan. Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan 7 batang pohon beringin.
Lahan di bagian utara bersambung dengan Bale Kambang yang biasanya digunakan untuk bercengkrama raja. Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi jalan Batutulis (sisi barat) dan Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan benteng batu yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara).
Balekambang terletak di sebelah utara benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang. Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa Istana Pakuan itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8.5 baris, disebutkan demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup. Winkler menyebut kedua batu itu stond (berdiri).
Setelah terlantar selama kira-kira 110 tahun, sejak Pajajaran burak oleh pasukan Banten pada tahun 1579, batu-batu itu masih berdiri dan masih tetap pada posisi semula.
Winkler dari tempat prasasti menuju ke tempat arca, pada penduduk menyebutnya Purwakalih, pada tahun 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih. Di sana terdapat 3 buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian pada tahun 1862 disadur dalam bentuk pupuh. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara Kabuyutan Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad Pajajaran, Pohon Campaka Warna terletak tidak jauh dari alun-alun.
Konon kabar Pakuan dihias dengan kraton Sri Bima, telaga panjang Sang Hiyang Talaga Rena Mahawijaya atau Sanghyang Kamala Rena Wijaya, dengan taman Milakancana dekat hutan Songgong tempat punden Pakuan Pajajaran.
Kearah Pakuan Pajajaran dibuat jalan-jalan besar yang dapat dilalui gerobak-gerobak dan beberapa kilometer. ke utara Muaraberes di kali Ciliwung masih ada bekas-bekas dermaga, dan juga di Ciampea, disebelah barat dari Pakuan, di Kali Cisadane semestinya akan dapat ditemukan bekas-bekas peninggalan dermaga atau sistim pertahanan, karena kedua tempat itu adalah batas sungai yang dapat dilayari sampai ke muara Laut Jawa, pintu gerbang menuju pedalaman.
Dari Pakuan ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusa, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwa karta, Sagalaherang, terus ske Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga Kawali dan ke pusat kerajaan Galuh Pakuan disekitar Ciamis dan Bojong Galuh. (Mungkin semacam jalan tol).
Pakuan bukan hanya lahan melainkan juga kenangan. Lahannya “dihidupkan kembali” tetapi kerajaanya takkan kembali. Inilah yang dirindukkan dan disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap kali gema Pajajaran menyentuh hati mereka “Geus deukeut ka Pajajaran ceuk galindeng Cianjuran Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng panineungan” (Sudah dekat ke Pajajaran menurut lantun Cianjuran Masih jauh ke Pakuan menurut lantun Kenangan) Pakuan terasa dekat, tetapi tak kunjung sampai. Kedekatan batin terhadap Pajajaran ini akhirnya menjelmakan gagasan Pajajaran Ngahiyang atau Pajajaran Tilem.
Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun - Pajajaran tidak hilang, Pakuan hanya ngahiang. Paling itulah kata-kata orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajaran, bahkan mereka menghibur diri dengan berkata : “Ngan engke bakal ngadeg deui” [Suatu saat akan berdiri kembali).
• Talung talung keur jaman Pajajaran / jaman aya keneh kuwarabekti / jaman guru bumi di pusti-pusti / jaman leuit tangtu eusina metu / euweuh nu tani mudu ngijon / euweuh nu tani nandonkeun karang / euweuh nu tan paeh ku jengkel / euweuh nu tani modar ku lapar. (masih mending waktu Pajajaran / ketika masih ada kuwarabekti / ketika guru bumi dipuja-puja / ketika lumbung padi melimpah ruah / tiada petani perlu mengijon / tiada petani harus mati kelaparan / tiada petani harus mati karena kesal / tiada hatus petani mati karena lapar).
Cag heula. (***)
Sumber Bacaan :
Sejarah Bogor – bagian 1, Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor – 1983 – di copy dari pasundan.homestead.com
Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
• Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
• Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
• Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
• Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
• Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor, – 1983.
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
Di Kutip dari : GUNUNG SEPUH
akibalangantrang.blogspot.com
Disarikan oleh : Agus Setiya Permana
Dari : berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar