DAFTAR ISI
NUSANTARA
Jumat, 22 Oktober 2010
KERAJAAN PAJAJARAN_Bag 2
POLITIK DAGANG
Hubungan Portugis dengan Sunda
Pada tahun 1511 armada Demak sedang berada di Cirebon. Hal ini dianggap mengancam kedaulatan Pajajaran, terutama pasca Cirebon menyatakan diri sebagai negara merdeka. Oleh karena itu Sri Baduga mengutus putra mahkotanya, yakni Surawisesa untuk mengadakan hubungan dengan Portugis.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521).
Hasil kunjungan pertama bersifat penjajakan, pada tahun 1513 Portugis tiba diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan tersebut disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Kisah ini dimuat didalam Pustaka Nusantara III/1. Naskah tersebut sebagai berikut :
• Karena itu Sang Prabu Pakuan Pajajaran mengutus putera mahkota yaitu Ratu Sangian atau Prabu Surawisesa. Duta Kerajaan Pajajaran ini menuju ke negeri Malaka. Di sana sang duta menegadakan persahabatan dengan pemimpin (nerpati) orang Portugis yang bernama Laksamana Bungker.
• Ia telah berjanji akan selalu membantu Kerajaan Pajajaran bila diserang oleh Pasukan Demak dan Cirebon serta ingin menjalin hubungan dagang. Setahun kemudian orang-orang Portugis berkunjung ke Pulau Jawa. Jumlah kapalnya 4 buah.
• Mereka menginggahi semua pelabuhan yang ada di negeri Sunda, dan sang bule membuat surat kelak ketika sang putra mahkota telah menjadi ratu Sunda dengan gelar Prabu Surawisesa. [RPMSJB, Jilid ke-4, 16].
Surawisesa ketika itu masih menjadi Prabu Anom. Kelak dikemudian hari para penulis babad dan petutur pantun mengisahkan lalampahannya ini di dalam Lalakon Salaka (mungkin sakakala) Domas, dengan nama Munding Laya Dikusumah, sedangkan orang Purtugis digambarkannya sebagai Guriang.
Menurut Tome Pires orang Portugis yang mengikuti pelayaran penjajakan pada bulan Maret – Juni 1513, menyatakan, bahwa pada saat itu Portugis telah berhasil menguasai perairan Malaka.
Pada tahun 1522 Surawisesa naik tahta. Penobatannya dihadilir utusan Portugis di Malaka. Pada akhir kunjungan tersebut utusan Portugis dengan Pakuan menandatangani perjanjian dengan Pajajaran. Perjanjian tersebut menurut Soekanto (1956) ditandatangai pada tanggal 21 Agustus 1522.
Ten Dam (1957) menganggap bahwa perjanjian itu dibuat secara lisan, akan tetapi sumber portugis yang dikutip oleh Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield” (Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu).
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Pajajaran akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun, untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua costumodos atau + 351 kuintal.
Perjanjian Pajajaran dengan Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggono, disebabkan Selat Malaka merupakan pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara yang sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus.
Trenggono mengirimkan armadanya di bawah pimpinan Senapati Demak, yakni Fadilah Khan. Pada saat itu Fadillah Khan telah memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana (Cirebon). Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya, yakni Barkat Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah.
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Pada masa itu Hasanudin sedang berusaha menjatuhkan tahta Ua nya, yakni Arya Surajaya.
Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten (Sang Arya Surajaya) beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya, Syarif Hidayat menjadi Bupati Banten pada tahun 1526.
Setahun kemudian Fadillah menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran. Menurut Versi lainnya pada masa itu Kalapa tidak dijaga ketat oleh Legiun Sunda, mengingat jarak Pajajaran dengan Kalapa diperkirakan dua hari (Tome Pires : 1453). Menurut versi lainnya, jarak tempuh dari Ibukota Pakuan ke Kalapa lewat perairan memerlukan waktu dua minggu.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan membawa 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa.
Pada tanggal 30 Juni 1527 di Muara Cisadane De Sa memancangkan padrao dan menjuluki Cisadane dengan nama Rio de Sa Jorge. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah.
Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Hubungan Portugis dengan Demak
Panembahan Hasanudin memiliki peranan yang cukup besar ketika ia masih berstatus Bupati bawahan Cirebon. Pada masa tersebut Sultan Trenggono mengutus adiknya, yakni Nyi Pembayun, isteri dari Fadillah Khan, meminta bantuan pasukan Banten agar bergabung dengan pasukan Fadillah Khan (Bupati Kalapa), untuk menaklukkan, Blambangan, Panarukan dan Pasuruan. Dalam penyerangan tersebut, Demak menyertakan Pasukan Portugis untuk membantunya.
Pada masa itu Demak tidak lagi memusuhi Portugis, bahkan Portugis diijinkan membuka kantor dagang di Banten Pasisir, serta menempatkan armada lautnya disana. Armada Portugis pada saat itu dipimpin oleh Tome Pinto (pelaku penanda tangan perjanjian Pajajaran – Portugis 21 Agustus 1522 M di Pakuan). Dari catatan Tom Pires inilah sejarah ini diketahui.
Mungkin cerita tersebut sangat menganggu mengingat peristiwa penandatanganan Perjanjian Pajajaran – Portugis di pahami sebagai kesalahan Pajajaran melakukan kolaborasi dengan pihak asing dalam mempertahankan kedaulatannya. Namun akan menjadi lain ketika mengetahui sejarah selanjutnya, terutama ketika Demak menyertakan Portugis untuk menaklukan Blambangan, Panarukan dan Pasuruan.
Begitu pula pandangan Demak. Awalnya dimasa pemerintahan Raden Patah sangat memusuhi Portugis. Namun ketika Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon sudah berada dibawah pengaruhnya, demi kepentingan perdagangan maka Demak tidak mengharamkan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis.
Ketika Banten Pasisir sudah berubah menjadi Kerajaan Surasowan, dunia perdagangannya semakin pesat. Islam telah mewarnai Surasowan menjadi Negara perniagaan. Menurut (Iskandar, 2005) dari catatan perjalanan dapat digambarkan sebagai berikut :
• Dari Malaka berlayar lagi, Setelah 17 hari, tibalah aku dipelabuhan Banten tempat yang biasa dikunjungi orang Portugis untuk berdagang. Disana keperluan untuk muatan kapal kita, merica, ketika itu sedang sangat jarang didapat diseluruh negeri. Karena itu kami terpaksa harus tinggal disini selama musim hujan.
• Telah berlangsung dua bulan lamanya kami dalam perdagangan yang menyenangkan disin, ketika raja Demak penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali, Madura, Angenia mengirim utusan kepada Tagaril, raja Sunda, meminta bantuan dengan pesan bahwa dalam tempo setengah bulan harus datang ke Jepara tempat peralatan perang sedang disiapkan untuk menyerang Pasuruan.
• Bala bantuan Banten ketika itu berkekuatan yang terdiri dari 30 calaluzes dan 10 jurupango diperlengkapi dengan keperluan perjalan dan peralatan perang. Dalam 40 kapal itu terdapat 7.000 orang diluar para pendayung. Sedangkan dari Portugis menyertakan 40 orang. Kesertaan Portugis tentunya setelah mendapat konsensi, bahwa Portugis akan dibantu di Banten, sehingga janji ini mendorong Portugis untuk membantu peperangan ini.
Dari catatan Tome Pinto, menyebutkan, bahwa Raja Sunda (Hasanudin) bertolak dari pelabuhan Banten pada tanggal 5 januari 1546 dan tiba pada tanggal 19 bulan itu dikota Jepara. Disana peralatan perang sedang disiapkan.
Terakhir
Dari catatan ini diketahui pula adanya kepentingan politik perdagangan antara Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak dengan Portugis. Walaupun 24 tahun yang lalu Portugis telah mengadakan perjanjian dagang dengan Pajajaran, namun kemudian berpaling dan mengikat persahabatan dengan negara-negara yang memiliki pelabuhan dagang. Pada waktu semua pelabuhan milik Pajajaran sudah direbut Demak. Hal ini ditegaskan dalam catatan Tome Pinto, bahwa raja Demak adalah penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali, Madura, Angenia.
Suatu hal yang jarang dibahas dalam kondisi ini, yakni kesempatan Pajajaran untuk menguasai kembali daerahnya yang telah direbut Cirebon – Demak. Keengganan Pajajaran untuk menggunakan kesempatan ini dimungkinkan karena penguasa Pajajaran percaya terhadap Perjanjian Cirebon – Pajajaran untuk tidak saling mengganggu. Dimasa kemudian, perjanjian ini menjadi haraus dilanggar, terutama ketika Hasanudin dan Panembahan Yusup merasa pelu untuk menaklukan Pajajaran (***)
MANURAJASUNYA
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Pada tahun 1535 masehi, atau dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai Sakakala untuk ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Surawisasa dipusarakan di Padaren.
Surawisesa begitu mencintai dan menghormati ayahnya, ia berupaya mempertahan keutuhan Sunda, namun tidak pernah ada kesempatan untuk tetap memajukannya kecuali terfokus mempertahankan dari gempuran Cirebon, Demak dan Banten. Upayanya ini ia dikenang dan dilantunkan dalam pantun serta dikisahkan dalam babad. Konon hanya Surawisesa dan Sri Baduga yang paling banyak dikisahkan petutur tradisional Sunda. Namun sejak Surawisesa purna tugas dan purna hirup, Pajajaran mengalam kemorosotan yang sulit dibangkitkan kembali. Mungkin masa tersebut adalah peralihan jaman, geus niti wancina nu mustari sangkan Pajajaran ganti ngaran, tileum heula terus ngaganti ngaran jadi Sunda anu anyar.
Surawisesa digantikan oleh Ratu Dewata, putranya yang bertahta di Pakuan pada tahun 1535 sampai tahun 1543. Ratu Dewata sangat berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani. Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara Sunatan, adat khitan pra Islam yang memang telah biasa dilakukan di kalangan raja Sunda, ia pun melakukan tapa Pwah – Susu, suatu kebiasaan adat yang hanya makan buah-buahan dan minum susu dan berperilaku sebagai raja resi.
Pelanggaran Perjanjian
Pada saat Ratu Dewata bertahta perjanjian perdamaian Pajajaran dengan Cirebon masih dianggap berlaku. Ratu Dewata sangat yakin perdamaian ini akan ditaati para pihak, sehingga ia tidak mempunyai prasangka buruk akan adanya pelanggaran perjanjian yang dilakukan pihak lain. Disamping itu, Ratu Dewata lebih banyak memilih menekuni masalah keagamaan dan berpuasa dibandingkan mengurus kenegaraan.
Anggapan Ratu Dewata tentu berlainan dengan Hasanudin dari Banten, yang pada saat itu ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran – Cirebon, Hasanudin melakukan penandatanganan perjanjian karena kepatuhannya kepada Syarif Hidayat, ayahnya. Hasanudin beranggapan bahwa perjanjian Cirebon dengan Pajajaran hanya menguntungkan Cirebon, samak sekali tidak menjamin kepentingan Banten, padahal wilayah kekuasaan Banten berbatasan langsung dengan Pajajaran.
Hasanudin secara diam-diam membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya pada saat terjadi huru hara di keraton Surasowan yang memaksa bupati Banten melarikan diri ke Pajajaran, kemudian menjadikan Hasanudin sebagai bupati Banten dibawah vassal Cirebon. Pasukan ini oleh Belanda dinamakan rover karena dianggap sering mengganggu ketertiban, sedangkan penulis Carita Parahyangan menyebutnya “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya).
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Disamping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan serangan Banten tidak mampu menembus Pakuan.
Didalam prasasti batu tulis dituliskan, bahwa Sri Baduga membuat benteng Pakuan yang kokoh. Hal yang sama disebutkan didalam naskah Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 dengan istilah Amateguh Kadatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud “membuat parit” (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.
Posisi Pakuan sangat strategis untuk pertahanan, karena berada pada permukaan yang tinggi atau Lemah Duwur – Lemah Luhur, Van Riebeeck menyebutnya “bovenvlakte”. Pada posisi ini pasukan pengawal keraton sangat leluasa untuk memantau sekelilingi luar istana, sehingga mempermudah untuk mengetahui manuver musuh.
Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi 3 batang sungai pernah dijadikan pemukiman lemah duwur sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi. Lokasi Pakuan merupakan lahan Lemah Duwur yang satu sisinya terbuka menghadap Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah. Tipe Lemah Duwur biasanya dipilih masyarakat dengan latar belakang kebudayaan Huma (Ladang). Kota-kota seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur, dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan Perkebunan.
Lainnya halnya dengan yang disebut dengan Garuda Ngupuk, biasanya digunakan masyarakat yang berlatar belakang Kebudayaan Sawah. Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan. Kota demikian seperti Garut, Bandung dan Tasikmalaya.
Pasukan Hasanudin setelah gagal merebut benteng kota, bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan lemah larangan (Kabuyutan) di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri, Daerah tersebut pada masa Sri Baduga merupakan desa Kawikwan yang dilindungi oleh negara, mungkin juga Hasanudin menyerang ketiga wilayah ini bertujuan menghancur- kan ‘dangiang kerajaan’, atau untuk mengalihkan perhatian pasukan Sunda agar keluar menyerang di luar Benteng.
Penulis Carita Parahyangan menyebutkan adanya penyerangan dan pembunuhan para pandita, sebagai berikut .
Hana pandita sakti diruksak, pandita di Sumedeng. Sang panadita di Ciranjang pinejahan tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. / Sang pandita di Jayagiri Iinabuhaken ring sagara. / Hana sang pandita sakti hanteu dosana.
Ngarajaresi di jaman Susah
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus “memerintah dengan baik”. Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan Manurajasunya seperti yang telah dilakukan oleh Wasitu Kancana.
Kepribadian Ratu Dewata yang ngarajaresi di masa perang mungkin dianggap kurang tepat, bahkan ada yang berpendapat, bahwa hal tersebut dilakukan karena ia tidak mampu menghadapi kenyataan. Penulis carita parahyangan kemudian berkomentar pendek ‘Samangkana ta precinta’ (begitulah jaman susah).
Perilaku Ratu Dewata di sindir oleh penulis Carita Parahyangan. “Nya iyatnayatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (ya berhati-hatilah orang-orang yang kemudian, janganlah engkau kalah perang karena rajin puasa). Memang seolah-olah ada sifat yang ambigu dalam menyikapi perilaku Ratu Dewata dengan raja-raja sebelumnya yang menjadi raja resi, seperti Sang Bunisora yang diberinya gelar Satmata.
Menurut Kropak 630, tingkatan batin manusia dalam keagamaan adalah acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah tingkatan kelima dan tahap tertinggi bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat keenam (suraloka), orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan ketujuh (nirawerah) padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal. Pada saat itu mungkin Ratu Dewata sudah mencapai tingkat diatas Satmata sehingga tidak menjalankan fungsinya sebagai raja Sunda. Padahal fungsinya sebagai raja tentu sangat berhubungan dengan masalah keduniaan.
Suatu hal yang kerap tidak terperhatikan oleh para penulis sejarah Sunda yakni mencari kondisi kekinian (semangat jaman) pada masa pemerintahan Ratu Dewata. Jika mencermati catatan Bujangga Manik yang diperkirakan menuliskan perjalanannya pada akhir tahun 1400 atau awal 1500 an. Dokumen tersebut saat ini disimpan di Perpustakaan Bodley, Oxford sejak tahun 1627, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada masa itu memang semangat keagamaan sudah mewarnai kisah perjalanan hidup kerabat keraton, bahkan Bujangga Manik pun diperkirakan seorang rahib. Mungkin kondisi pada waktu yang membentuk Ratu Dewata untuk lebih menekuni masalah keagamaan dibandingkan masalah kenegaraan.
Ratu Dewata dikesankan oleh Penulis Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Prebu Ratudé wata,
inya nu surup ka Sawah-tampian-dalem.
Lumaku ngarajaresi.
Tapa Pwah Susu.
Sumbé lé han niat tinja bresih suci wasah.
Disunat ka tukangna, jati Sunda teka.
Datang na bancana musuh ganal,
tambuh sangkané.
Prangrang di burwan ageung.
Pejah Tohaan Saréndét deung Tohaan Ratu Sanghiyang.
Hana pandita sakti diruksak,
pandita di Sumedeng.
Sang panadita di Ciranjang
pinejahan tanpa dosa,
katiban ku tapak kikir.
Sang pandita di Jayagiri
Iinabuhaken ring sagara.
Hana sang pandita sakti hanteu dosana.
Munding Rahiyang ngaraniya
linabuhaken ring sagara
tan keneng pati, hurip muwah,
moksa tanpa tinggal raga
teka ring duniya.
Sinaguhniya ngaraniya Hiyang Kalingan.
Nya iyatnajatna sang kawuri,
haywa ta sira kabalik pupuasaan.
Samangkana ta pr écinta.
Prebu Ratudé wata,
lawasniya ratu dalapan tahun,
kasalapan panteg hanca dina bwana.
Ratu Dewata Wafat pada tahun 1543, dipusarakan disawah tampian dalem. Kemudian digantikan oleh Ratu Sakti, putranya yang memiliki sifat yang berbeda dengan ayahnya. Masa pemerintahan Ratu Sakti sering juga disebutkan dengan istilah Masa Kaliyuga. (*)
MASA KALIYUGA
20Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti menggantikan Ratu Dewata, ia berkuasa pada tahun 1543 sampai dengan 1551 masehi. Kemudian ia diturunkan dari tahta dan digantikan oleh Nilakendra, yang berkuasa dari tahun 1551 sampai dengan 1567 masehi.
Penulis Carita Parahyangan menggambarkan, bahwa masa kaliyuga tiba pada masa Nilakendra, karena suasana masyarakat sudah menampilkan kejahatan dan kemaksiatan. Namun jika diurut dari sebab-sebabnya, tentu tidak dapat dilepaskan dari kondisi akhir pemerintahan Ratu Sakti, sehingga kondisi pada masa Nilakendra hanya berbentuk kondisi lanjutan yang mengarah pada jaman pralaya [kehancuran]. Carita Parahyangan mengamanatkan, : “aja tinut de sang kawuri polah sang nata” [jangan ditiru oleh mereka yang kemudian kelakuan raja ini].
Adanya permasalahan intern Pajajaran sangat jarang diperhatikan masyarakat, mengingat masyarakat Sunda pada umumnya hanya melihat adanya gangguan yang datang dari luar, yakni Banten, Cirebon dan Demak.
Kedatangan masa pralaya sebenarnya dapat dicegah jika Ratu Sakti meninggalkan kesenangangan pribadi dan memperhatikan suatu tatatanan masyarakat yang merasa aman lahir dan bathin serta dijauhkan dari kesengsaraan (Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sanghara, kreta). Pada jaman pemerintahan Ratu Sakti, merupakan masa yang sangat strategis untuk mengembalikan wilayah-wilayah Sunda yang telah direbut Cirebon.
Pada masa tersebut di Banten dan Kalapa terjadi kekosongan pasukan, karena pasukan Banten, Cirebon dan Demak disibukan menaklukan Pasuruan dan Panarukan. Serbuan pasukan gabungan tersebut, yang sudah dibantu Portugis mengalami kegagalan, apalagi setelah Trenggono gugur ditikam pelayannya yang baru berusia 10 tahun, putra Bupati Surabaya. Pasca peristiwa itu Demak dilanda huru hara. Didalam huru hara di Demak, gugur pula Pangeran Pasarean, putra mahkota Cirebon.
Kemudian pada tahun yang sama, yakni tahun 1546 Kerajaan Islam Demak runtuh, kekuasaannya beralih ke Pajang, untuk selanjutnya dilanjutkan oleh Mataram. Kondisi inilah yang tidak dimanfaatkan Ratu Sakti.
Jaman Ratu Sakti
Didalam suatu teori politik yang termasuk pada katagori jaman (masa) berulang, biasanya muncul dari suatu kondisi yang serba longgar dan menuju kearah kondisi chaos. Dalam kondisi ini masyarakat yang serba longgar akan mengarahkan kedalam kondisi free ficht competition. Pada akhirnya yang kuatlah yang menang. Dari kondisi chaos akan lahir suatu pihak dan kelompok atau tokoh yang kuat. Pihak ini bertujuan melakukan stabilitas dan mengembalikan aturan-aturan agar on the track terhadap tujuannya. Namun jika pihak tersebut sudah sangat berkuasa dan beralih menjadi otoriter, maka masyarakat akan mendesak kembali agar dapat lebih bebas dan serba longgar.
Kondisi seperti itu memang muncul pada masa Ratu Dewata, karena Ratu Dewata sendiri sudah tidak terlalu menghiraukan urusan kenegaraan. Mungkin Ratu Sakti merasa perlu untuk menstabilkan kembali kondisi negara, dan dapat dibenarkan jika langkah-langkahnya disertai dengan adanya penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, serta menggunakan aturan-aturan dan etika yang berlaku.
Langkah yang dilakukan Ratu Sakti justru sebaliknya. Kesan masyarakat terhadap rajanya sangat jauh dari istilah bijaksana. Ratu Sakti lebih banyak menyelesai kan permasalahan dengan cara-cara yang represif, banyak rakyat yang dihukum mati hanya karena melakukan pelanggaran kecil. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton, ia dianggap tidak berbakti terhadap orang tua, dan menghinakan para pendeta, kondisi ini tentu tidak dapat mengkonsolidasikan negara menjadi suatu kekuatan, bahkan mendorong rakyat untuk melakukan perlawanan.
Sifat Ratu Sakti sangat bertolak belakang dengan sifat Ratu Dewata yang serba alim, rajin berpuasa dan sering bertapa (bertarak). Memang sangat antagonis dari kondisi sebelumnya. Pelanggaran yang paling dianggap memancingkan reaksi rakyat, adalah mengawini estri larangan tikaluaran dan menikahi para selir ayahnya. Dengan demikian ia melanggaran dua katagori istri larangan dari tiga katagori yang dilarang.
Wanita terlarang (Istri larangan) untuk dinikahi di dalam tradisi Sunda masa lalu ada tiga macam. Hal ini sebagaimana yang diberitakan dari Carita Parahyangan dan Siksa Kandang Karesyan, yaitu : (1) gadis atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya diterima, gadis atau wanita terlarang bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu, (2) Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat, dan (3) ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut. (Ekadjati – 2005 : hal.196)
Kondusifitas yang tidak menguntungkan masyarakat Pajajaran tersebut masih bisa dihindarkan, dengan cara menurunkan Ratu Sakti dari tahtanya. Disisi lain Pajajaran masih diselamatkan dari serangan luar, baik serangan dari tambuh sangkane atau slagorde Banten, karena pada masa tersebut pasukan Hasanuddin serta Fadillah Khan sedang membantu Sultan Trenggono menyerbu Pasuruan dan Panarukan.
Penulis Carita Parahyangan dalam menanggapi perilaku Ratu Sakti, menuliskan, sebagai berikut :
• Disilihan ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu surup ka / Péngpéléngan. Lawasniya ratu dalapan tahun, kenana ratu twahna kabancana ku estri / larangan ti kaluaran deung kana ambutéré. Mati-mati wong tanpa dosa, ngarampas / tanpa prégé, tan bakti ring wong-atuha [44], asampé ring sang pandita. / Aja tinut d é sang kawuri, polah sang nata. / Mangkana Sang Prebu Ratu, carita inya.
Ratu Sakti dimungkinkan wafat dengan mengalami peristiwa kekerasan, karena jika melihat dari sifatnya, suatu hal yang mustahil jika mau mengundurkan diri sebagaimana yang dilakukan Dewa Niskala (Kawali). Ratu Sakti dimakamkan di Pengpelangan.
Prabu Nilakendra
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran kelima. Pada masa ini penulis Carita parahyangan menganggap sudah tiba kaliyuga (jaman kali) yaitu jaman yang menampilkan kejahatan dan kemaksiatan. Setelah Kaliyuga datang Pralaya (kiamat, kehancuran). Pemerintah Nilakendra di jadikan pertanda bahwa tidak lama lagi Kerajaan Pajajaran akan hancur akibat keangkara murkaan penguasanya. (PMSJB, buku keempat, hal.29).
Pada masa itu situasi Pajajaran sudah tidak menentu, rasa frustasi sangat melanda segala lapisan masyarakat, baik kerabat keraton maupun petani. Penulis Carita Parahyangan memberitakan, : “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” [Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu]. Berita ini diartikan, bahwa kelaparan telah berjangkit di Pajajaran.
Prabu Nilakendra diberitakan pula, ia membuat Bendera keramat, memperindah keraton dengan membangun tangan berbalay – tanahnya diperkeras dengan batu – mengapit gerbang larangan. Yang mendirikan bangunan megah 17 baris, dilukis dengan emas yang menggambarkan bermacam-macam cerita.
• Tohaan di Majaya alah prangrang, mangka tan nitih ring kadatwan. Nu ngibuda
• Sanghiyang Panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapitkeun dora
• larangan. Nu migawe bale-bobot pituweJas jajar, tinulis pinarada warnana cacaritaan.
Penilaian para penulis terhadap Nilakendra yang dianggap negatif tersebut, yakni memperindah keraton ; membangun taman berbalay ; memperkeras tanah dengan batu ; mendirikan bangunan mungkin dapat dianggap mendua, karena terhadap Sri Baduga justru dinilai sebagai mahakarya, bahkan diabadikan di dalam prasasti Batutulis. Hemat saya, negatifitas terhadap penilaian ini bukan disebabkan ia membuat sesuatu sebagaimana diatas, namun karena dilakukan di dalam kondisi rakyat yang sedang dalam keadaan kesulitan hidup dan frustasi.
Menurut penulis Carita Parahyangan, : “Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar” [Karena ratu terlalu lama (sering) tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan]. Didalam berita selanjutnya di sebutkan pula, : “Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa kilang”. [air yang memabukan menjadi penyedap makanan dan minuman].
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah, timbul ketegangan yang mencekam dalam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang sewaktu-waktu akan datang. Kondisi ini disikapi Nilakendra dan para pembesarnya dengan cara memperdalam suatu aliran tertentu. Konon menurut RPMSJB, ajaran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya, bahkan untuk mempercepat keadaan tidak sadar didahului dengan pesta pora, minum minuman keras, padahal kondisi itu masih tetap tidak berubah. Perilaku ini tentunya sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran tentang ‘makan sekedar enak dan minum tuak hanya sekedar pelepas dahaga’ [nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang]. Itulah bunga Pralaya Pajajaran yang tinggal menunggu waktu kehancurannya.
Didalam carut marut dan tanpa bisa melakukan konsolidasi kekuatan dan pasukannya, pada ahirnya pasukan tambu sangkane [pasukan tanpa identias] dari Banten tiba di Pajajaran. Hanya beberapa saat akhirnya benteng Pakuan dapat dikuasainya.
Memang sulit mencari berita tentang penghancuran Pakuan yang pertama oleh Banten, karena serangan tersebut dilakukan tanpa identitas. Hal ini disebabkan kepatuhan Hasanudin terhadap Syarif Hidayat, untuk menghormati perjanjian yang telah dibuat pada masa Surawisesa, namun Hasanudin merasa perjanjian tersebut hanya menguntungkan Cirebon, sedangkan Banten masih belum merasa aman karena berbatasan langsung dengan Pajajaran. Mungkin juga Hasanudin merasa khawatir adanya pembalasan dari Pajajaran, karena tahta Hasanudin didapatkan setelah ia melakukan kup terhadap ua dari ibunya sendiri, pada saat itu bupati Banten masih berada dibawah kekuasaan Pajajaran.
Peristiwa kekalahan Nilakendra terjadi ketika Syarif Hidayat masih hidup. Syarif Hidayat wafat pada tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian.
Nasib Benteng Pakuan
Berita tentang penjebolan benteng Pakuan diberitakan didalam sebaris kalimat Carita Parahyangan, yang mengabarkan “Tohaan di maja alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan” (Tohaan di maja kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton), tanpa menyebutkan kuburannya, karena dimungkinkan ia wafat diluar Pakuan, atau di pengungsian.
Sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.
Pasca penyerangan Banten ke Pakuan maka Pakuan sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga cerita komunitas Abah Anom didaerah Ciptarasa mulai dari sini), sementara pengungsi kearah timur terdapat pembesar kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa membawa (menyelamatkan) Mahkota dan atribut raja Pajajaran (sanghjiyang pake) ke Sumedang Larang, yang menjadi simbol raja Pajajaran. Untuk kemudian diserahkan kepada Geusan Ulun. Adanya simbol-simbol kerajaan Pajajaran yang digunakan Geusan Ulun, maka raja Sumedang Larang itu dianggap sebagai pewaris syah tahta Sunda.
Sebagian para pengungsi turut bersama Ragamulya ke Pula Sari, Pandeglang. Ragamulya yang bergelar Prabu Surya Kencana, kia menjadi raja Pajajaran di pengungsian, dinobatkan tanpa Mahkota. Hal ini sesuai dengan legenda Kadu Hejo yang menyebutkan, bahwa benda purbakala itu peninggalan seorang raja yang datang ketempat itu tanpa mahkota. (***)
RAJA PAMUNGKAS
Raga Mulya (1567 – 1579) didalam sejarah Sunda dikenal sebagai raja Pajajaran yang terakhir. Penulis Carita Parahyangan memberikan mana Nusiya Mulya. Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan sebagaimana raja Sunda lainnya, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun Panembahan Pulasari.
Raja dipengungsian
Pasca penyerangan Banten pada masa Nilakendra, Pakuan sudah tidak berfungsi sebagai ibukota, bahkan telah ditinggalkan Nilakendra dan kerabat keraton yang mengungsi keberbagai wilayah. Pakuan kemudian diurus oleh para pengawal istana dan penduduk, dan mampu bertahan sampai dua belas tahun, ketika itu Banten melakukan penyerangan untuk yang kedua kalinya dan memboyong baru Sriman tempat dinobatkannya raja Sunda.
Sebagian penduduk mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga komunitas saat ini berada didaerah Ciptarasa dan Ciptagelar).
Tentang pelarian keluarga keraton kearah selatan, dikisahkan pada awal abad yang lalu oleh Aki Baju Rambeng, juru Pantun dari Bogor selatan, dalam judul Dadap Malang Sisi Cimandiri, mengetengahkan keteguhan seorang perwira Sunda, tokoh tersebut bernama Raden Rakeyan Kalang Sunda. Selain itu, muncul pula legenda tentang Uga Wangsit Siliwangi, yang diyakini di amanatkan Prabu Siliwangi didaerah ini, padahal Siliwangi, hidup dijaman Pajajaran masih jeneng dan Siliwangi masih mampu memerintah dengan tenang.
Rombongan lainnya mengungsi menuju ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa memboyong Mahkota dan atribut raja Pajajaran (Sanghiyang Pake) ke Sumedang Larang, mungkin tertinggal ketika Nilakendra meloloskan diri dari Pakuan. Didalam tradisi raja-raja Pajajaran Sanghiyang pake dan batu gilang atau palangka batu sriman sriwacana dianggap penting untuk menunjukan legalitas seorang raja.
Sebagian penduduk Pakuan mengungsi kearah barat daya tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang. Rombongan tersebut dipimpin oleh salah satu putra Nilakendra, yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana. Menurut legenda Kadu Hejo, di daerah Pulasari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Ia memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya dihancurkan oleh Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu. [RPMSJB, Jilid keempat, hal.30]
Ketiadaan pakaian dan perangkat raja diatas dapat pula dikaitkan dengan cerita lain. Dalam kisahnya disebutkan bahwa mahkota dan pakain kerajaan tersebut diboyong oleh Jaya Perkosa dari Pakuan dan adik-adiknya, yakni Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot, kemudian diserahkan untuk digunakan Geusan Ulun pada saat pelantikannya. Dengan penggunaan perangkat tersebut maka Geusan Ulun dianggap syah sebagai pewaris tahta Sunda.
Serangan Banten kedua
Pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka, bertepatan dengan tanggal 19 September 1568 masehi Susuhunan Jati wafat. Pemerintahan Cirebon diwalikan kepada Fadilah Khan, kemudian dua tahun sesudahnya atau pada tahun 1570, Fadilah Khan wafat, tahta Cirebon selanjutnya dilanjutkan oleh Panembahan Ratu. Namun lebih banyak mengkonsentrasikan perhatiannya ke Pajang, karena termasuk salah satu murid sekaligus menantu dari Adiwijaya.
Di Banten pada tahun 1570 Panembahan Hasanudin juga wafat. Tahta Banten di lanjutkan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf. Ia sangat berperan dalam menentukan hubungan selanjutnya dengan masalah Pajajaran. Hal ini disebabkan pula para penandatangan perdamaian Cirebon dengan Pajajaran sudah wafat, oleh karenanya ia tidak merasa harus menghormati perjanjian tersebut.
Semula Panembahan Yusuf tertarik untuk menaklukan Palembang, namun ia merasa kurang puas karena Pakuan belum seluruhnya dapat dilumpuhkan. Padahal telah dikepung dan beberapa kali diserang, benteng Pakuan masih belum dapat diterobos. Pada masa itu Pakuan sudah ditinggalkan rajanya, namun masih ada penduduk bersama pasukan yang ditugaskan untuk mempertahan Pakuan.
Untuk melakukan penyerangan, Panembahan Yusuf memerlukan persiapan yang matang, antara lain mempersiapkan pasukan yang lengkap dan menebar para telik sandi untuk mengetahui kelemahan penjagaan benteng. Penyerangan akhirnya dilakukan pada tahun 1579 dengan menggabungkan dua pasukan besar, yakni Banten dan Cirebon.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
• Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan, dalam Pupuh Kinanti, :
• Nalika kesah punika / ing sasih Muharam singgih / wimbaning sasih lapisan / dinten ahad tahun alif / punika sakalanya / bumi rusak rekeih iki ( Waktu keberangkatan itu / terjadi bulan Muharam / tepat pada awal bulan / hari Ahad tahun Alif /inilah tahun Sakanya / satu lima kosong satu). [RPMSJB, hal. 32]
Kejatuhan benteng pakuan diketahui dari naskah Banten. Naskah tersebut memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah dibuka dari dalam oleh komandan kawal benteng Pakuan yang merasa sakit hati, karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara Ki Jongjo seorang kepercayaan Panembahan Yusuf.
Pada tengah malam buta, setelah pintu gerbang Pakuan dibukan dari dalam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota. Kisah itu mungkin benar atau hanya rekaan, namun cerita ini cukup menggambarkan, bahwa betapa kuatnya pertahanan Benteng Pakuan yang dibuat Sri Baduga, bahkan setelah ditinggalkan oleh rajanya selama 12 tahun, pasukan Banten dan Cirebon masih perlu menggunakan cara halus untuk menembusnya.
Nasib Pakuan beserta para penghuninya setelah dihancurkan oleh pasukan Banten dan Cirebon, tidak terkabarkan beritanya, termasuk dari naskah-naskah tua. Namun pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Sersan Scipio, pada tanggal 1 September 1687 menemukan sisa-sisa keraton tersebut, terutama tempat duduk yang ditinggikan (sitinggil) raja Pajajaran, masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Dari sinilah kemungkinan muncul mitos, bahwa prajurit Pajajaran berubah menjadi harimau.
Berakhirnya jaman Pajajaran (1482 – 1579), ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu tersebut di boyong ke Banten karena tradisi politik mengharuskan demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Tentang batu palangka dikisahkan di dalam Carita Parahiyangan, :
• Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji d i Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata.
• (Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah Tahta Nobat, yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka yang berada di Kabuyutan itulah seorang calon raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok sehingga halus dan mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang, bila dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa.
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan Banten. Karena bentuknya yang mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gigilang, yang berarti Batu yang mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Berakhir di Pulasari
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Panembahan Yusuf mengarahkan serangannya ke Pulasari. Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada akhirnya Ragamulya Suryakancana bersama pengikut nya gugur di Pulasari. (***)
MASA PRALAYA
• Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa, tembey datang na prebeda. / Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam. / Prang ka Rajagaluh, él éh na Rajagaluh. Prang ka Kalapa, él éh na Kalapa. Prang ka Pakwan, prang ka Galuh, prang ka Datar, prang ka Madiri, prang ka Paté gé, prang ka Jawakapala, él éh na JawakapaJa. Prang ka Galé lang. Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam. / Kitu, kawisésa ku Demak deung ti Cirebon, pun.
Didalam akhir naskah, penulis Carita Parahyangan memberitakan tentang raja terakhir Pajajaran dan bagaimana proses peperangan dilakukan sehingga seluruh wilayah Pakuan menjadi “Kawisesa oleh Demak dan Cirebon”.
Kehancuran Pajajaran diakibatkan dua faktor, yakni faktor intern dan ekstern. Faktor intern disebabkan oleh perilaku raja yang tidak peduli terhadap kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat, sedangkan faktor eksteern disebabkan adanya serangan musuh yang bertubi-tubi, terutama yang dilakukan oleh pasukan gabungan Banten dan Cirebon. Faktor ini menimbulkan rasa frustrasi dan ketakutan rakyat. Itulah sebenarnya yang hendak di gambarkan oleh penulis Carita Parahyangan.
Penulis Carita Parahyangan mengupas tentang proses dialetika suatu kondisi masyarakat, sekalipun diuraikan secara sederhana namun bagi para pemikir nampak adanya pemikiran dialektis tentang bagaimana kehancuran suatu masyarakat itu terjadi.
Masalah Intern Pakuan
Penulis Carita Parahyang menguraikan, bahwa : jika suatu masa tidak mengalami kejahatan dan kemaksiatan maka manusia akan berada di dalam masa yang sejahtera. Akan tetapi justru sebaliknya, masa kaliyuga sudah sangat terasakan ketika masa Ratu Sakti, terutama ketika kejahatan dan kemaksiatan dianggap biasa dan dilindungi penguasa, sehingga Pajajaran hanya tinggal menunggu masa Pralaya (kehancuran, kiamat). Tentang analisa ini secara lengkap, sebagai berikut :
• Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sanghara, kreta, kreta. / Dopara luha gumenti tang kali. Sang Nilak éndra wwat ika sangké lamaniya manggirang, lumekas madumdum cereng. Manganugraha weka, hatina nunda wisayaniya, manurun aken pretapa, putu ri patiriyan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa kilang.
Tahapan kehancuran Pajajaran diuraikan pada bab terdahulu, tentang Manurajasuna dan masa Kaliyuga, tentunya mulai nampak pada masa Ratu Dewata, raja hanya mengejar kebahagiaan hidup melalui laku tapa, batarak, kuru cileuh kentel peujit, melakukan pwah susu namun tidak peduli terhadap kehidupan negara dan masyarakatnya.
Pada masa Ratu Dewata bertahta, kesempatan untuk melakukan pembangunan dan mengkonsolidasikan masyarakat lebih besar dibandingkan pada masa Surawisesa, namun Surawisesa sudah meletakan dasar-dasar keamanan negara melalui perjanjian damai dengan Cirebon, Demak dan Banten. Sekalipun luas yuridiksi negara sudah tidak seluas ketika Sri Baduga masih bertahta.
Kesempatan kedua nampak pada masa Ratu Sakti. Raja ini memiliki kesempatan yang luas untuk mengembalikan wilayah Pajajaran yang telah direbut Cirebon, Demak dan Banten. Pada masa itu pasukan Banten dan Kalapa sedang disibukan untuk menaklukan Pasuruan dan Panarukan, bahkan Sultan Trenggono, Demak dan Pangeran Pasarean, putra mahkota Cirebon terbunuh didalam huru hara Demak.
Proses selanjutnya tiba pada masa Nilakendra. Pada masa tersebut Pakuan sudah mulai membangun jalan-jalan disekitar istana dan memperbaiki segala macam atribut istana, namun kejahatan dan kemaksiatan sudah menyeruak keseantero negeri dan dianggap sesuatu yang biasa. Raja asyik mengejar kepuasaan hidup melalui pendalaman ajaran yang jauh dari realitas hidup, seperti mensyahkannya mabuk-mabukan sebelum melakukan ritual. Pada masa ini rakyat sudah frustasi dan dianggap sudah berada didalam masa Kaliyuga.
Pada masa Ragamulya ia bertindak sebagai raja sekaligus pertapa, masa ini raja berkuasa tanpa mahkota dan tanpa memiliki pasukan perang. Raja hanya tinggal meunggu waktu datangnya kehancuran yang ditimbulkan musuh. Pada masa ini disebutkan masa Pralaya Pajajaran.
Banten melanggar Perjanjian
Panembahan Hasanudin dari Banten Pasisir kurang setuju atas perjanjian damai Pajajaran – Cirebon. Perjanjian tersebut dianggap hanya aman bagi Cirebon, tetapi menjadi ancaman bagi Banten. Jika kemudian Ia menyetujui, hal ini hanya karena ketaatannya kepada kebijakan ayahnya, Susuhunan Jati.
Niat Hasanudin untuk menguasai pakuan dilakukan secara terselubung, dengan cara membentuk pasukan khusus tanpa indentitas (tambuh sangkane), sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya ketika merebut Surasowan. Dalam periode berikutnya, Belanda menyebut tambuh sangkane dengan istilah rover, pengganggu ketertiban.
Hasanudin didalam ranji Pajajaran ia masih cicit Sri Baduga Maharaja dari Kawunganten, maupun dari Susuhunan Jati. Kawunganten putra Surasowan dan Surasowan putra Sri Baduga Maharaja dari Kentring Manik Mayang Sunda. (Yoseph, hal. 282). Mungkin Hasanudin merasa berhak atas tahta Kerajaan Pajajaran. Suatu hal yang patut diperhitungkan adanya kekhawatiran Hasanudin terhadap serangan Pajajaran untuk mengembalikan Banten sebagai wilayah Pajajaran. Kekuasaan Hasanudin di Banten diperoleh pasca menggulingkan ua nya, yakni Sang Arya Surajaya, hal ini sangat terkait erat dengan ekspansi perdagangan para Saudagar islam waktu itu, mengingat sangat sulit dikatagorikan sebagai penyebaran agama islam di Banten jika Sang Arya Surajaya pada masa itu sudah memeluk agama islam, bahkan ayahnya pun, Sang Surasowan telah memeluk agama islam. Banten sebagai pelabuhan perdagangan pada masa Arya Surajaya berada di bawah kekuasaan Pajajaran.
Niat menyerang Pajajaran dilakukan pada masa pemerintahan Sang Ratu Dewata. Hasanudin dengan pasukan tambuh sangkane langsung menyerang Pakuan, serangan itu disongsong pasukan Pakuan dialun-alun Pakuan, sekarang alun-alun Empang. Dalam pertempuran itu, gugur Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sanghiyang, perwira-perwira muda pihak Pajajaran.
Peperangan ini dicatat dalam Carita Parahyangan, isinya :
• “datangna bancana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Ratu Sarendet deung Tohaan Ratu Sanghyang”. (Datang bencana dari laskar musuh. Tak dikenal asal-usulnya. Terjadi perang di alun-alun. Gugurlah Tohaan Ratu Sarendet dan Ratu Sanghyang).
Kemenangan pasukan Pajajaran lebih banyak ditopang oleh kesetiaan dan ketangguhan pasukan yang pernah menjadi pengawal Surawisesa. Pada masa lalu pasukan tersebut telah mengalami lima berlas kali pertemuan di front barat Citarum. Pasukan Hasanudin setelah gagal menyerang Pakuan, kemudian mengundurkan diri, lalu melakukan serangan ke daerah utara, kemudian Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri. Serangan ini dimungkinkan untuk memancing konsentrasi pasukan Pajajaran agar keluar meninggalkan benteng Pakuan.
Didaerah tersebut pasukan Banten banyak melakukan pengrusakan terhadap Kabuyutan dan para wiku yang sangat dilindungi Pajajaran. Dimasa lalu dianggap sebagai Dangiang Sunda, banyak raja Sunda yang mempertaruhkan harga diri negaranya di Kabuyutan, bahkan Darmasiksa memaklumkan, bahwa : “lebih hina seorang raja dari kulit musang di tong sampah jika tidak mampu mempertahankan Kabuyutannya”.
Serangan Kedua
Pasca penyerangan pertama, Pakuan sudah tidak dapat mengkonsolidasikan pasukannya dengan baik, mengingat rakyat sudah mulai frustasi melihat tingkah laku penguasanya, terutama ketika masa Ratu Sakti.
Pada masa Nilakendra memang telah masuk pada masa Kaliyuga. Pada masa ini muncul kembali serangan dari pasukan tambu sangkane menggempur ibukota Pakuan. Prabu Nilakendra tidak berdaya, ia meloloskan diri meninggalkan keraton. Prabu Nilakendra tidak pernah diketahui kapan wafatnya dan dimana dipusarakannya. Mungkin ia meninggal di tengan hutan belantara dalam keadaan sengsara sebatang kara. Peristiwa ini digambarkan didalam Carita Parahyangan, :
• “Tohaan Majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan” (Tohaan Majaya kalah perang dan ia tidak tinggal di Keraton).
Pakuan dipercayakan kepada semua pembesar yang tidak menyertainya dalam pelarian. Para pembesar kerajaan Pajajaran dengan segala daya upaya mempertahankan keraton Pakuan Pajajaran. Berkat perlindungan parit pertahanan dan benteng yang dibangun oleh Sri Baduga Maharaja, Pakuan dapat diselamatkan.
Pengungsi dari Pakuan
Pakuan pasca ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah. Sebagian lagi meninggalkan Pakuan mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, Senapati Jayaprakosa beserta adik-adiknya, kemudian menetap di Sumedang.
Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah kekerabatan dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.
Dari sekian bagian penduduk yang mengungsi, ada sebagian lagi yang mencoba bertahan di Pakuan, bersama beberapa orang pembesar kerajaan yang ditugaskan menjaga dan mempertahankan Pakuan. Walaupun sudah tidak berfungsi, kehidupan di Pakuan pulih kembali.
Pengusian lainnya kewilayah barat daya dipimpin oleh Ragamulya. Di pengungsian ia berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk diselamatkan. Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara. Dalam versi lainnya ada juga yang menyebutkan, bahwa Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim digambarkan dalam suatu pemerintahan. Pulasari waktu itu sebagai Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan. Digunakan oleh Suryakancana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Menurut Iskandar (2005), Prabu Ragamulya Suryakancana seperti sudah mempunyai firasat, bahwa pusat kerajaannya harus di Pulasari Pandeglang. Mungkin berdasarkan petunjuk spiritual (uga), bahwa ia harus kembali ketitik-asal (purbajati). Mungkin juga ia mengetahui melalui bacaan lontar, catatan tentang Rajakasawa yang mengisahkan Karuhun (leluhur) Jawa Barat. Atau hanya berdasarkan dorongan batin yang ia miliki sebagai pewaris darah raja.
Sulit dibayangkan, sebab pusat kerajaannya yang baru, justru berdampingan dengan Kerajaan Surasowan. Yang pasti, Pulasari yang dijadikan ibukota Kerajaan Pajajaran tersebut adalah patilasan (bekas) pemukiman yang dahulu kala didirikan oleh Sang Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dalam abad kedua Masehi. Di Pulasari pula Sang Dewawarman mendirikan Rajatapura, ibukota Salakanagara pada tahun 130 Masehi.
Pajajaran Sirna
Pasca penyerangan Banten kali kedua ke Pakuan, tokoh penanda tangan perjanjian Pajajaran-Cirebon, satu persatu menutup usianya, yakni Sanghiyang Surawisesa (raja Pajajaran), wafat lebih awal, pada tahun 1535 M ; Susuhunan Jati, wafat pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka atau 19 September 1568 M ; Fadillah Khan, yang menggantikan Susuhunan Jati, wafat, pada tahun 1570 Masehi ; dan Panembahan Hasanudin, wafat pada tahun 1570 Masehi.
Hasanudin digantikan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf, putra dari pernikahannya dengan puteri Indrapura. Panembahan Yusuf merasa tidak terikat dalam perjanjian damai Cirebon dengan Pajajaran, ia pun tertarik untuk memperluas wilayah Banten, kemudian mempersiapkan serangannya dengan matang, terutama setelah Hasanudin Gagal menghancurkan Pakuan untuk yang kedua kalinya. Penyerangan tersebut dilakukan setelah sembilan tahun Panembahan Yusuf memegang tahta kerajaan Surasowan. Serangan tersebut mendapat bantuan dari kerajaan Cirebon, sehingga disebut serangan besar-besaran ke Pakuan.
Serangan Banten ke Pakuan diabadikan dalam Serat Banten dalam bentuk pupuh Kinanti, :
• Nalika kesah punika / Ing sasih muharam singgih / Wimbaning sasih sapisan / Dinten ahad tahun alif / Puningka sangkalanya / Bumi rusak rikih iki (Waktu keberangkatan itu – terjadi bulan muharam – tepat pada awal bulan – hari ahad tahun alif – inilah tahun sakanya – satu lima kosong satu).
Pakuan pasca ditinggalkan Nilakendra masih memiliki aktifitas seperti biasanya, namun memang sudah tidak lagi digunakan sebagai persemayamannya raja Pajajaran. Benteng Pakuan memiliki pertahanan yang sangat kuat. Pakuan masih memiliki soliditas dan ketangguhan sisa-sisa prajurit Pajajaran yang masih bermukim dibenteng.
Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam yang sakit hati”. Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan akhirnya dapat ditaklukan. Penduduk Pakuan telah susah payah membangun kembali kehidupannya, namun pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dijadikan simbol Pajajaran dibumi hanguskan.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
• Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Memburu Raja Nu Ngungsi
Para pengungsi yang menuju kearah barat daya berakhir di Pulasari. Mereka menyertakan Ragamulya. Di pengungsian ia berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk diselamatkan, untuk kemudian diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun.
Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara. Namun dalam versi lain disebutkan, bahwa : Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim digambarkan dalam suatu pemerintahan. Di Pulasari hanya sebagai wilayah Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan dan dilindungi negara. Hal tersebut digunakan pula oleh Ragamulya untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga, namun ia bukan raja Sunda seperti leluhurnya dahulu, ia tidak memiliki perlengkapan perang, karena ia hanya hidup Ngaresi dipengungsian.
Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya pada akhirnya harus menerima kodratnya, ia gugur di Pulasari setelah di bantai dan diluluh lantakan penduduknya. Demikian catatan sejarah menuliskan, Prabu Ragamulya Suryakancana gugur di Pulasari oleh pasukan Maulana Yusuf.
Lima abad setelahnya, setiap pengunjung Situs Purbakala Pulasari diberitahukan tentang adanya legenda Kaduhejo. Konon pada masa lalu telah datang kedaerah ini seorang raja tanpa mahkota, yang wafat di telasan pasukan Panembahan Yusuf. (***)
PUING PAKUAN
Antara Pajajaran sirna Ing Bhumi sampai ditemukan kembali oleh ekspedisi Scipio (1867) berlangsung kira-kira satu abad. Kota Pakuan yang pernah berpenghuni sekitar 48.271 jiwa ini ditemukan sebagai puing yang diselimuti oleh hutan tua (geheel met out bosch begroeijt zijnde; 1703).
Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana yang mengantarkan ekspedisi Scipio menemukan kembali kotanya yang hilang. Pakuan ditelan jaman, di selimuti kabut duka, dihancurkan kerakusan manusia.
Pada tanggal 1 September 1687 titi mangsa ditemukan tapak lacak lemah cainya. Mereka hadir sebagai pejiarah pertama. Di puing Kabuyutan Pajajaran yang mereka duga sebagai singggasana raja, mereka tafakur dan mengenang kejayaan dan keagungan Pajajaran.
Scipio pada tahun 1687 memiliki dua catatan penting dari ekspedisinya, yakni perjalanan antara Parung Angsana, Tanah Baru menuju Cipaku dengan melalui Tajur. Scipio mencatat : Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni. Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit.
Pada tanggal 1 September 1687 M memperoleh keterangan dari anak buahnya, bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran. Dari perjalanannya disimpulkan bahwa ada jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan kesan wajah kerajaan, terutama Situs Batutulis.
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja Pajajaran, sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau.
Penduduk Parung Angsana menghubungkan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau penjaga ‘singgasana raja Pajajaran’. Mungkin laporan dan peristiwa ini yang memunculkan mitos tentang hubungan Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau. Selanjutnya disebutkan pula bahwa raja Pajajaran tilem, sedangkan prajuritna berubah wujud menjadi harimau.
Dari hasil ekspedisi Winkler dilaporkan pula, tentang perjalanannya yang bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana, Tanah Baru lalu ke selatan, melewati jalan besar, Scipio menyebutnya ‘twee lanen’. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku, namun hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah melewati sungai Jambuluwuk, Cibalok dan melintasi parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak, tepinya nampak membentang ke arah Ciliwung sampai ke jalan menuju arah tenggara, setelah arca. Kemudian ia sampai di lokasi kampung Tajur Agung. Setelah itu sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya.
Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian dikedua sisinya. Dari Tajur Agung menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak pada tahun 1709 dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota. Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama.
Di sekitar Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan. Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan 7 batang pohon beringin.
Lahan di bagian utara bersambung dengan Bale Kambang yang biasanya digunakan untuk bercengkrama raja. Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi jalan Batutulis (sisi barat) dan Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan benteng batu yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara).
Balekambang terletak di sebelah utara benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang. Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa Istana Pakuan itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8.5 baris, disebutkan demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup. Winkler menyebut kedua batu itu stond (berdiri).
Setelah terlantar selama kira-kira 110 tahun, sejak Pajajaran burak oleh pasukan Banten pada tahun 1579, batu-batu itu masih berdiri dan masih tetap pada posisi semula.
Winkler dari tempat prasasti menuju ke tempat arca, pada penduduk menyebutnya Purwakalih, pada tahun 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih. Di sana terdapat 3 buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian pada tahun 1862 disadur dalam bentuk pupuh. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara Kabuyutan Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad Pajajaran, Pohon Campaka Warna terletak tidak jauh dari alun-alun.
Konon kabar Pakuan dihias dengan kraton Sri Bima, telaga panjang Sang Hiyang Talaga Rena Mahawijaya atau Sanghyang Kamala Rena Wijaya, dengan taman Milakancana dekat hutan Songgong tempat punden Pakuan Pajajaran.
Kearah Pakuan Pajajaran dibuat jalan-jalan besar yang dapat dilalui gerobak-gerobak dan beberapa kilometer. ke utara Muaraberes di kali Ciliwung masih ada bekas-bekas dermaga, dan juga di Ciampea, disebelah barat dari Pakuan, di Kali Cisadane semestinya akan dapat ditemukan bekas-bekas peninggalan dermaga atau sistim pertahanan, karena kedua tempat itu adalah batas sungai yang dapat dilayari sampai ke muara Laut Jawa, pintu gerbang menuju pedalaman.
Dari Pakuan ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusa, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwa karta, Sagalaherang, terus ske Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga Kawali dan ke pusat kerajaan Galuh Pakuan disekitar Ciamis dan Bojong Galuh. (Mungkin semacam jalan tol).
Pakuan bukan hanya lahan melainkan juga kenangan. Lahannya “dihidupkan kembali” tetapi kerajaanya takkan kembali. Inilah yang dirindukkan dan disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap kali gema Pajajaran menyentuh hati mereka “Geus deukeut ka Pajajaran ceuk galindeng Cianjuran Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng panineungan” (Sudah dekat ke Pajajaran menurut lantun Cianjuran Masih jauh ke Pakuan menurut lantun Kenangan) Pakuan terasa dekat, tetapi tak kunjung sampai. Kedekatan batin terhadap Pajajaran ini akhirnya menjelmakan gagasan Pajajaran Ngahiyang atau Pajajaran Tilem.
Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun - Pajajaran tidak hilang, Pakuan hanya ngahiang. Paling itulah kata-kata orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajaran, bahkan mereka menghibur diri dengan berkata : “Ngan engke bakal ngadeg deui” [Suatu saat akan berdiri kembali).
• Talung talung keur jaman Pajajaran / jaman aya keneh kuwarabekti / jaman guru bumi di pusti-pusti / jaman leuit tangtu eusina metu / euweuh nu tani mudu ngijon / euweuh nu tani nandonkeun karang / euweuh nu tan paeh ku jengkel / euweuh nu tani modar ku lapar. (masih mending waktu Pajajaran / ketika masih ada kuwarabekti / ketika guru bumi dipuja-puja / ketika lumbung padi melimpah ruah / tiada petani perlu mengijon / tiada petani harus mati kelaparan / tiada petani harus mati karena kesal / tiada hatus petani mati karena lapar).
Cag heula. (***)
Sumber Bacaan :
Sejarah Bogor – bagian 1, Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor – 1983 – di copy dari pasundan.homestead.com
Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
• Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
• Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
• Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
• Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
• Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor, – 1983.
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
Di Kutip dari : GUNUNG SEPUH
akibalangantrang.blogspot.com
Disarikan oleh : Agus Setiya Permana
Dari : berbagai sumber
Hubungan Portugis dengan Sunda
Pada tahun 1511 armada Demak sedang berada di Cirebon. Hal ini dianggap mengancam kedaulatan Pajajaran, terutama pasca Cirebon menyatakan diri sebagai negara merdeka. Oleh karena itu Sri Baduga mengutus putra mahkotanya, yakni Surawisesa untuk mengadakan hubungan dengan Portugis.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521).
Hasil kunjungan pertama bersifat penjajakan, pada tahun 1513 Portugis tiba diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan tersebut disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Kisah ini dimuat didalam Pustaka Nusantara III/1. Naskah tersebut sebagai berikut :
• Karena itu Sang Prabu Pakuan Pajajaran mengutus putera mahkota yaitu Ratu Sangian atau Prabu Surawisesa. Duta Kerajaan Pajajaran ini menuju ke negeri Malaka. Di sana sang duta menegadakan persahabatan dengan pemimpin (nerpati) orang Portugis yang bernama Laksamana Bungker.
• Ia telah berjanji akan selalu membantu Kerajaan Pajajaran bila diserang oleh Pasukan Demak dan Cirebon serta ingin menjalin hubungan dagang. Setahun kemudian orang-orang Portugis berkunjung ke Pulau Jawa. Jumlah kapalnya 4 buah.
• Mereka menginggahi semua pelabuhan yang ada di negeri Sunda, dan sang bule membuat surat kelak ketika sang putra mahkota telah menjadi ratu Sunda dengan gelar Prabu Surawisesa. [RPMSJB, Jilid ke-4, 16].
Surawisesa ketika itu masih menjadi Prabu Anom. Kelak dikemudian hari para penulis babad dan petutur pantun mengisahkan lalampahannya ini di dalam Lalakon Salaka (mungkin sakakala) Domas, dengan nama Munding Laya Dikusumah, sedangkan orang Purtugis digambarkannya sebagai Guriang.
Menurut Tome Pires orang Portugis yang mengikuti pelayaran penjajakan pada bulan Maret – Juni 1513, menyatakan, bahwa pada saat itu Portugis telah berhasil menguasai perairan Malaka.
Pada tahun 1522 Surawisesa naik tahta. Penobatannya dihadilir utusan Portugis di Malaka. Pada akhir kunjungan tersebut utusan Portugis dengan Pakuan menandatangani perjanjian dengan Pajajaran. Perjanjian tersebut menurut Soekanto (1956) ditandatangai pada tanggal 21 Agustus 1522.
Ten Dam (1957) menganggap bahwa perjanjian itu dibuat secara lisan, akan tetapi sumber portugis yang dikutip oleh Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield” (Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu).
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Pajajaran akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun, untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua costumodos atau + 351 kuintal.
Perjanjian Pajajaran dengan Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggono, disebabkan Selat Malaka merupakan pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara yang sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus.
Trenggono mengirimkan armadanya di bawah pimpinan Senapati Demak, yakni Fadilah Khan. Pada saat itu Fadillah Khan telah memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana (Cirebon). Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya, yakni Barkat Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah.
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Pada masa itu Hasanudin sedang berusaha menjatuhkan tahta Ua nya, yakni Arya Surajaya.
Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten (Sang Arya Surajaya) beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya, Syarif Hidayat menjadi Bupati Banten pada tahun 1526.
Setahun kemudian Fadillah menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran. Menurut Versi lainnya pada masa itu Kalapa tidak dijaga ketat oleh Legiun Sunda, mengingat jarak Pajajaran dengan Kalapa diperkirakan dua hari (Tome Pires : 1453). Menurut versi lainnya, jarak tempuh dari Ibukota Pakuan ke Kalapa lewat perairan memerlukan waktu dua minggu.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan membawa 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa.
Pada tanggal 30 Juni 1527 di Muara Cisadane De Sa memancangkan padrao dan menjuluki Cisadane dengan nama Rio de Sa Jorge. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah.
Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Hubungan Portugis dengan Demak
Panembahan Hasanudin memiliki peranan yang cukup besar ketika ia masih berstatus Bupati bawahan Cirebon. Pada masa tersebut Sultan Trenggono mengutus adiknya, yakni Nyi Pembayun, isteri dari Fadillah Khan, meminta bantuan pasukan Banten agar bergabung dengan pasukan Fadillah Khan (Bupati Kalapa), untuk menaklukkan, Blambangan, Panarukan dan Pasuruan. Dalam penyerangan tersebut, Demak menyertakan Pasukan Portugis untuk membantunya.
Pada masa itu Demak tidak lagi memusuhi Portugis, bahkan Portugis diijinkan membuka kantor dagang di Banten Pasisir, serta menempatkan armada lautnya disana. Armada Portugis pada saat itu dipimpin oleh Tome Pinto (pelaku penanda tangan perjanjian Pajajaran – Portugis 21 Agustus 1522 M di Pakuan). Dari catatan Tom Pires inilah sejarah ini diketahui.
Mungkin cerita tersebut sangat menganggu mengingat peristiwa penandatanganan Perjanjian Pajajaran – Portugis di pahami sebagai kesalahan Pajajaran melakukan kolaborasi dengan pihak asing dalam mempertahankan kedaulatannya. Namun akan menjadi lain ketika mengetahui sejarah selanjutnya, terutama ketika Demak menyertakan Portugis untuk menaklukan Blambangan, Panarukan dan Pasuruan.
Begitu pula pandangan Demak. Awalnya dimasa pemerintahan Raden Patah sangat memusuhi Portugis. Namun ketika Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon sudah berada dibawah pengaruhnya, demi kepentingan perdagangan maka Demak tidak mengharamkan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis.
Ketika Banten Pasisir sudah berubah menjadi Kerajaan Surasowan, dunia perdagangannya semakin pesat. Islam telah mewarnai Surasowan menjadi Negara perniagaan. Menurut (Iskandar, 2005) dari catatan perjalanan dapat digambarkan sebagai berikut :
• Dari Malaka berlayar lagi, Setelah 17 hari, tibalah aku dipelabuhan Banten tempat yang biasa dikunjungi orang Portugis untuk berdagang. Disana keperluan untuk muatan kapal kita, merica, ketika itu sedang sangat jarang didapat diseluruh negeri. Karena itu kami terpaksa harus tinggal disini selama musim hujan.
• Telah berlangsung dua bulan lamanya kami dalam perdagangan yang menyenangkan disin, ketika raja Demak penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali, Madura, Angenia mengirim utusan kepada Tagaril, raja Sunda, meminta bantuan dengan pesan bahwa dalam tempo setengah bulan harus datang ke Jepara tempat peralatan perang sedang disiapkan untuk menyerang Pasuruan.
• Bala bantuan Banten ketika itu berkekuatan yang terdiri dari 30 calaluzes dan 10 jurupango diperlengkapi dengan keperluan perjalan dan peralatan perang. Dalam 40 kapal itu terdapat 7.000 orang diluar para pendayung. Sedangkan dari Portugis menyertakan 40 orang. Kesertaan Portugis tentunya setelah mendapat konsensi, bahwa Portugis akan dibantu di Banten, sehingga janji ini mendorong Portugis untuk membantu peperangan ini.
Dari catatan Tome Pinto, menyebutkan, bahwa Raja Sunda (Hasanudin) bertolak dari pelabuhan Banten pada tanggal 5 januari 1546 dan tiba pada tanggal 19 bulan itu dikota Jepara. Disana peralatan perang sedang disiapkan.
Terakhir
Dari catatan ini diketahui pula adanya kepentingan politik perdagangan antara Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak dengan Portugis. Walaupun 24 tahun yang lalu Portugis telah mengadakan perjanjian dagang dengan Pajajaran, namun kemudian berpaling dan mengikat persahabatan dengan negara-negara yang memiliki pelabuhan dagang. Pada waktu semua pelabuhan milik Pajajaran sudah direbut Demak. Hal ini ditegaskan dalam catatan Tome Pinto, bahwa raja Demak adalah penguasa seluruh Pulau Jawa, Bali, Madura, Angenia.
Suatu hal yang jarang dibahas dalam kondisi ini, yakni kesempatan Pajajaran untuk menguasai kembali daerahnya yang telah direbut Cirebon – Demak. Keengganan Pajajaran untuk menggunakan kesempatan ini dimungkinkan karena penguasa Pajajaran percaya terhadap Perjanjian Cirebon – Pajajaran untuk tidak saling mengganggu. Dimasa kemudian, perjanjian ini menjadi haraus dilanggar, terutama ketika Hasanudin dan Panembahan Yusup merasa pelu untuk menaklukan Pajajaran (***)
MANURAJASUNYA
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Pada tahun 1535 masehi, atau dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai Sakakala untuk ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Surawisasa dipusarakan di Padaren.
Surawisesa begitu mencintai dan menghormati ayahnya, ia berupaya mempertahan keutuhan Sunda, namun tidak pernah ada kesempatan untuk tetap memajukannya kecuali terfokus mempertahankan dari gempuran Cirebon, Demak dan Banten. Upayanya ini ia dikenang dan dilantunkan dalam pantun serta dikisahkan dalam babad. Konon hanya Surawisesa dan Sri Baduga yang paling banyak dikisahkan petutur tradisional Sunda. Namun sejak Surawisesa purna tugas dan purna hirup, Pajajaran mengalam kemorosotan yang sulit dibangkitkan kembali. Mungkin masa tersebut adalah peralihan jaman, geus niti wancina nu mustari sangkan Pajajaran ganti ngaran, tileum heula terus ngaganti ngaran jadi Sunda anu anyar.
Surawisesa digantikan oleh Ratu Dewata, putranya yang bertahta di Pakuan pada tahun 1535 sampai tahun 1543. Ratu Dewata sangat berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani. Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara Sunatan, adat khitan pra Islam yang memang telah biasa dilakukan di kalangan raja Sunda, ia pun melakukan tapa Pwah – Susu, suatu kebiasaan adat yang hanya makan buah-buahan dan minum susu dan berperilaku sebagai raja resi.
Pelanggaran Perjanjian
Pada saat Ratu Dewata bertahta perjanjian perdamaian Pajajaran dengan Cirebon masih dianggap berlaku. Ratu Dewata sangat yakin perdamaian ini akan ditaati para pihak, sehingga ia tidak mempunyai prasangka buruk akan adanya pelanggaran perjanjian yang dilakukan pihak lain. Disamping itu, Ratu Dewata lebih banyak memilih menekuni masalah keagamaan dan berpuasa dibandingkan mengurus kenegaraan.
Anggapan Ratu Dewata tentu berlainan dengan Hasanudin dari Banten, yang pada saat itu ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran – Cirebon, Hasanudin melakukan penandatanganan perjanjian karena kepatuhannya kepada Syarif Hidayat, ayahnya. Hasanudin beranggapan bahwa perjanjian Cirebon dengan Pajajaran hanya menguntungkan Cirebon, samak sekali tidak menjamin kepentingan Banten, padahal wilayah kekuasaan Banten berbatasan langsung dengan Pajajaran.
Hasanudin secara diam-diam membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya pada saat terjadi huru hara di keraton Surasowan yang memaksa bupati Banten melarikan diri ke Pajajaran, kemudian menjadikan Hasanudin sebagai bupati Banten dibawah vassal Cirebon. Pasukan ini oleh Belanda dinamakan rover karena dianggap sering mengganggu ketertiban, sedangkan penulis Carita Parahyangan menyebutnya “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya).
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Disamping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan serangan Banten tidak mampu menembus Pakuan.
Didalam prasasti batu tulis dituliskan, bahwa Sri Baduga membuat benteng Pakuan yang kokoh. Hal yang sama disebutkan didalam naskah Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 dengan istilah Amateguh Kadatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud “membuat parit” (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.
Posisi Pakuan sangat strategis untuk pertahanan, karena berada pada permukaan yang tinggi atau Lemah Duwur – Lemah Luhur, Van Riebeeck menyebutnya “bovenvlakte”. Pada posisi ini pasukan pengawal keraton sangat leluasa untuk memantau sekelilingi luar istana, sehingga mempermudah untuk mengetahui manuver musuh.
Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi 3 batang sungai pernah dijadikan pemukiman lemah duwur sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi. Lokasi Pakuan merupakan lahan Lemah Duwur yang satu sisinya terbuka menghadap Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah. Tipe Lemah Duwur biasanya dipilih masyarakat dengan latar belakang kebudayaan Huma (Ladang). Kota-kota seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur, dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan Perkebunan.
Lainnya halnya dengan yang disebut dengan Garuda Ngupuk, biasanya digunakan masyarakat yang berlatar belakang Kebudayaan Sawah. Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan. Kota demikian seperti Garut, Bandung dan Tasikmalaya.
Pasukan Hasanudin setelah gagal merebut benteng kota, bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan lemah larangan (Kabuyutan) di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri, Daerah tersebut pada masa Sri Baduga merupakan desa Kawikwan yang dilindungi oleh negara, mungkin juga Hasanudin menyerang ketiga wilayah ini bertujuan menghancur- kan ‘dangiang kerajaan’, atau untuk mengalihkan perhatian pasukan Sunda agar keluar menyerang di luar Benteng.
Penulis Carita Parahyangan menyebutkan adanya penyerangan dan pembunuhan para pandita, sebagai berikut .
Hana pandita sakti diruksak, pandita di Sumedeng. Sang panadita di Ciranjang pinejahan tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. / Sang pandita di Jayagiri Iinabuhaken ring sagara. / Hana sang pandita sakti hanteu dosana.
Ngarajaresi di jaman Susah
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus “memerintah dengan baik”. Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan Manurajasunya seperti yang telah dilakukan oleh Wasitu Kancana.
Kepribadian Ratu Dewata yang ngarajaresi di masa perang mungkin dianggap kurang tepat, bahkan ada yang berpendapat, bahwa hal tersebut dilakukan karena ia tidak mampu menghadapi kenyataan. Penulis carita parahyangan kemudian berkomentar pendek ‘Samangkana ta precinta’ (begitulah jaman susah).
Perilaku Ratu Dewata di sindir oleh penulis Carita Parahyangan. “Nya iyatnayatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (ya berhati-hatilah orang-orang yang kemudian, janganlah engkau kalah perang karena rajin puasa). Memang seolah-olah ada sifat yang ambigu dalam menyikapi perilaku Ratu Dewata dengan raja-raja sebelumnya yang menjadi raja resi, seperti Sang Bunisora yang diberinya gelar Satmata.
Menurut Kropak 630, tingkatan batin manusia dalam keagamaan adalah acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah tingkatan kelima dan tahap tertinggi bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat keenam (suraloka), orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan ketujuh (nirawerah) padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal. Pada saat itu mungkin Ratu Dewata sudah mencapai tingkat diatas Satmata sehingga tidak menjalankan fungsinya sebagai raja Sunda. Padahal fungsinya sebagai raja tentu sangat berhubungan dengan masalah keduniaan.
Suatu hal yang kerap tidak terperhatikan oleh para penulis sejarah Sunda yakni mencari kondisi kekinian (semangat jaman) pada masa pemerintahan Ratu Dewata. Jika mencermati catatan Bujangga Manik yang diperkirakan menuliskan perjalanannya pada akhir tahun 1400 atau awal 1500 an. Dokumen tersebut saat ini disimpan di Perpustakaan Bodley, Oxford sejak tahun 1627, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada masa itu memang semangat keagamaan sudah mewarnai kisah perjalanan hidup kerabat keraton, bahkan Bujangga Manik pun diperkirakan seorang rahib. Mungkin kondisi pada waktu yang membentuk Ratu Dewata untuk lebih menekuni masalah keagamaan dibandingkan masalah kenegaraan.
Ratu Dewata dikesankan oleh Penulis Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Prebu Ratudé wata,
inya nu surup ka Sawah-tampian-dalem.
Lumaku ngarajaresi.
Tapa Pwah Susu.
Sumbé lé han niat tinja bresih suci wasah.
Disunat ka tukangna, jati Sunda teka.
Datang na bancana musuh ganal,
tambuh sangkané.
Prangrang di burwan ageung.
Pejah Tohaan Saréndét deung Tohaan Ratu Sanghiyang.
Hana pandita sakti diruksak,
pandita di Sumedeng.
Sang panadita di Ciranjang
pinejahan tanpa dosa,
katiban ku tapak kikir.
Sang pandita di Jayagiri
Iinabuhaken ring sagara.
Hana sang pandita sakti hanteu dosana.
Munding Rahiyang ngaraniya
linabuhaken ring sagara
tan keneng pati, hurip muwah,
moksa tanpa tinggal raga
teka ring duniya.
Sinaguhniya ngaraniya Hiyang Kalingan.
Nya iyatnajatna sang kawuri,
haywa ta sira kabalik pupuasaan.
Samangkana ta pr écinta.
Prebu Ratudé wata,
lawasniya ratu dalapan tahun,
kasalapan panteg hanca dina bwana.
Ratu Dewata Wafat pada tahun 1543, dipusarakan disawah tampian dalem. Kemudian digantikan oleh Ratu Sakti, putranya yang memiliki sifat yang berbeda dengan ayahnya. Masa pemerintahan Ratu Sakti sering juga disebutkan dengan istilah Masa Kaliyuga. (*)
MASA KALIYUGA
20Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti menggantikan Ratu Dewata, ia berkuasa pada tahun 1543 sampai dengan 1551 masehi. Kemudian ia diturunkan dari tahta dan digantikan oleh Nilakendra, yang berkuasa dari tahun 1551 sampai dengan 1567 masehi.
Penulis Carita Parahyangan menggambarkan, bahwa masa kaliyuga tiba pada masa Nilakendra, karena suasana masyarakat sudah menampilkan kejahatan dan kemaksiatan. Namun jika diurut dari sebab-sebabnya, tentu tidak dapat dilepaskan dari kondisi akhir pemerintahan Ratu Sakti, sehingga kondisi pada masa Nilakendra hanya berbentuk kondisi lanjutan yang mengarah pada jaman pralaya [kehancuran]. Carita Parahyangan mengamanatkan, : “aja tinut de sang kawuri polah sang nata” [jangan ditiru oleh mereka yang kemudian kelakuan raja ini].
Adanya permasalahan intern Pajajaran sangat jarang diperhatikan masyarakat, mengingat masyarakat Sunda pada umumnya hanya melihat adanya gangguan yang datang dari luar, yakni Banten, Cirebon dan Demak.
Kedatangan masa pralaya sebenarnya dapat dicegah jika Ratu Sakti meninggalkan kesenangangan pribadi dan memperhatikan suatu tatatanan masyarakat yang merasa aman lahir dan bathin serta dijauhkan dari kesengsaraan (Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sanghara, kreta). Pada jaman pemerintahan Ratu Sakti, merupakan masa yang sangat strategis untuk mengembalikan wilayah-wilayah Sunda yang telah direbut Cirebon.
Pada masa tersebut di Banten dan Kalapa terjadi kekosongan pasukan, karena pasukan Banten, Cirebon dan Demak disibukan menaklukan Pasuruan dan Panarukan. Serbuan pasukan gabungan tersebut, yang sudah dibantu Portugis mengalami kegagalan, apalagi setelah Trenggono gugur ditikam pelayannya yang baru berusia 10 tahun, putra Bupati Surabaya. Pasca peristiwa itu Demak dilanda huru hara. Didalam huru hara di Demak, gugur pula Pangeran Pasarean, putra mahkota Cirebon.
Kemudian pada tahun yang sama, yakni tahun 1546 Kerajaan Islam Demak runtuh, kekuasaannya beralih ke Pajang, untuk selanjutnya dilanjutkan oleh Mataram. Kondisi inilah yang tidak dimanfaatkan Ratu Sakti.
Jaman Ratu Sakti
Didalam suatu teori politik yang termasuk pada katagori jaman (masa) berulang, biasanya muncul dari suatu kondisi yang serba longgar dan menuju kearah kondisi chaos. Dalam kondisi ini masyarakat yang serba longgar akan mengarahkan kedalam kondisi free ficht competition. Pada akhirnya yang kuatlah yang menang. Dari kondisi chaos akan lahir suatu pihak dan kelompok atau tokoh yang kuat. Pihak ini bertujuan melakukan stabilitas dan mengembalikan aturan-aturan agar on the track terhadap tujuannya. Namun jika pihak tersebut sudah sangat berkuasa dan beralih menjadi otoriter, maka masyarakat akan mendesak kembali agar dapat lebih bebas dan serba longgar.
Kondisi seperti itu memang muncul pada masa Ratu Dewata, karena Ratu Dewata sendiri sudah tidak terlalu menghiraukan urusan kenegaraan. Mungkin Ratu Sakti merasa perlu untuk menstabilkan kembali kondisi negara, dan dapat dibenarkan jika langkah-langkahnya disertai dengan adanya penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, serta menggunakan aturan-aturan dan etika yang berlaku.
Langkah yang dilakukan Ratu Sakti justru sebaliknya. Kesan masyarakat terhadap rajanya sangat jauh dari istilah bijaksana. Ratu Sakti lebih banyak menyelesai kan permasalahan dengan cara-cara yang represif, banyak rakyat yang dihukum mati hanya karena melakukan pelanggaran kecil. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton, ia dianggap tidak berbakti terhadap orang tua, dan menghinakan para pendeta, kondisi ini tentu tidak dapat mengkonsolidasikan negara menjadi suatu kekuatan, bahkan mendorong rakyat untuk melakukan perlawanan.
Sifat Ratu Sakti sangat bertolak belakang dengan sifat Ratu Dewata yang serba alim, rajin berpuasa dan sering bertapa (bertarak). Memang sangat antagonis dari kondisi sebelumnya. Pelanggaran yang paling dianggap memancingkan reaksi rakyat, adalah mengawini estri larangan tikaluaran dan menikahi para selir ayahnya. Dengan demikian ia melanggaran dua katagori istri larangan dari tiga katagori yang dilarang.
Wanita terlarang (Istri larangan) untuk dinikahi di dalam tradisi Sunda masa lalu ada tiga macam. Hal ini sebagaimana yang diberitakan dari Carita Parahyangan dan Siksa Kandang Karesyan, yaitu : (1) gadis atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya diterima, gadis atau wanita terlarang bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu, (2) Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat, dan (3) ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut. (Ekadjati – 2005 : hal.196)
Kondusifitas yang tidak menguntungkan masyarakat Pajajaran tersebut masih bisa dihindarkan, dengan cara menurunkan Ratu Sakti dari tahtanya. Disisi lain Pajajaran masih diselamatkan dari serangan luar, baik serangan dari tambuh sangkane atau slagorde Banten, karena pada masa tersebut pasukan Hasanuddin serta Fadillah Khan sedang membantu Sultan Trenggono menyerbu Pasuruan dan Panarukan.
Penulis Carita Parahyangan dalam menanggapi perilaku Ratu Sakti, menuliskan, sebagai berikut :
• Disilihan ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu surup ka / Péngpéléngan. Lawasniya ratu dalapan tahun, kenana ratu twahna kabancana ku estri / larangan ti kaluaran deung kana ambutéré. Mati-mati wong tanpa dosa, ngarampas / tanpa prégé, tan bakti ring wong-atuha [44], asampé ring sang pandita. / Aja tinut d é sang kawuri, polah sang nata. / Mangkana Sang Prebu Ratu, carita inya.
Ratu Sakti dimungkinkan wafat dengan mengalami peristiwa kekerasan, karena jika melihat dari sifatnya, suatu hal yang mustahil jika mau mengundurkan diri sebagaimana yang dilakukan Dewa Niskala (Kawali). Ratu Sakti dimakamkan di Pengpelangan.
Prabu Nilakendra
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran kelima. Pada masa ini penulis Carita parahyangan menganggap sudah tiba kaliyuga (jaman kali) yaitu jaman yang menampilkan kejahatan dan kemaksiatan. Setelah Kaliyuga datang Pralaya (kiamat, kehancuran). Pemerintah Nilakendra di jadikan pertanda bahwa tidak lama lagi Kerajaan Pajajaran akan hancur akibat keangkara murkaan penguasanya. (PMSJB, buku keempat, hal.29).
Pada masa itu situasi Pajajaran sudah tidak menentu, rasa frustasi sangat melanda segala lapisan masyarakat, baik kerabat keraton maupun petani. Penulis Carita Parahyangan memberitakan, : “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” [Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu]. Berita ini diartikan, bahwa kelaparan telah berjangkit di Pajajaran.
Prabu Nilakendra diberitakan pula, ia membuat Bendera keramat, memperindah keraton dengan membangun tangan berbalay – tanahnya diperkeras dengan batu – mengapit gerbang larangan. Yang mendirikan bangunan megah 17 baris, dilukis dengan emas yang menggambarkan bermacam-macam cerita.
• Tohaan di Majaya alah prangrang, mangka tan nitih ring kadatwan. Nu ngibuda
• Sanghiyang Panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapitkeun dora
• larangan. Nu migawe bale-bobot pituweJas jajar, tinulis pinarada warnana cacaritaan.
Penilaian para penulis terhadap Nilakendra yang dianggap negatif tersebut, yakni memperindah keraton ; membangun taman berbalay ; memperkeras tanah dengan batu ; mendirikan bangunan mungkin dapat dianggap mendua, karena terhadap Sri Baduga justru dinilai sebagai mahakarya, bahkan diabadikan di dalam prasasti Batutulis. Hemat saya, negatifitas terhadap penilaian ini bukan disebabkan ia membuat sesuatu sebagaimana diatas, namun karena dilakukan di dalam kondisi rakyat yang sedang dalam keadaan kesulitan hidup dan frustasi.
Menurut penulis Carita Parahyangan, : “Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar” [Karena ratu terlalu lama (sering) tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan]. Didalam berita selanjutnya di sebutkan pula, : “Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa kilang”. [air yang memabukan menjadi penyedap makanan dan minuman].
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah, timbul ketegangan yang mencekam dalam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang sewaktu-waktu akan datang. Kondisi ini disikapi Nilakendra dan para pembesarnya dengan cara memperdalam suatu aliran tertentu. Konon menurut RPMSJB, ajaran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya, bahkan untuk mempercepat keadaan tidak sadar didahului dengan pesta pora, minum minuman keras, padahal kondisi itu masih tetap tidak berubah. Perilaku ini tentunya sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran tentang ‘makan sekedar enak dan minum tuak hanya sekedar pelepas dahaga’ [nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang]. Itulah bunga Pralaya Pajajaran yang tinggal menunggu waktu kehancurannya.
Didalam carut marut dan tanpa bisa melakukan konsolidasi kekuatan dan pasukannya, pada ahirnya pasukan tambu sangkane [pasukan tanpa identias] dari Banten tiba di Pajajaran. Hanya beberapa saat akhirnya benteng Pakuan dapat dikuasainya.
Memang sulit mencari berita tentang penghancuran Pakuan yang pertama oleh Banten, karena serangan tersebut dilakukan tanpa identitas. Hal ini disebabkan kepatuhan Hasanudin terhadap Syarif Hidayat, untuk menghormati perjanjian yang telah dibuat pada masa Surawisesa, namun Hasanudin merasa perjanjian tersebut hanya menguntungkan Cirebon, sedangkan Banten masih belum merasa aman karena berbatasan langsung dengan Pajajaran. Mungkin juga Hasanudin merasa khawatir adanya pembalasan dari Pajajaran, karena tahta Hasanudin didapatkan setelah ia melakukan kup terhadap ua dari ibunya sendiri, pada saat itu bupati Banten masih berada dibawah kekuasaan Pajajaran.
Peristiwa kekalahan Nilakendra terjadi ketika Syarif Hidayat masih hidup. Syarif Hidayat wafat pada tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian.
Nasib Benteng Pakuan
Berita tentang penjebolan benteng Pakuan diberitakan didalam sebaris kalimat Carita Parahyangan, yang mengabarkan “Tohaan di maja alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan” (Tohaan di maja kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton), tanpa menyebutkan kuburannya, karena dimungkinkan ia wafat diluar Pakuan, atau di pengungsian.
Sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.
Pasca penyerangan Banten ke Pakuan maka Pakuan sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga cerita komunitas Abah Anom didaerah Ciptarasa mulai dari sini), sementara pengungsi kearah timur terdapat pembesar kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa membawa (menyelamatkan) Mahkota dan atribut raja Pajajaran (sanghjiyang pake) ke Sumedang Larang, yang menjadi simbol raja Pajajaran. Untuk kemudian diserahkan kepada Geusan Ulun. Adanya simbol-simbol kerajaan Pajajaran yang digunakan Geusan Ulun, maka raja Sumedang Larang itu dianggap sebagai pewaris syah tahta Sunda.
Sebagian para pengungsi turut bersama Ragamulya ke Pula Sari, Pandeglang. Ragamulya yang bergelar Prabu Surya Kencana, kia menjadi raja Pajajaran di pengungsian, dinobatkan tanpa Mahkota. Hal ini sesuai dengan legenda Kadu Hejo yang menyebutkan, bahwa benda purbakala itu peninggalan seorang raja yang datang ketempat itu tanpa mahkota. (***)
RAJA PAMUNGKAS
Raga Mulya (1567 – 1579) didalam sejarah Sunda dikenal sebagai raja Pajajaran yang terakhir. Penulis Carita Parahyangan memberikan mana Nusiya Mulya. Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan sebagaimana raja Sunda lainnya, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun Panembahan Pulasari.
Raja dipengungsian
Pasca penyerangan Banten pada masa Nilakendra, Pakuan sudah tidak berfungsi sebagai ibukota, bahkan telah ditinggalkan Nilakendra dan kerabat keraton yang mengungsi keberbagai wilayah. Pakuan kemudian diurus oleh para pengawal istana dan penduduk, dan mampu bertahan sampai dua belas tahun, ketika itu Banten melakukan penyerangan untuk yang kedua kalinya dan memboyong baru Sriman tempat dinobatkannya raja Sunda.
Sebagian penduduk mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga komunitas saat ini berada didaerah Ciptarasa dan Ciptagelar).
Tentang pelarian keluarga keraton kearah selatan, dikisahkan pada awal abad yang lalu oleh Aki Baju Rambeng, juru Pantun dari Bogor selatan, dalam judul Dadap Malang Sisi Cimandiri, mengetengahkan keteguhan seorang perwira Sunda, tokoh tersebut bernama Raden Rakeyan Kalang Sunda. Selain itu, muncul pula legenda tentang Uga Wangsit Siliwangi, yang diyakini di amanatkan Prabu Siliwangi didaerah ini, padahal Siliwangi, hidup dijaman Pajajaran masih jeneng dan Siliwangi masih mampu memerintah dengan tenang.
Rombongan lainnya mengungsi menuju ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa memboyong Mahkota dan atribut raja Pajajaran (Sanghiyang Pake) ke Sumedang Larang, mungkin tertinggal ketika Nilakendra meloloskan diri dari Pakuan. Didalam tradisi raja-raja Pajajaran Sanghiyang pake dan batu gilang atau palangka batu sriman sriwacana dianggap penting untuk menunjukan legalitas seorang raja.
Sebagian penduduk Pakuan mengungsi kearah barat daya tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang. Rombongan tersebut dipimpin oleh salah satu putra Nilakendra, yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana. Menurut legenda Kadu Hejo, di daerah Pulasari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Ia memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya dihancurkan oleh Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu. [RPMSJB, Jilid keempat, hal.30]
Ketiadaan pakaian dan perangkat raja diatas dapat pula dikaitkan dengan cerita lain. Dalam kisahnya disebutkan bahwa mahkota dan pakain kerajaan tersebut diboyong oleh Jaya Perkosa dari Pakuan dan adik-adiknya, yakni Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot, kemudian diserahkan untuk digunakan Geusan Ulun pada saat pelantikannya. Dengan penggunaan perangkat tersebut maka Geusan Ulun dianggap syah sebagai pewaris tahta Sunda.
Serangan Banten kedua
Pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka, bertepatan dengan tanggal 19 September 1568 masehi Susuhunan Jati wafat. Pemerintahan Cirebon diwalikan kepada Fadilah Khan, kemudian dua tahun sesudahnya atau pada tahun 1570, Fadilah Khan wafat, tahta Cirebon selanjutnya dilanjutkan oleh Panembahan Ratu. Namun lebih banyak mengkonsentrasikan perhatiannya ke Pajang, karena termasuk salah satu murid sekaligus menantu dari Adiwijaya.
Di Banten pada tahun 1570 Panembahan Hasanudin juga wafat. Tahta Banten di lanjutkan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf. Ia sangat berperan dalam menentukan hubungan selanjutnya dengan masalah Pajajaran. Hal ini disebabkan pula para penandatangan perdamaian Cirebon dengan Pajajaran sudah wafat, oleh karenanya ia tidak merasa harus menghormati perjanjian tersebut.
Semula Panembahan Yusuf tertarik untuk menaklukan Palembang, namun ia merasa kurang puas karena Pakuan belum seluruhnya dapat dilumpuhkan. Padahal telah dikepung dan beberapa kali diserang, benteng Pakuan masih belum dapat diterobos. Pada masa itu Pakuan sudah ditinggalkan rajanya, namun masih ada penduduk bersama pasukan yang ditugaskan untuk mempertahan Pakuan.
Untuk melakukan penyerangan, Panembahan Yusuf memerlukan persiapan yang matang, antara lain mempersiapkan pasukan yang lengkap dan menebar para telik sandi untuk mengetahui kelemahan penjagaan benteng. Penyerangan akhirnya dilakukan pada tahun 1579 dengan menggabungkan dua pasukan besar, yakni Banten dan Cirebon.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
• Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan, dalam Pupuh Kinanti, :
• Nalika kesah punika / ing sasih Muharam singgih / wimbaning sasih lapisan / dinten ahad tahun alif / punika sakalanya / bumi rusak rekeih iki ( Waktu keberangkatan itu / terjadi bulan Muharam / tepat pada awal bulan / hari Ahad tahun Alif /inilah tahun Sakanya / satu lima kosong satu). [RPMSJB, hal. 32]
Kejatuhan benteng pakuan diketahui dari naskah Banten. Naskah tersebut memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah dibuka dari dalam oleh komandan kawal benteng Pakuan yang merasa sakit hati, karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara Ki Jongjo seorang kepercayaan Panembahan Yusuf.
Pada tengah malam buta, setelah pintu gerbang Pakuan dibukan dari dalam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota. Kisah itu mungkin benar atau hanya rekaan, namun cerita ini cukup menggambarkan, bahwa betapa kuatnya pertahanan Benteng Pakuan yang dibuat Sri Baduga, bahkan setelah ditinggalkan oleh rajanya selama 12 tahun, pasukan Banten dan Cirebon masih perlu menggunakan cara halus untuk menembusnya.
Nasib Pakuan beserta para penghuninya setelah dihancurkan oleh pasukan Banten dan Cirebon, tidak terkabarkan beritanya, termasuk dari naskah-naskah tua. Namun pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Sersan Scipio, pada tanggal 1 September 1687 menemukan sisa-sisa keraton tersebut, terutama tempat duduk yang ditinggikan (sitinggil) raja Pajajaran, masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Dari sinilah kemungkinan muncul mitos, bahwa prajurit Pajajaran berubah menjadi harimau.
Berakhirnya jaman Pajajaran (1482 – 1579), ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu tersebut di boyong ke Banten karena tradisi politik mengharuskan demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Tentang batu palangka dikisahkan di dalam Carita Parahiyangan, :
• Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji d i Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata.
• (Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah Tahta Nobat, yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka yang berada di Kabuyutan itulah seorang calon raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok sehingga halus dan mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang, bila dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa.
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan Banten. Karena bentuknya yang mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gigilang, yang berarti Batu yang mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Berakhir di Pulasari
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Panembahan Yusuf mengarahkan serangannya ke Pulasari. Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada akhirnya Ragamulya Suryakancana bersama pengikut nya gugur di Pulasari. (***)
MASA PRALAYA
• Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa, tembey datang na prebeda. / Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam. / Prang ka Rajagaluh, él éh na Rajagaluh. Prang ka Kalapa, él éh na Kalapa. Prang ka Pakwan, prang ka Galuh, prang ka Datar, prang ka Madiri, prang ka Paté gé, prang ka Jawakapala, él éh na JawakapaJa. Prang ka Galé lang. Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam. / Kitu, kawisésa ku Demak deung ti Cirebon, pun.
Didalam akhir naskah, penulis Carita Parahyangan memberitakan tentang raja terakhir Pajajaran dan bagaimana proses peperangan dilakukan sehingga seluruh wilayah Pakuan menjadi “Kawisesa oleh Demak dan Cirebon”.
Kehancuran Pajajaran diakibatkan dua faktor, yakni faktor intern dan ekstern. Faktor intern disebabkan oleh perilaku raja yang tidak peduli terhadap kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat, sedangkan faktor eksteern disebabkan adanya serangan musuh yang bertubi-tubi, terutama yang dilakukan oleh pasukan gabungan Banten dan Cirebon. Faktor ini menimbulkan rasa frustrasi dan ketakutan rakyat. Itulah sebenarnya yang hendak di gambarkan oleh penulis Carita Parahyangan.
Penulis Carita Parahyangan mengupas tentang proses dialetika suatu kondisi masyarakat, sekalipun diuraikan secara sederhana namun bagi para pemikir nampak adanya pemikiran dialektis tentang bagaimana kehancuran suatu masyarakat itu terjadi.
Masalah Intern Pakuan
Penulis Carita Parahyang menguraikan, bahwa : jika suatu masa tidak mengalami kejahatan dan kemaksiatan maka manusia akan berada di dalam masa yang sejahtera. Akan tetapi justru sebaliknya, masa kaliyuga sudah sangat terasakan ketika masa Ratu Sakti, terutama ketika kejahatan dan kemaksiatan dianggap biasa dan dilindungi penguasa, sehingga Pajajaran hanya tinggal menunggu masa Pralaya (kehancuran, kiamat). Tentang analisa ini secara lengkap, sebagai berikut :
• Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sanghara, kreta, kreta. / Dopara luha gumenti tang kali. Sang Nilak éndra wwat ika sangké lamaniya manggirang, lumekas madumdum cereng. Manganugraha weka, hatina nunda wisayaniya, manurun aken pretapa, putu ri patiriyan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning baksa kilang.
Tahapan kehancuran Pajajaran diuraikan pada bab terdahulu, tentang Manurajasuna dan masa Kaliyuga, tentunya mulai nampak pada masa Ratu Dewata, raja hanya mengejar kebahagiaan hidup melalui laku tapa, batarak, kuru cileuh kentel peujit, melakukan pwah susu namun tidak peduli terhadap kehidupan negara dan masyarakatnya.
Pada masa Ratu Dewata bertahta, kesempatan untuk melakukan pembangunan dan mengkonsolidasikan masyarakat lebih besar dibandingkan pada masa Surawisesa, namun Surawisesa sudah meletakan dasar-dasar keamanan negara melalui perjanjian damai dengan Cirebon, Demak dan Banten. Sekalipun luas yuridiksi negara sudah tidak seluas ketika Sri Baduga masih bertahta.
Kesempatan kedua nampak pada masa Ratu Sakti. Raja ini memiliki kesempatan yang luas untuk mengembalikan wilayah Pajajaran yang telah direbut Cirebon, Demak dan Banten. Pada masa itu pasukan Banten dan Kalapa sedang disibukan untuk menaklukan Pasuruan dan Panarukan, bahkan Sultan Trenggono, Demak dan Pangeran Pasarean, putra mahkota Cirebon terbunuh didalam huru hara Demak.
Proses selanjutnya tiba pada masa Nilakendra. Pada masa tersebut Pakuan sudah mulai membangun jalan-jalan disekitar istana dan memperbaiki segala macam atribut istana, namun kejahatan dan kemaksiatan sudah menyeruak keseantero negeri dan dianggap sesuatu yang biasa. Raja asyik mengejar kepuasaan hidup melalui pendalaman ajaran yang jauh dari realitas hidup, seperti mensyahkannya mabuk-mabukan sebelum melakukan ritual. Pada masa ini rakyat sudah frustasi dan dianggap sudah berada didalam masa Kaliyuga.
Pada masa Ragamulya ia bertindak sebagai raja sekaligus pertapa, masa ini raja berkuasa tanpa mahkota dan tanpa memiliki pasukan perang. Raja hanya tinggal meunggu waktu datangnya kehancuran yang ditimbulkan musuh. Pada masa ini disebutkan masa Pralaya Pajajaran.
Banten melanggar Perjanjian
Panembahan Hasanudin dari Banten Pasisir kurang setuju atas perjanjian damai Pajajaran – Cirebon. Perjanjian tersebut dianggap hanya aman bagi Cirebon, tetapi menjadi ancaman bagi Banten. Jika kemudian Ia menyetujui, hal ini hanya karena ketaatannya kepada kebijakan ayahnya, Susuhunan Jati.
Niat Hasanudin untuk menguasai pakuan dilakukan secara terselubung, dengan cara membentuk pasukan khusus tanpa indentitas (tambuh sangkane), sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya ketika merebut Surasowan. Dalam periode berikutnya, Belanda menyebut tambuh sangkane dengan istilah rover, pengganggu ketertiban.
Hasanudin didalam ranji Pajajaran ia masih cicit Sri Baduga Maharaja dari Kawunganten, maupun dari Susuhunan Jati. Kawunganten putra Surasowan dan Surasowan putra Sri Baduga Maharaja dari Kentring Manik Mayang Sunda. (Yoseph, hal. 282). Mungkin Hasanudin merasa berhak atas tahta Kerajaan Pajajaran. Suatu hal yang patut diperhitungkan adanya kekhawatiran Hasanudin terhadap serangan Pajajaran untuk mengembalikan Banten sebagai wilayah Pajajaran. Kekuasaan Hasanudin di Banten diperoleh pasca menggulingkan ua nya, yakni Sang Arya Surajaya, hal ini sangat terkait erat dengan ekspansi perdagangan para Saudagar islam waktu itu, mengingat sangat sulit dikatagorikan sebagai penyebaran agama islam di Banten jika Sang Arya Surajaya pada masa itu sudah memeluk agama islam, bahkan ayahnya pun, Sang Surasowan telah memeluk agama islam. Banten sebagai pelabuhan perdagangan pada masa Arya Surajaya berada di bawah kekuasaan Pajajaran.
Niat menyerang Pajajaran dilakukan pada masa pemerintahan Sang Ratu Dewata. Hasanudin dengan pasukan tambuh sangkane langsung menyerang Pakuan, serangan itu disongsong pasukan Pakuan dialun-alun Pakuan, sekarang alun-alun Empang. Dalam pertempuran itu, gugur Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sanghiyang, perwira-perwira muda pihak Pajajaran.
Peperangan ini dicatat dalam Carita Parahyangan, isinya :
• “datangna bancana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Ratu Sarendet deung Tohaan Ratu Sanghyang”. (Datang bencana dari laskar musuh. Tak dikenal asal-usulnya. Terjadi perang di alun-alun. Gugurlah Tohaan Ratu Sarendet dan Ratu Sanghyang).
Kemenangan pasukan Pajajaran lebih banyak ditopang oleh kesetiaan dan ketangguhan pasukan yang pernah menjadi pengawal Surawisesa. Pada masa lalu pasukan tersebut telah mengalami lima berlas kali pertemuan di front barat Citarum. Pasukan Hasanudin setelah gagal menyerang Pakuan, kemudian mengundurkan diri, lalu melakukan serangan ke daerah utara, kemudian Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri. Serangan ini dimungkinkan untuk memancing konsentrasi pasukan Pajajaran agar keluar meninggalkan benteng Pakuan.
Didaerah tersebut pasukan Banten banyak melakukan pengrusakan terhadap Kabuyutan dan para wiku yang sangat dilindungi Pajajaran. Dimasa lalu dianggap sebagai Dangiang Sunda, banyak raja Sunda yang mempertaruhkan harga diri negaranya di Kabuyutan, bahkan Darmasiksa memaklumkan, bahwa : “lebih hina seorang raja dari kulit musang di tong sampah jika tidak mampu mempertahankan Kabuyutannya”.
Serangan Kedua
Pasca penyerangan pertama, Pakuan sudah tidak dapat mengkonsolidasikan pasukannya dengan baik, mengingat rakyat sudah mulai frustasi melihat tingkah laku penguasanya, terutama ketika masa Ratu Sakti.
Pada masa Nilakendra memang telah masuk pada masa Kaliyuga. Pada masa ini muncul kembali serangan dari pasukan tambu sangkane menggempur ibukota Pakuan. Prabu Nilakendra tidak berdaya, ia meloloskan diri meninggalkan keraton. Prabu Nilakendra tidak pernah diketahui kapan wafatnya dan dimana dipusarakannya. Mungkin ia meninggal di tengan hutan belantara dalam keadaan sengsara sebatang kara. Peristiwa ini digambarkan didalam Carita Parahyangan, :
• “Tohaan Majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan” (Tohaan Majaya kalah perang dan ia tidak tinggal di Keraton).
Pakuan dipercayakan kepada semua pembesar yang tidak menyertainya dalam pelarian. Para pembesar kerajaan Pajajaran dengan segala daya upaya mempertahankan keraton Pakuan Pajajaran. Berkat perlindungan parit pertahanan dan benteng yang dibangun oleh Sri Baduga Maharaja, Pakuan dapat diselamatkan.
Pengungsi dari Pakuan
Pakuan pasca ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah. Sebagian lagi meninggalkan Pakuan mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, Senapati Jayaprakosa beserta adik-adiknya, kemudian menetap di Sumedang.
Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah kekerabatan dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.
Dari sekian bagian penduduk yang mengungsi, ada sebagian lagi yang mencoba bertahan di Pakuan, bersama beberapa orang pembesar kerajaan yang ditugaskan menjaga dan mempertahankan Pakuan. Walaupun sudah tidak berfungsi, kehidupan di Pakuan pulih kembali.
Pengusian lainnya kewilayah barat daya dipimpin oleh Ragamulya. Di pengungsian ia berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk diselamatkan. Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara. Dalam versi lainnya ada juga yang menyebutkan, bahwa Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim digambarkan dalam suatu pemerintahan. Pulasari waktu itu sebagai Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan. Digunakan oleh Suryakancana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Menurut Iskandar (2005), Prabu Ragamulya Suryakancana seperti sudah mempunyai firasat, bahwa pusat kerajaannya harus di Pulasari Pandeglang. Mungkin berdasarkan petunjuk spiritual (uga), bahwa ia harus kembali ketitik-asal (purbajati). Mungkin juga ia mengetahui melalui bacaan lontar, catatan tentang Rajakasawa yang mengisahkan Karuhun (leluhur) Jawa Barat. Atau hanya berdasarkan dorongan batin yang ia miliki sebagai pewaris darah raja.
Sulit dibayangkan, sebab pusat kerajaannya yang baru, justru berdampingan dengan Kerajaan Surasowan. Yang pasti, Pulasari yang dijadikan ibukota Kerajaan Pajajaran tersebut adalah patilasan (bekas) pemukiman yang dahulu kala didirikan oleh Sang Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dalam abad kedua Masehi. Di Pulasari pula Sang Dewawarman mendirikan Rajatapura, ibukota Salakanagara pada tahun 130 Masehi.
Pajajaran Sirna
Pasca penyerangan Banten kali kedua ke Pakuan, tokoh penanda tangan perjanjian Pajajaran-Cirebon, satu persatu menutup usianya, yakni Sanghiyang Surawisesa (raja Pajajaran), wafat lebih awal, pada tahun 1535 M ; Susuhunan Jati, wafat pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka atau 19 September 1568 M ; Fadillah Khan, yang menggantikan Susuhunan Jati, wafat, pada tahun 1570 Masehi ; dan Panembahan Hasanudin, wafat pada tahun 1570 Masehi.
Hasanudin digantikan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf, putra dari pernikahannya dengan puteri Indrapura. Panembahan Yusuf merasa tidak terikat dalam perjanjian damai Cirebon dengan Pajajaran, ia pun tertarik untuk memperluas wilayah Banten, kemudian mempersiapkan serangannya dengan matang, terutama setelah Hasanudin Gagal menghancurkan Pakuan untuk yang kedua kalinya. Penyerangan tersebut dilakukan setelah sembilan tahun Panembahan Yusuf memegang tahta kerajaan Surasowan. Serangan tersebut mendapat bantuan dari kerajaan Cirebon, sehingga disebut serangan besar-besaran ke Pakuan.
Serangan Banten ke Pakuan diabadikan dalam Serat Banten dalam bentuk pupuh Kinanti, :
• Nalika kesah punika / Ing sasih muharam singgih / Wimbaning sasih sapisan / Dinten ahad tahun alif / Puningka sangkalanya / Bumi rusak rikih iki (Waktu keberangkatan itu – terjadi bulan muharam – tepat pada awal bulan – hari ahad tahun alif – inilah tahun sakanya – satu lima kosong satu).
Pakuan pasca ditinggalkan Nilakendra masih memiliki aktifitas seperti biasanya, namun memang sudah tidak lagi digunakan sebagai persemayamannya raja Pajajaran. Benteng Pakuan memiliki pertahanan yang sangat kuat. Pakuan masih memiliki soliditas dan ketangguhan sisa-sisa prajurit Pajajaran yang masih bermukim dibenteng.
Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam yang sakit hati”. Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan akhirnya dapat ditaklukan. Penduduk Pakuan telah susah payah membangun kembali kehidupannya, namun pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dijadikan simbol Pajajaran dibumi hanguskan.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
• Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Memburu Raja Nu Ngungsi
Para pengungsi yang menuju kearah barat daya berakhir di Pulasari. Mereka menyertakan Ragamulya. Di pengungsian ia berupaya menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan ibukotanya di Pulasari. Ia bertahta tanpa mahkota, sebab semua perangkat dan atribut kerajaan telah dipercayakan kepada Senapati Jayaprakosa dan adik-adiknya untuk diselamatkan, untuk kemudian diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun.
Mungkin juga pemilihan Pulasari pada waktu itu karena masih ada raja daerah, Rajataputra, bekas ibukota Salakanagara. Namun dalam versi lain disebutkan, bahwa : Pulasari bukanlah ibukota seperti yang lajim digambarkan dalam suatu pemerintahan. Di Pulasari hanya sebagai wilayah Kabuyutan, daerah yang dikeramatkan dan dilindungi negara. Hal tersebut digunakan pula oleh Ragamulya untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga, namun ia bukan raja Sunda seperti leluhurnya dahulu, ia tidak memiliki perlengkapan perang, karena ia hanya hidup Ngaresi dipengungsian.
Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya pada akhirnya harus menerima kodratnya, ia gugur di Pulasari setelah di bantai dan diluluh lantakan penduduknya. Demikian catatan sejarah menuliskan, Prabu Ragamulya Suryakancana gugur di Pulasari oleh pasukan Maulana Yusuf.
Lima abad setelahnya, setiap pengunjung Situs Purbakala Pulasari diberitahukan tentang adanya legenda Kaduhejo. Konon pada masa lalu telah datang kedaerah ini seorang raja tanpa mahkota, yang wafat di telasan pasukan Panembahan Yusuf. (***)
PUING PAKUAN
Antara Pajajaran sirna Ing Bhumi sampai ditemukan kembali oleh ekspedisi Scipio (1867) berlangsung kira-kira satu abad. Kota Pakuan yang pernah berpenghuni sekitar 48.271 jiwa ini ditemukan sebagai puing yang diselimuti oleh hutan tua (geheel met out bosch begroeijt zijnde; 1703).
Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana yang mengantarkan ekspedisi Scipio menemukan kembali kotanya yang hilang. Pakuan ditelan jaman, di selimuti kabut duka, dihancurkan kerakusan manusia.
Pada tanggal 1 September 1687 titi mangsa ditemukan tapak lacak lemah cainya. Mereka hadir sebagai pejiarah pertama. Di puing Kabuyutan Pajajaran yang mereka duga sebagai singggasana raja, mereka tafakur dan mengenang kejayaan dan keagungan Pajajaran.
Scipio pada tahun 1687 memiliki dua catatan penting dari ekspedisinya, yakni perjalanan antara Parung Angsana, Tanah Baru menuju Cipaku dengan melalui Tajur. Scipio mencatat : Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni. Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit.
Pada tanggal 1 September 1687 M memperoleh keterangan dari anak buahnya, bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran. Dari perjalanannya disimpulkan bahwa ada jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan kesan wajah kerajaan, terutama Situs Batutulis.
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja Pajajaran, sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau.
Penduduk Parung Angsana menghubungkan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau penjaga ‘singgasana raja Pajajaran’. Mungkin laporan dan peristiwa ini yang memunculkan mitos tentang hubungan Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau. Selanjutnya disebutkan pula bahwa raja Pajajaran tilem, sedangkan prajuritna berubah wujud menjadi harimau.
Dari hasil ekspedisi Winkler dilaporkan pula, tentang perjalanannya yang bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana, Tanah Baru lalu ke selatan, melewati jalan besar, Scipio menyebutnya ‘twee lanen’. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku, namun hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah melewati sungai Jambuluwuk, Cibalok dan melintasi parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak, tepinya nampak membentang ke arah Ciliwung sampai ke jalan menuju arah tenggara, setelah arca. Kemudian ia sampai di lokasi kampung Tajur Agung. Setelah itu sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya.
Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian dikedua sisinya. Dari Tajur Agung menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak pada tahun 1709 dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota. Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama.
Di sekitar Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan. Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan 7 batang pohon beringin.
Lahan di bagian utara bersambung dengan Bale Kambang yang biasanya digunakan untuk bercengkrama raja. Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi jalan Batutulis (sisi barat) dan Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan benteng batu yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara).
Balekambang terletak di sebelah utara benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang. Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa Istana Pakuan itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8.5 baris, disebutkan demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup. Winkler menyebut kedua batu itu stond (berdiri).
Setelah terlantar selama kira-kira 110 tahun, sejak Pajajaran burak oleh pasukan Banten pada tahun 1579, batu-batu itu masih berdiri dan masih tetap pada posisi semula.
Winkler dari tempat prasasti menuju ke tempat arca, pada penduduk menyebutnya Purwakalih, pada tahun 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih. Di sana terdapat 3 buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian pada tahun 1862 disadur dalam bentuk pupuh. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara Kabuyutan Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad Pajajaran, Pohon Campaka Warna terletak tidak jauh dari alun-alun.
Konon kabar Pakuan dihias dengan kraton Sri Bima, telaga panjang Sang Hiyang Talaga Rena Mahawijaya atau Sanghyang Kamala Rena Wijaya, dengan taman Milakancana dekat hutan Songgong tempat punden Pakuan Pajajaran.
Kearah Pakuan Pajajaran dibuat jalan-jalan besar yang dapat dilalui gerobak-gerobak dan beberapa kilometer. ke utara Muaraberes di kali Ciliwung masih ada bekas-bekas dermaga, dan juga di Ciampea, disebelah barat dari Pakuan, di Kali Cisadane semestinya akan dapat ditemukan bekas-bekas peninggalan dermaga atau sistim pertahanan, karena kedua tempat itu adalah batas sungai yang dapat dilayari sampai ke muara Laut Jawa, pintu gerbang menuju pedalaman.
Dari Pakuan ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusa, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwa karta, Sagalaherang, terus ske Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga Kawali dan ke pusat kerajaan Galuh Pakuan disekitar Ciamis dan Bojong Galuh. (Mungkin semacam jalan tol).
Pakuan bukan hanya lahan melainkan juga kenangan. Lahannya “dihidupkan kembali” tetapi kerajaanya takkan kembali. Inilah yang dirindukkan dan disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap kali gema Pajajaran menyentuh hati mereka “Geus deukeut ka Pajajaran ceuk galindeng Cianjuran Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng panineungan” (Sudah dekat ke Pajajaran menurut lantun Cianjuran Masih jauh ke Pakuan menurut lantun Kenangan) Pakuan terasa dekat, tetapi tak kunjung sampai. Kedekatan batin terhadap Pajajaran ini akhirnya menjelmakan gagasan Pajajaran Ngahiyang atau Pajajaran Tilem.
Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun - Pajajaran tidak hilang, Pakuan hanya ngahiang. Paling itulah kata-kata orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajaran, bahkan mereka menghibur diri dengan berkata : “Ngan engke bakal ngadeg deui” [Suatu saat akan berdiri kembali).
• Talung talung keur jaman Pajajaran / jaman aya keneh kuwarabekti / jaman guru bumi di pusti-pusti / jaman leuit tangtu eusina metu / euweuh nu tani mudu ngijon / euweuh nu tani nandonkeun karang / euweuh nu tan paeh ku jengkel / euweuh nu tani modar ku lapar. (masih mending waktu Pajajaran / ketika masih ada kuwarabekti / ketika guru bumi dipuja-puja / ketika lumbung padi melimpah ruah / tiada petani perlu mengijon / tiada petani harus mati kelaparan / tiada petani harus mati karena kesal / tiada hatus petani mati karena lapar).
Cag heula. (***)
Sumber Bacaan :
Sejarah Bogor – bagian 1, Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor – 1983 – di copy dari pasundan.homestead.com
Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
• Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
• Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
• Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
• Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
• Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor, – 1983.
• Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
• Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
• Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
Di Kutip dari : GUNUNG SEPUH
akibalangantrang.blogspot.com
Disarikan oleh : Agus Setiya Permana
Dari : berbagai sumber
KERAJAAN PAJAJARAN_Bag 1
PAJAJARAN
Poerbacaraka pada tahun 1921 menyebutkan, bahwa istilah Pakuan Pajajaran berasal dari kata istana yang berjajar (“aanrijn staande hoven”). Hal ini dimungkin demikian, mengingat nama tersebut gabungan dari nama ibukota (Pakuan) dengan nama keraton Sri Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati (Pajajaran). Dalam sastra klasik disebut Panca Persada yang berarti lima bangunan keraton, sedangkan di dalam naskah Wangsakerta sering disingkat dengan menyebut Sang Bima atau Sri Bima.
Nama Keraton dan pendirinya diberitakan di dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3 halaman 204 – 2005, sebagai berikut :
Hana Pwanung magadegaknya Pakwan Pajajaran lawan kadatwan Sang Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa (adapun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati adalah Sanh Prabu Tarusbawa).
Nama Keraton di Pakuan tersebut dituliskan didalam berita kropak 406 atau Fragmen Carita Parahyangan. Naskah dimaksud menyebutkan :
Di inya urut kadtwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. / Disiar kahulu Cipakancilan, katimu ku Bagawat Sunda Mayajati, ku Bujangga Sedamanah di baan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa. (Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. / Dicari ke hulu Cipakancilan, ditemukan disana Bagawat Sunda Majayati ; oleh Bujangga Sedamanah di bawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa)
Prasasti Kabantenan, yakni Prasasti yang dibuat dari tembaga dan ditemukan di Bekas, menggunakan nama Pakuan Pajajaran (lengkap), Pakuan (tanpa Pajajaran) dan Pajajaran (tanpa Pakuan). Urang sunda lebih nyaman menggunakan nama Pajajaran untuk nama kerajaan dan nama Pakuan untuk nama ibukota. Pemilihan nama tersebut pada akhirnya digunakan pula oleh para penulis sejarah Sunda.
Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres (1513 M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota kerajaan Sunda disebut dayo (dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta). Menurut Laporan VOC, perjalanan dari bekas benteng Pakuan ke muara Ciliwung tempat benteng VOC memakan waktu dua hari.
Saleh Danasasmita (1983 : 2) menghubungkan asal muasal nama keraton dengan nama kota di mana keraton tersebut berada. Menurutnya : “Nama keraton sering meluas menjadi nama ibu kota, bahkan akhirnya sering menjadi nama negara. Contoh nyata adalah Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat yang sebenarnya nama-nama keraton, sekarang meluas menjadi ibukota dan juga nama wilayah”. (Yoseph Iskandar 2005 : 228).
Di dalam versi lainnya menyebutkan, bahwa penggunaan istilah Pajajaran untuk nama kerajaan Sunda sebenarnya mulai digunakan pada masa Prabu Susuktunggal, ayah mertua Sri Baduga Maharaja. Hal ini dikemukakan didalam tulisan Atja Sasmita dan Edi S. Ekadjati, : “Pada waktu Sang Haliwungan berusia 13 tahun, ia diangkat menjadi rajamuda Sunda, dengan nama abhiseka Prabu Susuktunggal, baginda memerintah di Pakuan Pajajaran”. (Ibid : 229).
Pajajaran dipilih untuk nama kerajaan Sunda di Pakuan dimungkinkan akibat sering terjadi perpecahan dan bersatunya kembali antara kerajaan Sunda dengan kerajaan Galuh, sejak tahun 669 M, ditandai dengan Galuh menyatakan kemerdekaannya, demikian pula pada masa sesudahnya, seperti pada masa Sanjaya, Manarah dan pasca Wastu Kancana, sehingga untuk menghindarkan kesalahan pahaman, seperti masa Tarusbawa memindahkan ibukotanya ke Sundapura, maka dipilihlah nama Pajajaran untuk penerus kerajaan Sunda dengan Galuh tersebut.
Istilah Pajajaran kemudian digunakan pula untuk kisah-kisah di dalam cerita babad dan pantun, bahkan didalam Babad Tanah Jawi, menyebutkan kerajaan Sunda dengan nama Pajajaran. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut :
ing tahun 1433 Sang Ratu Dewa iya Raja Purana, ngadegake kutha anyar aran Pakuan. Karajan iki aran Pajajaran. Tulisan kang ana ing watu kono nerangake manawa Sang Prabu yasa segaran. Pajajaran semune krajan rada gedhe lan ngerehake Cirebon barang.
Pajajaran pada jaman Siliwangi tentunya bukan hanya suatu obrolan ringan, kita pun dapat melayang kealam ketentraman hidup dimana raja dan rakyat hidup sajajar lan ngajajar, raja adil dan rakyat sentosa, murah sandang murah pangan, seperti yang dilantunkan Ki Baju Rambeng, seorang juru pantun dari Bogor.
• Talang tulung keur Pajajaran
• jaman aya keneh kuwarabekti
• jaman guru bumi di pusti-pusti
• jaman leuit tangtu eusina metu
• euweuh nu tani mudu ngijon
• euweuh nu tani nandonkeun karang
• euweuh nu tan paeh ku jengkel
• euweuh nu tani modar ku lapar
(masih mending waktu Pajajaran / ketika masih ada kuwarabekti / ketika guru bumi dipuja-puja / ketika lumbung padi melimpah ruah / tiada petani perlu mengijon / tiada petani harus mati kelaparan / tiada petani harus mati karena kesal / tiada hatus petani mati karena lapar). (***)
LOKASI PAKUAN
Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres (1513 M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota kerajaan Sunda disebut dayo (dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta). Menurut Laporan VOC, perjalanan dari bekas benteng Pakuan ke muara Ciliwung tempat benteng VOC memakan waktu dua hari.
Amir Sutaarga (1966) menguraikan tentang asal nama Pakuan yang merujuk pada pendapat beberapa ahli, seperti Holle, Purbacarakan dan Tendam. Menurut Holle arti kata Pakwa Pajajaran berasal dari kata paku (pohon paku, pakis), sehingga Pakuan Pajajaran akan berarti : “tempat yang ada jajaran pohon-pohon paku”, sedangkan menurut Prof. Poerbacaraka, kata Pakwan sama dengan ‘hof’ (istana, dalam bahasa jawa ‘pakuwon’ artinya tempat kediaman) yang berasal dari kata ‘kuwu’ Pakuwuan (bahasa kawi klasik Pakuwwan) dengan lidah urang sunda Pakuan akhiranya menjadi Pakuwan.
Penafsiran lain dari karangan Tendam, yang menyatakan, bahwa kata paku harus dihubungkan dengan lingga kerajaan yang ada disebelah prasasti Batutulis. Paku dalam arti lingga sesuai dengan penafiran jamannya ketika itu berarti sumbu jagat dan hubungannya memang erat dengan kedudukan raja masa itu, yakni pusat jagat, pusat kosmos di dunia, yang mewakili dewa tertinggi yang jadi pusat jagat. Tendam secara tegas membedakan antara ‘pakwan’ dan ‘kadatwan’. Pakwan berarti ibukota pusat kerajaan yang ada paku-nya, lingganya, sedangkan kadatwan ialah keratonnya. Dan memang Kadatwan di Pakuan memiliki nama, yakni Sri Bima Untarayana Madura Suradipati. Dengan alasan ini maka istilah yang dikemukakan oleh Purbacaraka menjadi tidak lagi dapat digunakan.
Nama keraton di Pakuan ditemukan pula didalam berita kropak 406 atau Fragmen Carita Parahyangan. Naskah dimaksud menyebutkan :
Di inya urut kadtwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. / Disiar kahulu Cipakancilan, katimu ku Bagawat Sunda Mayajati, ku Bujangga Sedamanah di baan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa. (Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. / Dicari ke hulu Cipakancilan, ditemukan disana Bagawat Sunda Majayati ; oleh Bujangga Sedamanah di bawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).
Dari kedua data tersebut dapat disimpulkan bahwa dari masa Tarusbawa sampai dengan abad ke 16 nama Pakuan sudah digunakan untuk menyebutkan nama ibukota Sunda.
Lokasi keraton Pakuan terletak pada lahan lemah duwur – diatas bukit yang diapit oleh tiga batang sungai berlereng curam, yakni Cisadane, Ciliwung (Cihaliwung) dan Cipaku (anak Cisadane). Ditengahnya mengalir Cipakancilan yang ke bagian hulu sungainya bernama Ciawi. Pakuan terlindung oleh lereng terjal pada ketiga sisinya, namun disisi tenggara kota berbatasan dengan tanah datar dan terdapat benteng (kuta) yang paling besar, pada bagian luar benteng terdapat parit yang merupakan bentuk negatif dari benteng tersebut. Tanah galian parit itulah yang diperkirakan untuk dijadikan bahan pembangunan benteng.
Lokasi Pakuan didalam Carita Pantun disebutkan :
Guru sekar anu ngarana Aki Santarupa / anu di Taman Milakancana / sakalereun ginung anu tujuh / beulah wetan ti karaton / sagigireun rada jauh tonggoheunnana / Leuwi Kipataheunana / anu aya di talaga panjang / Talaga Kamala Rena Wijaya (guru sekar yang bernama Aki Santapura / yang ada di Taman Milakancana / sebelah utara gintung yang tujuh / sebelah timur dari keraton / sebelah hulu agak jauh diatasnya / Leuwi Kipatahunan / yang ada di telaga panjang / Telaga Kemala Rena Wijaya).
Pantun itu menginspitrasi Amir Sutaarga untuk menguraikan tentang Pakuan Pajajaran. Konon kabar dihias dengan kraton Sri Bima, telaga panjang Sang Hiyang Talaga Rena Mahawijaya atau Sanghyang Kamala Rena Wijaya, dengan taman Milakancana dekat hutan Songgong tempat punden pusat pemujaan penduduk Pakuan Pajajaran.
Kearah Pakuan Pajajaran dibuat jalan-jalan besar yang dapat dilalui gerobak-gerobak dan beberapa kilometer. ke utara Muaraberes di kali Ciliwung masih ada bekas-bekas dermaga, dan juga di Ciampea, disebelah barat dari Pakuan, di Kali Cisadane semestinya akan dapat ditemukan bekas-bekas peninggalan dermaga atau sistim pertahanan, karena kedua tempat itu adalah batas sungai yang dapat dilayari sampai ke muara Laut Jawa, pintu gerbang menuju pedalaman.
Dari Pakuan ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusa, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwa karta, Sagalaherang, terus ske Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga Kawali dan ke pusat kerajaan Galuh Pakuan disekitar Ciamis dan Bojong Galuh. (Mungkin semacam jalan tol).
Berita-berita VOC
Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. KarenaInggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC (East India Company), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris.
Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai lokasi bekas istana Kerajaan Pajajaran, VOC mengirimkan tiga tim ekspedisi, masing-masing dipimpin oleh Scipio (1687) ; Adolf Winkler (1690) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709).
Scipio pada tahun 1687 memiliki dua catatan penting dari ekspedisinya, yakni perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik Unitex sekarang. Scipio mencatat : Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni. Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit.
Scipio pada tanggal 1 September 1687 M memperoleh keterangan dari anak buahnya, bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran. Dari perjalanannya disimpulkan bahwa ada jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan kesan wajah kerajaan, terutama Situs Batutulis.
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja Jawa [maksudnya Sunda Pajajaran] sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau). Laporan tersebut juga dikaitkan dengan kisah anak buahnya yang mengalami patah tulang leher setelah diterkam harimau, laporan tersebut ia terima pada tanggal 31 Agustus 1687 malem hari.
Penduduk Parung Angsana menghubungkan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau penjaga ‘singgasana raja Pajajaran’. Penulis RPMSJB menafsirkan, bahwa laporan dan peristiwa ini yang akhirnya memunculkan mitos tentang hubungan Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau. Selanjutnya disebutkan pula bahwa raja Pajajaran tilem, sedangkan prajuritna berubah wujud menjadi harimau.
Laporan Scipio tersebut menggugah para pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian atau pada tahun 1690 masehi dibentuk kembali team ekspedisi terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur. Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Kapiten Winkler.
Winkler dari hasil ekspedisi melaporkan perjalannya seperti Scipio yang bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan, melewati jalan besar, Scipio menyebutnya ‘twee lanen’. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku, namun hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak (dediepe dwarsgragt van Pakowang) yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.
Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks Unitex itu pada jaman Pajajaran merupakan Kebun Kerajaan. Tajur adalah kata Sunda kuno yang berarti tanam, tanaman atau kebun. Tajur Agung sama artinya dengan Kebon Gede atau Kebun Raya. Sebagai kebun kerajaan.
Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya. Dari Tajur Agung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak pada tahun 1709 dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku Tulus Rejo, sekarang). Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama sebelum pindah ke Sekip dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawang Gintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantar Peuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon Gintung.
Di sekitar Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan 7 batang pohon beringin.
Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca (Purwa Galih), maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh Gang Amil.
Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Bale Kambang (rumah terapung), yang biasanya digunakan untuk bercengkrama raja. Contoh Bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali. Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jl. Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan benteng batu yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara).
Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang. Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa Istana Pakuan itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8½ baris, disebutkan demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup. Winkler menyebut kedua batu itu stond (berdiri). Jadi setelah terlantar selama kira-kira 110 tahun, sejak Pajajaran burak bubar/hancur oleh pasukan Banten pada tahun 1579, batu-batu itu masih berdiri dan masih tetap pada posisi semula.
Winkler dari tempat prasasti menuju ke tempat arca, pada penduduk menyebutnya Purwakalih, pada tahun 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih. Di sana terdapat 3 buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian pada tahun 1862 disadur dalam bentuk pupuh. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara Kabuyutan Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad Pajajaran, Pohon Campaka Warna terletak tidak jauh dari alun-alun.
Dari Naskah Kuna
Dalam kropak, tulisan pada lontar atau daun nipah yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan.
Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. :
Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa jeung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.
(Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai (dibangun) lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. dicari ke hulu Cipakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).
Dari sumber kuno tersebut dapat diketahui, bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari hulu Cipakancilan. Hulu Cipakancilan terletak dekat lokasi kampung Lawang Gintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Cipakancilan. Juru pantun kemudian menerjemahkan menjadi Cipeucang, yang artinya sama (Peucang = Kancil).
Hasil Penetian
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan cetakan tangan untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada 4 orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya C.M. Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.
Hasil penelitian Pleyte yang dilakukan pada tahun 1903 dipublikasikan pada tahun 1911. Dalam tulisannya ia menyebutkan angka tahun yang tertera pada batu tulis (Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg). Pleyte menjelaskan :
“Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjarans koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten” (Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih dipercayai menunjuk kampung Batutulis yang sekarang sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran, masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).
Sedikit kotradiksi dari Pleyte adalah pertama ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, akan tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas Dalem Kitha (Jero kuta) dan Jawi Kitha (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah kota dalam dan kota luar. Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.
Peneliti lain seperti Ten Dam menduga, letak keraton tersebut terletak di dekat kampung Lawang Gintung, bekas Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang oleh data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa Leuwi Sipatahunan yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ciliwung dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasih, leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi oleh puteri-puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari Leuwi Sipatahunan itu.
Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen Cakrabirawa (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama Mila Kencana. Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan.
Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawang Gintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini Kuta Maneuh.
Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler yang berkunjung ke Batutulis pada tanggal 14 Juni 1690. Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata paseban dengan 7 batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas balay yang lama.
Penelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang Saketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, Lawang Saketeng berarti porte brisee, bewaakte in-en uitgang (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawang Saketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.
Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Cipakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang di jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara jalan Suryakencana dengan jalan Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi, bekas pondasi benteng. Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ciliwung.
Deretan kios dekat simpangan jalan Siliwangi – jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyiang jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus jalan Siliwangi, di sini dahulu terdapat gerbang, terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.
Di Kampung Lawang Gintung, benteng ini bersambung dengan benteng alam yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Cipakancilan memisahkan ujung benteng dengan benteng pada tebing Kampung Cincaw.(***)
KEMBALI KE PAKUAN
Wastu Kancana wafat pada tahun 1475. Untuk menjaga keseimbangan wilayah Sunda, kerajaan dipecah dua, yakni Sunda Galuh yang berpusat di Keraton Surawisesa diperintah oleh Ningrat Kencana dengan gelar Prabu Dewa Niskala sedangkan Sunda Pakuan yang berpusat di Keraton Sri Bima diperintah oleh Sang Haliwungan dengan gelar Prabu Susuktunggal.
Para pewaris Wastu Kancana menurut Atja dan Ekadjati (1989 : 142), sebagai berikut :
“Setelah ayahnya wafat Prabu Susuktunggal menjadi raja di Pakuan Pajajaran yang berdiri sendiri, hingga tahun 1482 Masehi. Dengan demikian baginda berkuasa 100 tahun lamanya. Ia wafat pada usia 113 tahun”, sedangkan Dewa Niskala, didalam buku yang sama dijelaskan, bahwa : “Prabu Niskala Wastu Kancana, pada tahun 1371 menikah dengan Dewi Mayangsari, putri bungsu Prabu Suradipati (Bunisora), putri itu baru berusia 17 tahun. Salah seorang putranya ialah Sang Ningratkancana. Pada usia 23 tahun dinobatkan menjadi raja wilayah Garut dengan nama abhiseka Prabu Dewaniskala. Baginda menjadi rajamuda pada ayahnya hingga 1475 masehi”. (Iskandar – hal. 230).
Politik keseimbangan dengan cara pembagian kekuasaan telah berhasil melakukan stabilitas wilayah Sunda, terutama ada keterwakilan unsur Galuh dengan Sunda yang di posisikan sejajar. Hubungan kekerabatan para keturunan Wastu Kancana pada generasi berikutnya semakin kuat, ditandai dengan jalinan perkawinan Jayadewata, putra Dewa Niskala dengan Kentring Manik Mayang Sunda, putri Susuktunggal. Hubungan perkawinan dilakukan juga oleh para keturunan Sang Bunisora dengan keturunan Wastu Kencana. Dua orang putra Wastu Kancana menikah dengan putri Giri Dewata alias Gedeng Kasmaya putra Sulung Bunisora yang menikah dengan Ratya Kirana puteri Ganggapermana raja daerah Cirebon Girang. Oleh karena itu Gedeng Kasmaya dapat menjadi penguasa Cirebon mewarisi tahta dari mertunya.(RPMSJB Jilik ketiga, hal 50).
Suksesi dan Penyatuan Wilayah
Kisah penyatuan kembali kerajaan Sunda dengan Galuh (Kawali) warisan Wastu Kancana tidak terlepas dari adanya peristiwa di Kawali. Pada masa tersebut, tahta Sunda di Kawali diwariskan kepada Dewa Niskala, dan ia di anggap ngarumpak larangan (tabu) yang berlaku di keraton Galuh. Mungkin pada waktu itu hukum adat di Sunda mengkatagorikannya pada pelanggaran moral. Padahal persoalan moralitas di wilayah Sunda Galuh mendapat sorotan yang serius, bahkan dapat mewarnai perubahan jalannya sejarah Sunda. Hal ini nampak dari kisah Smarakarya Mandiminyak (Amara) dengan Pwah Rababu, istri Sempakwaja yang membuahkan perebutan tahta Galuh. Kisah selanjutnya adalah Kisah Dewi Pangrenyep. Didalam versi cerita tradisional, seperi pantun dan babad, kisah ini diabadikan didalam lalakon Ciung Wanara. Demkian pula didalam kisah Dewa Niskala yang dianggap ngarumpak tabu keraton dengan cara menikahi putri hulanjar dan sekaligus istri larangan (Wanita terlarang).
Dari contoh kisah diatas dapat disimpulkan, bahwa keraton Galuh memiliki tradisi yang sangat menghormati moralitas, pada masa itu diatur dalam suatu bentuk etika hidup dan kenegaraan, yang disebut Purbatisti – Purbajati, bahkan memiliki sanksi yang tegas, dikucilkan dari lingkungan atau diturunkan dari tahtanya.
Keyakinan dan ketaatan Keraton Galuh demikian menjadikan suatu hal yang lumrah ketika nyusud kagirangna, karena Cikal Bakal Galuh adalah Kendan yang didirikan oleh Resi Manikmaya, resi sekaligus penguasa. Para keturunan Galuh dalam periode berikutnya menciptakan keseimbangan dengan membentuk negara Galunggung sebagai negara agama (kabataraan) yang memiliki kekuatan untuk mengontrol perilaku penguasa Galuh. Ketaatan Galuh terhadap Galunggung nampak pula ketika masa Demunawan menginisiasi Perjanjian Galuh, sehingga wajar ketika Dewa Niskala dipaksa untuk mengundurkan diri karena dianggap ngarumpak larangan.
Penulis Carita Parahyangan dan Siksa Kandang Karesyan mendifiniskan tentang Istri larangan (istri yang terlarang untuk dinikahi oleh keluarga Galuh), pada masa itu ada tiga katagori, yakni (1) gadis atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya diterima, gadis atau wanita terlarang bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu, (2) Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat, dan (3) ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut. (Ekadjati – 2005 : hal.196). Kecuali istri larangan dalam katagori (1) dan (3) sampai saat ini masih diyakini masyarakat sebagai sesuatu yang harus dihindari, sedangkan yang temasuk katagori (2) sudah sangat luntur, bahkan didalam hukum negara saat ini perkawinan antar bangsa, antar suku dan antar agama bukan lagi merupakan sesuatu yang tabu.
Peristiwa Dewa Niskala didalam sejarah resmi sangat terkait pula dengan eksodusnya keluarga Keraton Majapahit ke Kawali, pasca huru hara di Majapahit yang menjatuhkan Brawijaya V. Pada masa tersebut Majapahit mendapat serangan beruntun dari Demak dan Girindrawardana. Keluarga keraton Majapahit mengungsi ke Pasuruan, Blambangan dan Supit Udang, namun tak kurang pula yang mengungsi ke Kawali disebelah barat Majapahit.
Kisah pelarian keluarga keraton Majapahit yang menuju wilayah Galuh tiba di Kawali. Mereka dipimpin oleh Raden Baribin, saudara seayah Prabu Kretabhumi. Mereka disambut dengan senang hati oleh Dewa Niskala. Raden Baribin kemudian di jodohkan dengan Ratu Ayu Kirana, putri Prabu Dewa Niskala. Namun Dewa Niskala dianggap ‘ngarumpak larangan’ karena menikahi seorang rara hulanjar dan istri larangan (wanita terlarang) dari salah satu rombongan para pengungsi. Rara hulanjar sebutan untuk wanita yang telah bertunangan. Masalah hulanjar sama halnya dengan aturan di Majapahit, yakni perempuan yang masih bertunangan dan telah menerima Panglarang, tidak boleh diperistri kecuali tunangannya telah meninggal dunia atau membatalkan pertunangannya.
Pernikahan Dewa Niskala dengan hulanjar atau istri larangan, serta akibat dari perbuatannya diabadikan oleh penulis Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung tiga. Lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe larangan ti kaluaran.
Hal yang sama dituliskan pula di dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa 1 sarga 3, sebagai berikut :
• //sang ningrat kancana / a-
• Thawa prabhu dewa niskala/
• Madeg ratu ghaluh pakwan
• Ing (1397-1404) ikang ca-
• Kakala//lawasnya/pitung warca/
• Mapan sira kawilang sang sa-
• Lah mastri lawan wanodya
• Sakeng wilwatikta/
(Sang Ningrat Kancana atau Prabu Dewa Niskala, menjadi ratu Galuh Pakuan pada tahun 13897-1404. Lamanya 7 tahun. Karena ia terhitung bersalah memperistri gadis [hulanjar] dari Majapahit) [Yoseph Iskandar – hal 321].
Prabu Susuktunggal merasa bahwa keraton Surawisesa telah dinodai, sehingga mengancam untuk memutuskan segala hubungan kekerabatan dengan Galuh. Ancaman demikian tidak berakibat menakutkan jika disampaikan oleh kerabat biasa, namun lain halnya jika disampaikan oleh seorang raja Sunda yang sederajat dengan Dewa Niskala, sehingga wajar jika kemudian terjadi ketegangan.
Prabu Susuktunggal didalam kisah dan versi lain memang tak ada ‘cawadeun’, bahkan penulis Carita Parahyangan memiliki kesan yang sangat baik, ia mencatatkan sebagai berikut :
Enya kieu, mimiti Sang Resi Guru boga anak Sang Haliwungan, nya eta Sang Susuktunggal nu ngomean pakwan reujeung Sanghiang Huluwesi, nu nyaeuran Sanghiang Rancamaya. / Tina Sanghiang Rancamaya aya nu kaluar. / “Ngaran kula Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiang banaspati.” / Sang Susuktunggal, enya eta nu nyieun pangcalikan Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja, ratu pakwan Pajajaran. Nu kagungan kadaton Sri bima – untarayana madura – suradipati, nya eta pakwan Sanghiang Sri Ratudewata. / Titinggal Sang Susuktunggal, anu diwariskeunana tanah suci, tanah hade, minangka bukti raja utama. / Lilana ngadeg ratu saratus taun.
Ketegangan diantara kedua keturunan Wastu Kancana itu berakhir ketika para pemuka kerajaan mendesak keduanya untuk mengundurkan diri. Sebagai bentuk kompromi keduanya harus menyerahkan tahtanya kepada Jayadewata, yakni putra Dewa Niskala dan sekaligus menantu Susuktunggal. Pada masa itu Jayadewata telah menduduki jabatan sebagai Putra Mahkota Galuh, sedangkan di Sunda diangkat sebagai Prabu Anom.
Adnya peristiwa tersebut mengandung hikmah yang cukup besar, karena peristiwa ini maka pada tahun 1482 M kerajaan Sunda warisan Wastu Kencana bersatu kembali dibawah pemerintahan Jayadewata, cucunya, dengan sebutan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.
Dari Kawali ke Pakuan.
Jayadewata pasca dinobatkan sebagai raja Sunda kemudian mengalihkan pusat pemerintahannya dari Kawali ke Pakuan. Sumber utama tentang masalah ini ditegaskan didalam prasasti Kabantenan dan Batutulis Bogor.
Saleh Danasasmita (1981-1984) menterjemaahkan Prasasti Bogor, sebagai berikut :
OO wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu / diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diyadingan sri / baduga maharaja ratu haji pakwan pajajaran sri sang ratu de- / wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa nis- / kala sa(ng) sidamoka di gunatiga, i(n)cu rahyang niskala wastu / ka(n)cana sa(ng) sidamoka ka nusa larang, ya siya nu nyiyan sakaka- / ia gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghayang talaga / rena mahawijaya, ya siya pun OO i saka, pan- / dawa (m) bumi OO [Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana; dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewata Niskala yang mendiang ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya, Ya dialah (yang membuat semua itu). (Dibuat dalam (tahun) 1455.].
Jika dicermati dari Prasasti Bogor, Jayadewata diistrenan sebagai raja Sunda dua kali, yakni di Kawali dengan gelar Prabuguru Dewataprana dan di Pakuan dengan gelar Sri Baduga Maharaja. Berita yang sama di muat dalam naskah Pustaka Negara Kretabhumi parwa 1 sarga 4 halaman 47, sebagai berikut :
Raja Pajajaran winstwan ngaran Prabhuguru Dewata prana muwah winastwan ngaran Cribaduga Maharaja Ratuhaji ing Pakwan Pajajaran Cri Sang Ratu Dewata putra ning Rahiyang Dewa Niskala Wastu Kencana. Rahyang Niskala Wastu Kancana putra ning Prabhu Maharaja Linggabhuanawicesa. [Raja Pajajaran dinobat kan dengan gelar Prabhuguru Dewataprana dan dinobat kan lagi dengan gelar Sri Baguga Maharaja Ratuhaji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, putra rahiyang Niskala Wastu Kancana. Rahiyang Niskala Wastu Kancana putra Prabu Maharaja Linggabuanawisesa]. (Iskandar, hal. 226).
Dari dua kali peristiwa pengangkatan Jayadewata tentu membuahkan tandatanya, namun dapat terjawabkan jika diketahui bahwa Jayadewata sebelum diistrenan jadi raja Sunda ia menyandang gelar (jabatan) Putra mahkota (rajaputra) di Galuh dan Prabu Anom di Pakuan. Gelar putra mahkota karena memang ia putra dari Dewa Niskala sedangkan Prabu Anom karena ia menikah dengan rajaputri Pakuan, putrinya Prabu Susuktunggal, yakni Kentring Manik Mayang Sunda.
Kisah pengangkatan di dua kerajaan tersebut adalah suatu bentuk kompromi yang tekait dengan ketegangan penguasa Galuh dengan Sunda. Hal tersebut diinisiasikan oleh para pemuka kerajaan untuk menjaga harmoni antara Galuh dengan Sunda. Kisah pelantikan Jayadewata di abadikan dalam Carita Ratu Pakuan yang disusun oleh Kai Raga dari Srimanganti (Cikuray).
Alasan pemindahan ibukota Sunda ke Pakuan sampai sekarang belum banyak di kupas secara khusus, padahal Jayadewata lebih kental berdarah Kawali, karena ia putra Dewa Niskala. Namun alasan pemindahan pusat pemerintahan ke Pakuan diuraikan didalam beberapa versi, yakni Pertama karena Jayadewata telah sering tinggal di Pakuan untuk mewakili mertuanya, sehingga ia lebih familier melaksanakan tugas pemerintahannya dari Pakuan. Kedua adanya upaya Jayadewata untuk lebih mengakrabkan dirinya dengan kerabat Pakuan, yakni dari pihak mertuanya. Ketiga Susuktunggal dianggap jauh lebih berwibawa dibandingkan Dewa Niskala dan lebih dihargai oleh masyarakat Sunda. Keempat perkembangan kota Pakuan pada masa itu dianggap lebih maju dibandingkan Kawali. Sama halnya ketika masyarakat memilih Sunda untuk menyebutkan gabungan entitas Sunda dengan Galuh.
Jayadewata bertahta memerintah wilayah kerajaan Sunda (Galuh dan Sunda, kemudian disebut Pajajaran) pada tahun 1404 sampai dengan 1443 saka, atau pada tahun 1482 sampai dengan 1521 masehi. Pajajaran dimasa pemerintahannya mencapai puncaknya. Menurut penulis Carita Parahyangan : “disebabkan (Sri Baduga Maharaja) melaksanakan pemerintahannya berdasarkan purbatisti purbajati, (sehingga) tidak pernah kedatangan musuh kuat atau musuh halus. Tentram disebelah utara, selatan, barat dan timur”. Cag Heula. (***)
SRI BADUGA MAHARAJA
Jayadewata bertahta memerintah wilayah kerajaan Pajajaran pada tahun 1404 sampai dengan 1443 saka, atau pada tahun 1482 sampai dengan 1521 masehi, jika mengacu kedalam tulisan Amir Sutaarga sejak tahun 1474 – 1513 masehi. Hal tersebut ia cantumkan dalam tulisannya, tentang Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513.
Jayadewata sebelum bertahta sebagai raja Pajajaran ia menyandang predikat Putra Mahkota di Kawali dan Prabu Anom di Pakuan, karena ia putra raja Sunda Kawali (Dewa Niskala), dan sekaligus menantu raja Sunda Pakuan (Prabu Susuktunggal).
Didalam Babad Tanah Jawi dijelaskan :
ing tahun 1433 Sang Ratu Dewa iya Raja Purana, ngadegake kutha anyar aran Pakuan. Karajan iki aran Pajajaran. Tulisan kang ana ing watu kono nerangake manawa Sang Prabu yasa segaran. Pajajaran semune krajan rada gedhe lan ngerehake Cirebon barang.
Penulis Carita Parahyangan menujukan keberadaan sebagai pengganti Wastu Kancana. Kisah tersebut menyebutkan pula tentang eksistensinya, sebagai berikut :
Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilu puluh salapan taun. / Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
Jayadewata memiliki banyak gelar, diantaranya gelar Sri Baduga Maharaja Ratu (H)aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Di Jawa Barat Sri Baduga lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Menurut Pangeran Wangsakerta, : hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.
“Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”.
Pemberian nama Siliwangi menurut tradisi lama dikarenakan orang segan (teu wasa) atau tidak sopan (belegug) menyebut nama raja yang dihormatinya sesuai dengan nama sesungguhnya, sehingga juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Nama Siliwangi selanjutnya dikenal pula sebagai tokoh sastra, seperti yang tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun, ditulis pada tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup.
Kisah Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah perjalanan Pamanahrasa atau Siliwangi menjadi raja di Pakuan. Namun memang ada beberapa hal yang perlu ditafsirkan mengingat sangat syarat dengan simbol-simbol, seperti penyebutan Sumedang Larang sebagai muasalnya dan menempatkan Anggalarang sebagai raja di Sumedang Larang.
Alasan lain tentang penyebutan Siliwangi menurut Wangsakerta karena dalam hal kekuasaan ia setingkat dengan Prabu Wangi (Linggabuana) dan Prabu Wangisuta (Wastu Kancana). Di dalam naskah Kertabahumi 1/5 h. 22/23 ditegaskan, :
“Cri Baduga Maharaja atyantakaweh yasa nira ring nagara Sunda. Swabhawa Matangyan sira pramanaran Prabu Ciliwangi mapan sira sumilihaken kacakrawrtyan Sang Prabhu Wangi ya ta sang mokteng Bubat lawan Sang Prabhu Wangisuta ya ta sang mokteng Nusalarang”
(Sri Baduga Maharaja sangat banyak jasanya terhadap negeri Sunda. Kekuasaanya seolah-olah tidak berbeda dengan Sang Prabu Maharaja yang gugur di Bubat. Itulah sebabnya ia digelari Prabu Siliwangi karena menggantikan pemerintahan Sang Prabu Wangi yaitu yang gugur di Bubat dan Sang Prabu Wangisuta yaitu mendiang di Nusa Larang) [RPMSJB, Jilid Keempat, h. 3]
Tokoh Cerita Sastra
Jayadewata dalam kapasitasnya sebagai Siliwangi dikenal melalui cerita sastra, baik melalui nyanyian anak-anak yang lengkap dengan kejayaannya di Pajajajaran maupun dalam sirsilah keluarga menak, cerita babad, pantun dan wawacan. Kisah dan kebesaran Siliwangi didalam cerita ini terkenal jauh sebelum ditemukannya prasasti Batu Tulis dan Kebantenan, sehingga penfsiran bahwa sejarah Sunda merupakan rekaan Belanda menjadi tidak beralasan.
Menurut Holle (1867 : 457), didalam naskah kuna yang bernama Siksa Kandang Karesyan menyebutkan beberapa caerita pantun, yaitu Angga Larang, Babakcatra, Siliwangi dan Haturwangi. Naskah ini diberi candra sangkala nora catur sagara wulan atau sama dengan angka 1440 Saka atau tahun 1518 masehi. (Sutaarga, 1966 : 15). Naskah dan candra sangkala ini menunjukan, penokohan Siliwangi sudah dilakukan ketika masa Siliwangi masih jumeneng. Namun sayangnya, cerita-cerita pantun yang judulnya tercantum dalam naskah Siksa Kandang Karesyan tersebut saat ini tidak lagi ditemukan, kecuali hanya berupa cerita Pantun, itu pun hampir punah ditelan jaman.
Tentang biografi Siliwangi sampai saat ini baru ditemukan beberapa naskah yang disimpan di Museum Pusat – Jakarta yang ditulis pada pertengahan abad 19, yakni Babad Pajajaran lima jilid yang ditulis dalam bahasa dan tulisan jawa dari pertengahan abad 19 dan naskah Ceritera Prabu Anggalarang yang ditulis dalam bahasa latin, berasal dari Ciamis.
Amir Sutaarga (1966 : 17) secara singkat menguraikan tentang wawacan dan naskah-naskah tersebut, namun tidak dapat ditampilkan dalam bahasan ini, mengingat pada panjangnya tulisan tersebut. Judul tulisan yang tertera dalam buku itu berjudul (1) Ceritera Prabu Anggalarang ; (2) Babad Siliwangi ; (3) Babad Pajajaran dan (4) Wawacan Cariosan Prabu Siliwangi. (ibid, hal 22).
Kesejarahan Siliwangi dari Ceritra, Wawacan dan Babad dapat disimpulkan, sebagai berikut : (1) Prabu Siliwangi putra Prabu Wangi atau Prabu Anggalarang (2) Prabu Siliwangi telah mengalami kisah hidup dan keprihatinan (3) Prabu Siliwangu dianggap berparas elok dan berwatak baik (4) Prabu Siliwangi banyak melakukan peperangan dan perkawinan politis sehingga dapat mengkonsolidasikan Pajajaran (5) Prabu Siliwangi tidak menggantikan langsung Prabu Anggalarang, melainkan melalui kepala pemerintahan perantara [mungkin juga istilahnya raja panyelang] (6) Prabu Siliwangi didalam wawacan Sulanjana dijadikan mitos padi dan lambang kesuburan di Sunda.
Penyusunan naskah babad, wawacan dan karya sastra yang dibuat pada jaman dan daerah yang berbeda tentunya juga akan sangat berpengaruh terhadap munculnya perbedaan dalam menyusun sirsilah Siliwangi. Seperti nampak perbedaan sirsilah yang dimuat dalam Babad Pajajaran dan Babad Galuh. Tidak heran jika dikemudian hari muncul perdebatan tentang siapa Siliwang tersebut, bahkan sulit dibedakan antara Prabu Wangi ; Prabu Wangisuta ; dan Prabu Siliwangi sendiri.
Banyak para menak jaman baheula yang menyusun sirsilah keluarganya dengan mengaitkan nama Siliwangi. Hal ini mudah di pahami mengingat Siliwangi memiliki banyak keturunan, dari istri-istri putri para penguasa daerah. Selain hal tersebut, terutama hubungannya dengan masalah politik, pada jaman Belanda siapapun yang dapat menjadi penguasa daerah (bupati) di tatar Sunda haruslah berdarah biru, keturunan menak Pajajaran, alias keturunan Prabu Siliwangi. Salah satu contoh sirsilah ini dimuat didalam Kropak 421, salah satu cuplikannya, sebagai berikut :
Punika Prabu Siliwangi, Puputra Mundingsari Ageung, / Puputra Mundingsari Leutik, / Puputra Raden Panglurah, / Puputra Sunan Dampal, / Puputra Sunan Genteng, / Puputra Wanaperih, / Puputra Sunan Ciptarengga, / Puputra Satonga Asta, / Puputra Eyang Wargasita / Saderekna Ki Enjot Nayawangsa, / Ki Entol Panji, / Sadulurna Nyi Asta, / Ki Dipati Talaga, / Ki Arya Saringringan, / Ki Mas Yudamardawa, / Ki Mas Badapati, / Ki Mas Wangsakusumah / ……. (Sudarsa dan Edi : 2006).
Sirsilah Prabu Siliwangi saat ini banyak merujuk dan menggabungkan pada naskah Carita Parahyangan ; Pararathon (Brandes 1920 : 36-37) dan Sejarah Banten (Djajadiningrat 1913 : 90 dan 1318). Ketiga naskah tersebut bertolak dari masa perang bubat (1279 saka/1357M) sampai dengan burakna Pajajaran (1501 saka/1579 M). Sirsilah tersebut telah beberapa kali di uji coba melalui cara membandingkan dengan prasasti yang ditemukan. Menurut Amir Sutaarga (1966), sirsilah tersebut, sebagai berikut :
1 1350 – 1357 Prabu Maharaja
2 1357 – 1363 Masa Peralihan Hyang Bunisora
3 1363 – 1467 Prabu Niskala Wastu Kancana
4 1467 – 1474 Rahiyang Dewa Niskala
5 1474 – 1513 Sri Baduga Maharaja
6 1513 – 1527 Prabu Surawisesa
7 1527 – 1535 Prabu Ratu Dewata
8 1535 – 1543 Sang Ratu Saksi
9 1543 – 1559 Prabu Ratu Carita
10 1559 – 1579 Nu Sia Mulya atau Prabu Seda
Memindahkan Ibukota
Jayadewata sampai pada tahun 1482 masih memusatkan kegiatan pemerintahannya di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 – 1482 adalah Jaman Sunda Kawali, selanjutnya pemerintahan di pindahkan ke Pakuan, bertepatan dengan diistrenannya Jayadewata sebagai raja Sunda di Pakuan.
Khusus kekuasaannya di Pakuan, jika mengacu kedalam tulisan Amir Sutaarga sejak tahun 1474 – 1513 masehi. Hal tersebut ia cantumkan dalam tulisannya, tentang Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513.
Pajajaran pada masa Jayadewata memiliki luas melebihi luas jawa barat sekarang. Menurut naskah Bujangga Manik sampai ke tungtung Sunda (Tegal, Cipamali) dan daerah Banyumas (Pasir Luhur) atau bekas kerajaan Pasir.
Pada masa itu Raden Banyakcatra, atau Kamandaka, putra Siliwangi diangkat mantu oleh raja Pasir dan menurunkan raja-raja Pasir. Hal ini dapat dibuktikan dari babad Pasir (Kenbel, 1900), namun sekarang nama-nama yang berkonotasi Sunda sudah mulai berubah, dan berangsur-angsur diganti dengan kata-kata Jawa.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali. Penobatan yang pertama dilakukan ketika menerima Tahta Galuh dari ayahnya, Prabu Dewa Niskala, kemudian bergelar Prabu Guru Dewataprana, kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunggal. Adanya peristiwa demikian menyebabkan ia secara praktis menguasai seluruh tatar Sunda dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Urang Sunda sering pacaruk untuk membedakan Prabu Siliwangi dengan Prabu Wangi atau Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di Bubat. Urang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana.
Di dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah ‘seuweu’ Prabu Wangi atau putra Prabu Wangi, sedangkan Sri Baduga atau Siliwangi adalah putra Wastu Kancana. Mengapa Dewa Niskala, ayah Sri Baduga dilewati ?. Padahal ia pun dikisahkan di dalamnya. Hal ini dikarenakan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh, sedangkan Sri Baduga memiliki kekuasaan yang sama dengan Wastu Kancana, dengan demikian maka Sri Baduga dianggap sebagai penerus langsung dari tahta Wastu Kancana.
Alasan diatas dikemukakan juga di dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/4, bahwa : ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja, sama seperti kakeknya, Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh.
Didalam membahas tentang Prabu Siliwangi Amir Sutaarga (1965) mengutarakan, Sri Baduga dianggap sebagai “silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). “Silih” dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.
Pada masa pemerintahan Sri Baduga kerajaan Pajajaran mencapai masa keemasan. Penulis Carita Parahyangan menjelaskan sebab-sebabnya, yakni :
“Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa” (disebabkan melaksanakan pemerintahan yang berdasarkan purbatisti purbajati, tidak pernah kedatangan musuh kuat atau musuh halus. Tentram disebelah utara, selatan, barat dan timur).
Tentang Sri Baduga didapatkan pula berita dari naskah luar, seperti yang dicatat oleh Tome Pires yang ikut dalam perjanjian antara Pajajaran dengan Portugis. Ia mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar : “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Selain laporan tersebut, didalam Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18, ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab, pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila Sri Baduga diabadikan kebesarannya oleh para penggantinya dan rakyat Sunda dari masa kemasa.
Tentang kesuburan Pajajaran pada masa Siliwangi dilantunkan Ki Baju Rombeng seorang Juru Pantun dari Bogor Selatan, yang hidup pada awal ke 20 menuturkan :
Talang tulung keur Pajajaran / jaman aya keneh kuwarabekti / jaman guru bumi di pusti-pusti / jaman leuit tangtu eusina metu / euweuh nu tani mudu ngijon / euweuh nu tani nandonkeun karang / euweuh nu tan paeh ku jengkel / euweuh nu tani modar ku lapar.
(masih mending waktu Pajajaran / ketika masih ada kuwarabekti / ketika guru bumi dipuja-puja / ketika lumbung padi melimpah ruah / tiada petani perlu mengijon / tiada petani harus mati kelaparan / tiada petani harus mati karena kesal / tiada hatus petani mati karena lapar). (***)
KEJAYAAN PAKUAN
Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan. Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga atau Siliwangi adalah raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran masyarakat.
Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan, yakni menjalankan nilai-nilai Purbatisti – Purbajati.
“Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa”.
Hal ini sejalan dengan tulisan Tome Pires didalam The Suma Oriental, tentang The Kingdom of Sunda is justly geverned – Raja Sunda memerintah secara adil.
Mahakarya dari Sri Baduga diuraikan pula di dalam naskah Pustaka Kertabumi I/2. Naskah versi Cirebon ini menyebutkan, bahwa :
Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan. (RPMSJB, Jilid keempat, hal. 9).
Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun tak kurang yang musnah termakan jaman.
Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan ; membuat Talaga Maharena Wijaya ; memperteguh ibu kota ; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan, memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan.
Pendidikan
Pembangunan yang berhubungan dengan Pendidikan pada dasarnya memadukan pembangunan watak (jati diri) dan kesejahteraan umum. Hal ini dituliskan di dalam Prasasti Kabantenan yang dibuat atas perintah langsung Sri Baduga. Saat ini baru ditemukan 4 buah keputusan yang tertera didalam 5 lempeng tembaga. Keputusan tersebut menyangkut masalah penentuan batas Kabuyutan dan pembebasan pajak (RPMSJB, Jilid keempat, hal. 4).
Menurut Holle, isi ringkasnya dapat diutarakan sebagai berikut :
Prasasti 1 Penetapan batas lemah dasawasasana (tanah kabuyutan) di Sundasembawa
Prasasti 3–4 Penetapan batas dayeuh Jayagiri dan dayeuh Sunda Sembawa dan keputusan pembebasan pajak ;
Prasasti 5 Pengukuhan status lemah dasawasasana di Sunda Sembawa.
Prasasti 1, 2 dan 5 berupa piteket (keputusan langsung), sedangkan Prasasti 3 dan 4 berisi tentang sakakala (tanda peringatan). Khusus untuk Prasasti 3, 4, 5 akan dibahas tersendiri mengingat para akhli menganggap prasasti ini mencerminkan tentang kepribadian Sri Baduga.
Prasasti 3 dan 4 menjelaskan :
//o// ong awignamastu, nihan sakakala ; rahyang nikala wastu kancana pun, turunka rahyang ningrat kancana, maka nguni ka susuhunan ayeuna di pakuan pajajaran pun mulah mo mihape
Dayeuhan di jayagiri, deung dayeuhan di su(n)da sembawa, aya ma nu ngabayuan inya, ulah dek ngaheuryan inya, ku na dasa, calagara, kapas timbang, pare dondang, mang(k)a ditudi(ng) ka para muhara, mulah dek men –
Taan inya beya pun, kena inya nu purah ngabuhaya, mibuhayakeunna ka caritaan pun, nu pageuh ngawakan na dewasanana //o//
Terjemaahan :
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan dasa, calagra, kapas timbang, dan pare dongdang. Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran agama. Mereka yang teguh mengamalkan hukum-hukum dewa.
Prasasti 5
Ini piteket nu seba ka papajaran, miteketan ka kabuyuran di sun(n)da
sembawa, aya ma nu ngabayuan, mulah aya numunah-munah inya nu ngaheureuyan
lamu aya nu kadeu paambahan lurah sunda sembawa eta lurah kawikwan.
Terjemahan :
Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberikan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan ada yang menghapus atau mengganggu nya. Bila ada yang bersikeras menginjaknya daerah Sunda Sembawa aku perintahkan agar di bunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta.
Jika dicermati peringatan yang tertera dalam Prasasti 3 dan 4 tersebut akan nampak adanya amanat dari Wastu Kancana kepada Susuhanan Pajajaran (Sri Baduga) yang disampaikan melalui Ningrat Kancana, untuk mengurus wilayah Jayagiri dan Sunda Sembawa. Jika dihubungkan dengan Prasasti 1 akan diketahui bahwa di daerah Jayagiri dan Sunda Sembawa terdapat batas antara Kota dan Kabuyutuan. Sunda Sembawa didalam sejarah awal merupakan daerah asal Terusbawa, cikal bakal raja-raja Sunda. Di daerah tersebut pernah pula dijadikan ibukota Tarumanagara pada masa Purnawarman.
Kabuyutan atau Dawasasana dikelola oleh kelompok wiku, mereka mengurus keagamaan, kesejahteraan raja, negara dan penduduk. Wilayah para wiku di dalam prasasti 1 disebut lemah larangan, yakni daerah otonom atau semacam perdikan, dikepalai oleh Lurah Kawikwan (Kawikuan). Dalam prasasti 5 ditegaskan pula bahwa siapapun yang memasuki lemah larangan tanpa ijin akan dijatuhi hukuman mati.
Disekitar lemah larangan terdapat sangga, yaitu penduduk yang mendukung keberadaan dan ngabayuan (menghidupi) Kabuyutan. Sangga dimaksud dalam prasasti ini dimungkinkan berada di dalam wilayah Sunda Sembawa dan Jayagiri. Dengan demikian di Jayagiri dan Sunda Sembawa terdapat Lemah Rangan dan Sangga.
Sri Baduga di dalam prasasti 3 dan 4 memerintahkan agar penduduk di kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu dasa (pajak tenaga perorangan), calagra (pajak tenaga kolektif), kapas timbang (kapas 10 pikul) upeti dan pare dongdang (padi 1 gotongan). Urutan pajak tersebut didalam kropak 630 adalah dasa, calagra, upeti, dan panggeureus reuma, sedangkan petugas pajak disebut Pangurang.
Pare dongdang disebut panggeres reuma. Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha, sedangkan Reuma adalah bekas ladang. Memang contoh untuk panggeres reuma saat ini sudah tidak ada, yang dimaksud adalah padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen, kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru. Didalam keyakinan masyarakat Sunda dimasa lalu, hasil tanah demikian milik lelembut, karena tidak ada yang mengurusnya, namun pelaksanaan panennya diwakilkan menjadi hak milik raja, sehingga padi yang tumbuh demkian selanjutnya menjadi hak raja atau penguasa setempat.
Dongdang adalah alat pikul seperti tempat tidur persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dongdang harus selalu di gotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut dongdang (berayun). Dongdang biasanya digunakan untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, pare dongdang atau penggeres reuma lebih bersifat barang antaran.
Kewajiban yang benar-benar harus ditunaikan adalah pajak tenaga atau dasa dan calagra, di Majapahit disebut walaghara atau pasukan kerja bakti. Didalam memenuhi dasa dan calagra dilakukan untuk kepentingan raja, diantaranya tugas untuk menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di serang ageung atau ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi.
Sistem dasa dan calagara masih diteruskan pada masa para Bupati Belanda. Pada masa itu wilayah Jawa Barat sudah diserahkan Mataram kepada Belanda. Sedangkan kekuasaan Mataram di Jawa Barat didapatkan, karena adanya penyerahan begitu saja oleh Suradiwangsa kepada Sultan Agung, raja Sumedang Larang, pengganti Prabu Geusan Ulun. Sistim ini sebagai bentuk simbiosa mutualisma para Bupati dalam mempertahankan batas wilayah kekuasannya dengan kepentingan Belanda yang membutuhkan hasil bumi, konon wilayah Jawa Barat merupakan penghasil kopi terbaik. Padahal di negara Belanda sendiri tidak mengenal sistem semacam ini. Belanda memanfaatkan sistim ini untuk kerja rodi. Bentuk dasa diubah menjadi Heerendiensten, yakni bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar yang memang bertujuan untuk kepentingan Belanda dan pribadi para bupati, bukan untuk kepentingan umum seperti pada masa Sri Baduga.
Disamping pajak ada pula yang disebut beya (restribusi) yang dipungut di pelabuhan, muara sungai, tempat penyebrangan dan tempat-tempat lainnya. Didalam Prasasti 3 dan 4 penduduk Sunda Sembawa dan Jayagiri dibebaskan dari seluruh pajak dan restribusi. Hal ini berkaitan dengan tugasnya untuk mengurus kabuyutan yang terletak di keua perbatasan Jayagiri dan Sunda Sembawa.
Dalam kaitan ini dapat dipahami, dengan memajukan lemah larangan atau lurah kawikwan (kawikuan), Sri Baduga memajukan pula pendidikan bagi semua kalangan melalui lembaga – lembaga binayapanti yang ada didaerah tersebut. Binayapanti yang dimaksud adalah tempat belajar atau pesantren yang ada di lemah larangan atau kabuyutan. Sama halnya dengan Kabuyutan yang dikembangkan oleh Prabu Darmasiksa dimasa lalu.
Didalam membahas Kabuyutan memang seolah-olah ada beberapa perbedaan fungsi, terutama antara Kabuyutan yang dikisahkan di Galunggung, Kanekes, Sukabumi (prasasti Cibadak) dan Sunda Sembawa. Fungsi kabuyutan Sunda Sembawa dan Jayagiri adalah Kabuyutan lemah Dawasasana yang berhubungan dengan dewa-dewa. Sedangkan Kabuyutan di Kanekes, atau Sasakadomas adalah Kabuyutan Jati Sunda atau Kabuyutan Parahyangan yang berhubungan dengan para leluhur. (RPMSJB, Jilid ke 4, hal. 6).
Masyarakat Sunda pada masa Pajajaran memiliki hirarki pemerintahan yang jelas. Hirarki tersebut merupakan satu kesatuan antara manusia dengan Hiyang, sehingga dapat diketahui juga tentang tingkatan Kabuyutan. Tingkatan tersebut, yakni : Wado tunduk kepada Mantri ; Mantri tunduk kepada Nanganan ; Nanganan tunduk kepada Mangkubumi ; Mangkubumi tunduk kepada Raja ; Raja tunduk kepada Dewa ; Dewa tunduk kepada Hyang.
Sumber dari Prasasti Batu Tulis
Karya Sri Baduga tercantum pula didalam Prasasti Batu tulis yang dibuat pada masa Surawisesa pada tahun 1455 saka atau 1533 masehi. Prasasti tersebut menerangkan sebagai berikut :
++ Wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebuguru dewataprana diwastu diya dingaran sri baduga maharaja ratu haji pakwan pajajaran sri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa niskala sa(ng) sidamoksa di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu ka(n)cana sa(ng) sidamokta ka nusalarang, ya siya nu nyiyan sakakala ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya siyapun ++ i saka. Panca pandawa e(m)bau bumi ++
Terjemahan :
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana ; dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusalarang. / Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). / dibuat dalam tahun Saka lima pandawa pengasuh bumi (1455).
Prasasti tersebut menunjukan adanya karya Sri Baduga, yakni membuat parit pertahanan ; gunung-gunungan ; mengeraskan jalan dengan batu membuat hutan samida ; dan membuat telaga Rena Mahawijaya. Namun dakam hal ini penulis hanya akan menyajikan beberapa saja.
Parit Pertahanan
Arti kata nyusuk lebih sering diterjemaahkan sebagai membuat Parit. Hal yang sama dilakukan oleh Tarusbawa, Banga, Hyang Batari dan Niskala Wastu Kancana yang tercantum didalam naskah maupun prasasti (Galunggung dan Batutulis). Parit ini kelak akan dicoba ketangguhannya dalam beberapa kali menghadapi serangan Banten. Konon benteng tersebut hanya dapat dijebol setelah ada pengkhianatan yang membuka pintu benteng dari dalam.
Parit yang dibangun Sri Baduga bertujuan untuk melindungi Sri Bima. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawang Gintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini Kuta Maneuh.
Hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler yang berkunjung ke Batutulis pada tanggal 14 Juni 1690. Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata paseban dengan 7 batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas balay yang lama.
Penelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang Saketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, Lawang Saketeng berarti porte brisee, bewaakte in-en uitgang (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawang Saketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.
Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Cipakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang di jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara jalan Suryakencana dengan jalan Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi, bekas pondasi benteng. Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ciliwung.
Deretan kios dekat simpangan jalan Siliwangi – jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung melewati kompleks perkantoran PDAM, lalu menyilang jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus jalan Siliwangi, di sini dahulu terdapat gerbang, terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.
Di Kampung Lawang Gintung, benteng ini bersambung dengan benteng alam yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Cipakancilan memisahkan ujung benteng dengan benteng pada tebing Kampung Cincaw.
Sakakala Gugunungan
Sakakala Gugunungan dimaksud merupakan tanda peringatan berupa gunung-gunungan yang letaknya diperkirakan terdapat di Badigul Rancamaya. Bukit Badigul memperoleh namanya dari penduduk karena penampakannya yang unik. Sebelum tahun 1984 bukit tersebut hampir gersang dan berbentuk seperti parabola dan tampak seperti wajan terbalik. Bukit-bukit disekitarnya tampak subur. Badigul hanya ditumbuhi jenis rumput tertentu. Mudah diduga bukit ini dulu dikerok sampai mencapai bentuk parabola.
Badigul dimungkinan waktu itu dijadikan Bukit Punden tempat berziarah, sama dengan yang dimaksud dalam rajah Waruga Pakuan dengan Sanghiyang Padungkulan.
Kedekatan telaga (diperkirakan di Rancamaya) dengan bukit punden bukanlah tradisi baru. Pada masa Purnawarman, raja beserta para pembesar Tarumanagara selalu melakukan upacara mandi suci di Gangganadi, Setu Gangga yang terletak dalam istana Kerajaan Indraprahasta – Cirebon Girang. Setelah bermandi suci, raja melakukan ziarah ke punden-punden yang terletak dekat sungai.
Jalan Berbatu.
Jalan berbatuan pernah ditemukan oleh regu ekspedisi Scipio pada tahun 1687, terletakdiantara Bogor dan Rancamaya. Hal yang sama ditemukan pula oleh Winkler (1690), tidak jauh dari prasasti ditemukan jalan berbatuan yang rapi menuju kearah Paseban dan ditandai oleh tujuh pohon beringin. Disebelah jalan tersebut diperkirakan bekas berdirinya Sri Bima. (RPMSJB, Jilid keempat, hal. 8).
Menurut Sutaarga (1966), kearah Pakuan Pajajaran dibuat jalan-jalan besar yang dapat dilalui gerobak-gerobak, Beberapa kilometer kearah utara Muaraberes di kali Ciliwung dan Ciampea masih ada bekas-bekas dermaga. Posisi ini berada disebelah barat dari Pakuan. Di Kali Cisadane semestinya dapat ditemukan bekas-bekas peninggalan dermaga atau sistim pertahanan, karena kedua tempat itu merupakan batas sungai yang dapat dilayari sampai ke muara Laut Jawa, pintu gerbang menuju pedalaman.
Dari Pakuan ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusa, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwa karta, Sagalaherang, terus ske Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga Kawali dan ke pusat kerajaan Galuh Pakuan disekitar Ciamis dan Bojong Galuh. (Mungkin semacam jalan tol).
Samida
Samida adalah hutan yang kayunya di gunakan untuk pembakaran jenasah. Jenis kayu ini hampir sama dengan cemara dan pinus yang mudah terbakar. Hutan ini diperkirakan terletak diluar Pakuan dan berada di perbukitan. Jenis kayu demikian biasanya tumbuh didataran tinggi dan bercuaca dingin, sehingga dimungkiknkan tumbuh subur di wilayah Bogor.
Telaga Rena Mahawijaya
Winkler pada abad ke 17 dalam penelitiannya tidak menemukan bekas telaga tersebut, dimungkinkan telah jebol pasca serangan Banten, atau memang telah hancur karena bencana alam. Kesulitan menemukan telaga ini berakibat banyaknya dugaan-dugaan.
Pleyte menyebutkan, bahwa telaga yang dimaksud adalah kolam tua di Kotabatu, terletak lima kilo meter sebelah barat daya Pakuan. Sebelumnya ditemukan banyak patung disana, kemudian oleh Friederich dipindahkan ke kebon raya, namun luas kolam tersebut tidak memenuhi syarat jika disebutkan sebagai telaga. Pada masa sesudahnya, Poerbacaraka (1921) menyebutkan, bahwa yang dimaksud Telaga Rena Wijaya tersebut adalah Telaga Warna yang terletak di daerah puncak. Dugaan tersebut tidak beralasan, mengingat di dalam Bujangga Manik, sekitar tahun 1473 – 1478 ia pernah berhenti di dekat Talagawarna dana masih tetap utuh. Kisah Bujangga Manik tersebut menyebutkan, sebagai berikut :
Sananyjak aing ka Bangis, / Ku ngaing geus / aleumpang, / Nepi ka Talaga Hening, / Ngahusir aing ka Peusing.
Menurut Suhamir Salmun telaga ini terletak pada aliran Ciliwung. Namun para petutur Pantun mengisahkan, bahwa : “telaga yang berada pada aliran Ciliwung disebut Kamalawijaya (kamala = air), sedangkan yang berada di Rancamaya disebut Rena Wijaya. Istilah Rena Wijaya menjadi Rancamaya disebabkan lidah urang sunda yang lebih familir menyebutkan Ranca ketimbang menyebutkan Rena. Hal ini dianggap sejalan dengan naskah Carita Parahyangan, yang menyatakan Rancamaya pernah disaeuran (di bandung) oleh Sang Haluwesi, adik Susuktunggal. (RPMSJB, Jilid Keempat, hal.8)
Menurut Amir Sutaarga (1966), danau buatan tersebut menahan air sungai Ciliwung dari Bantar Peuteuy sampai dengan Babakan Pilar. Jika dilihat dari ketinggian air mancur (tugu, pilar), dari sisi jalan raya Jakarta – Bogor (bukan dari jalan tol), kemudian turun kebawah menuruni Sungai Ciliwung, maka akan nampak adanya penyempitan pada tepi sungai ini, dan dasar pada sungai ini jatuh dibawah masih kelihatan penumpukan batu-batu kali yang besar.
Sutaarga menggambarkan keadaan tersebut setelah terinspirasi dari informasi juru pantun Bogor :
Inyana laju nindak deui / ka leuwi Kipatahunan / anu kiwari disarebutna / Sipatahunan atawa Cipatahunan / nu aya di talaga panjang / nu ngaran Talaga Kamala Rena Wijaya / anu kiwari mah ngan kari urut / nyanghulu ka Bantar Peuteuy / nunjangna ka Babakan Pilar. (ia kemudian pergi lagi / ke lubuk Kipatahunan / yang sekarang disebut orang / Sipatahunan atau Cipatahunan / yang adanya di Telaga Kemala Rena Wijaya / yang sekarang hanya tinggal bekasnya / beruhulu ke Bantar Peuteuy / ujung kakinya pada Babakan Pilar).
Bila diteliti keadaan sawah di Rancamaya sebelum dijadikan real estate, dapat diperkirakan bahwa dulu telaga itu membentang dari hulu Cirancamaya sampai ke kaki bukit Badigul di sebelah utara jalan lama yang mengitarinya dan berseberangan dengan Kampung Bojong. Sebelum tahun 1966, di sisi utara lapang bola Rancamaya, merupakan tepi telaga yang bersambung dengan kaki bukit.
Alasan lainnya, kedekatan Cirancamaya dengan Badigul melambangkan adanya kesatuan Sunda dengan Galuh, yakni Cirancamaya dilambangkan sebagai urang Galuh (air) sedangkan gunung Badigul dilambangkan sebagai urang Sunda (gunung).
Sri Baduga disebut Sang Lumahing (Sang Mokteng) di Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya, sehingga Rancamaya dianggap memiliki nilai yang tersendiri. Rancamaya terletak kira-kira 7 Km di sebelah tenggara Kota Bogor. Rancamaya memiliki mata air yang sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs makam kuno dengan pelataran berjari-jari 7.5 m tertutup hamparan rumput halus dan dikelilingi rumpun bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu terdapat Pohon Hampelas Badak setinggi 25 meter dan pohon beringin.
Dewasa ini seluruh situs sudah dihancurkan, bahkan sudah dirikan Real Estate. Konon surat keputusan tentang Cagar Budaya tidak mampu menahan laju pembangunan – Pre Historis, namun pernah di dalamnya ditambah sebuah kuburan baru, lalu makam kunonya diganti dengan bata pelesteran, ditambah bak kecil untuk peziarah dengan dinding yang dihiasi huruf Arab. Makam yang dikenal sebagai makam Embah Punjung ini mungkin sudah dipopulerkan orang sebagai Makam Wali, sama seperti kuburan Embah Jepra pendiri Kampung Paledang yang terdapat di Kebun Raya, disebut sebagai makam Raja Galuh. Mungkin pula sama dengan klim Gus Dur terhadap Makam leluhur Panjalu di Situ Lengkong. Jadi kapan ditatar Sunda bisa memiliki jejak ‘Karuhun’-nya.
Dari berita Portugis
Pada tahun 1513 Portugis mengunjungi Pajajaran dengan membawa empat kapal. Berita ini diketahui dari catatan Tome Pires yang ikut dalam rombongan tersebut. pada kesempatan ini pula Tome Pires berhasil mewawancarai beberapa pihak yang ada di Pajajaran, untuk kemudian ia bukukan didalam “The Suma Oriental”.
Dari penelitiannya Tome Pires mengetahui wilayah pelabuhan yang termasuk yuridiksi Pajajaran. Ia menyebutkan Banten, Pontang, Cigede, (muara Cidurian), Tamgara (muara Cisadane), Kalapa, Karawang dan Cimanuk, sedangkan Cirebon pada waktu itu telah memisahkan diri. Tapi Pires hanya menyebutkan, bahwa Cirebon termasuk wilayah Demak. Untuk kemudian ia membahas Cirebon dalam babnya tentang Jawa.
Dayo (dayeuh) di istilahkan untuk menyebut ibukota yang terletak sejauh dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa. Rumah-rumah di Pakuan indah-indah dan besar, terbuat dari kayu palem, sedangkan istana raja (Sri Bima) dikelilingi oleh 330 pilar, masing-masing sebesar tong anggur yang tinggi + 9 meter dan dihiasi berbagai macam ukiran pada puncaknya.
Menurut RPMSJB (1983-1984), Pires menyebutkan Sunda sebagai negeri ksatria dan pahlawan laut. Para pelaut Sunda berlayar keseganap pelosok negeri sampai ke Maladewa. Komoditi perdagangan yang terpenting adalah beras (10 jung pertahun), lada (1.000 bahar setahun), kain tenun (diekspor ke Malaka). Demikian pula sayuran dan daging sampai melimpah, bahkan tamarin (asam) cukup untuk dimuat dalam seribu kapal. (Jilid keempat, hal 10).
Pajajaran telah mengenal alat tukar, berupa uang emas dan kepeng. Pajajaran juga sebagai importir tekstil halus dari Cambay dan kuda Pariaman yang mencapai 4.000 ekor setahun. Kuda tersebut digunakan sebagai alat pengangkutan, angkatan perang dan berburu yang merupakan olah raga kaum bangsawan.
Kesan Tome Pires terhadap Urang Sunda waktu itu adalah : menarik (goodly figure), ramah, tinggi, kekar (robust), dan ‘the are true man’ – mereka orang jujur. Sedangkan terhadap pemerintahan Sri Baduga mencatat, bahwa :”Kerajaan Sunda diperintah dengan adil “ (The Kingdom of Sunda is justly geverned).
Dari kebebasaran tersebut, ada lantunan Ki Baju Rombeng, Juru Pantun dari Bogor yang hidup pada awal ke 20.
Talung talung keur Pajajaran / jaman aya keneh kuwarabekti / jaman guru bumi di pusti-pusti / jaman leuit tangtu eusina metu / euweuh nu tani mudu ngijon / euweuh nu tani nandonkeun karang / euweuh nu tan paeh ku jengkel / euweuh nu tani modar ku lapar.
(masih mending waktu Pajajaran / ketika masih ada kuwarabekti / ketika guru bumi dipuja-puja / ketika lumbung padi melimpah ruah / tiada petani perlu mengijon / tiada petani harus mati kelaparan / tiada petani harus mati karena kesal / tiada hatus petani mati karena lapar). Cag heula. (***)
PEMISAHAN CIREBON
Perkawinan Sang Pamanahrasa (Sri Baduga Maharaja) dengan Nyi Mas Subanglarang, putri dari Ki Gedeng Tapa, memperoleh putera dan putri, yakni Walangsungsang, Rara Santang dan Rajasangara. Sang Pamanah Rasa mempersunting Nyi Mas Subanglarang setelah terlebih dahulu mengalahkan Raja Sakti Mandraguna dari wilayah Cirebon, yakni Amuk Murugul. Dengan demikian, baik dari Sirsilah ibu maupun ayah, Walangsungsang masih teureuh Niskala Wastu Kancana.
Subanglarang sebelum dipersunting Sang Pamanahrasa terlebih dahulu telah memeluk agama Islam. Ia alumnus Pesantren Quro yang didirikan oleh Syeh Hasanudin atau Syeh Quro (bukan Sultan Hasanudin), Syeh Hasanudin masuk ke wilayah ini pada masa Laksamana Cheng Ho. Menjadi tidak mengherankan jika putra-putrinya dari Subanglarang memeluk agama Islam dan direstui oleh Sang Pamanahrasa.
Bahwa memang ada cerita tentang keluarnya ketiga bersaudara tersebut keluar lingkungan istana Pakuan disebabkan perselisihan tahta antara Subanglarang dengan Kentring Manik Mayangsunda. Namun ada versi lain yang menceritakan bahwa keluarnya Walangsungsang dari lingkungan Pakuan bersama adiknya, Nyi Mas Rarasantang dilakukan dengan seijin ayahnya, sedangkan Rajasangara tetap berada dilingkungan Pakuan. Tahta Pajajaran dikemudian hari diserahkan kepada Surawisesa, putra mahkota dari Kentring Manik Mayang Sunda.
Iskandar (2005) menjelaskan, bahwa : pada suatu ketika, Walangsungsang bersama adik-adiknya meminta izin secara baik-baik kepada ayahandanya, untuk pergi ke Kerajaan Singapura (Cirebon). Alasan Walangsungsang dan adik-adiknya yang utama dikemukakan secara terus terang kepada ayahnya. Walangsungsang yang berstatus Tohaan (Pangeran), juga adik-adiknya, merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai putera-puteri Maharaja. Mereka merasa haus akan ilmu pengetahuan, terutama dibidang keagamaan. Ketika ibunya masih hidup, mereka ada yang membimbing, tetapi ketika ibunya telah wafat, di Pakuan tidak ada orang yang bisa dijadikan guru mereka. Tidak Ada lagi penenang batin yang memadai bagi mereka.
Sri Baduga Maharaja menurut versi lainnya, ketika itu masih berstatus Prabu Anom, bahkan mertuanya (Prabu Susuktunggal) masih dibawah kekuasaan kakeknya, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana. Sri Baduga Maharaja atau Prabu Anom Jayadewata, sangat maklum atas keinginan ketiga puterinya itu. Dengan berat hati ia hanya mengijinkan Walangsungsang dan Rara Santang, sedangkan Rajasangara dimohon tetap tinggal di Pakuan.
Berdirinya Pakungwati
Pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April 1445 Masehi, bertepatan dengan 1 Muharam 848 Hijriah, Pangeran Walangsungsang membuka perkampungan baru dihutan pantai kebon pasisir yang bernama Cirebon Larang atau Cirebon Pasisir.
Nama tersebut diambil berdasarkan nama yang sudah ada, yaitu kerajaan Cirebon yang terletak dilereng Gunung Cereme yang pernah dirajai oleh Ki Gedeng Kasmaya (putera sulung Sang Bunisora). Ketika Cirebon Pasisir sudah berdiri, kawasan Cirebon yang dilereng Gunung Cereme kemudian disebut Cirebon Girang.
Daerah baru tersebut berkembang pesat. Dua tahun setelah didirikan tercatat ada 346 orang. Kampung baru Cirebon Pasisir, penduduknya terdiri atas caruban (campuran) berbagai bangsa dan agama. Mereka sepakat memilih Ki Danusela menjadi kuwu yang pertama, dan Ki Samadullah terpilih menjadi pangraksabumi, dengan julukan Ki Cakrabumi yang kemudian dijuluki pula Pangeran Cakrabuana.
Setelah menunaikan ibadah haji Pangeran Walangsungsang alias Ki Samadullah, mendapat nama baru, yakni Haji Abdullah Imam. Kemudian bermukim di Mekah selama 3 bulan. Di Cirebon, isterinya Indah Geulis, putri dari Ki Danuwarsih telah melahirkan seorang puteri. Untuk kemudian diberi nama Nyai Pakungwati.
Dalam rangka penyebaran agama, ia memperisteri Ratna Riris (puterinya Ki Danusela) dan namanya diganti dengan Kancana Larang. Selanjutnya Ki Danusela wafat, Walangsungsang diangkat menjadi kuwu yang kedua di Cirebon Larang.
Pada tahun 1479 M, kedudukannya digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Syarif Hidayat berkuasa sejak tahun 1479 – 1568.
Dalam Pustaka Pakungwati Carbon (1779 M) yang disusun oleh Wangsamanggala – Demang Cirebon Girang atas perintah Sultan Muhammad Saifuddin (Matang Aji), dijelaskan tentang letak Pakungwati sebagai berikut :
“Keraton ini didirikan di sebelah barat Kali Karyan. Dahulu disebut Kali Carbon yang dalam jaman hindu disebut Kali Subha. Sebelah hulunya disebut Kali Gangga dan disebelah hulunya lagi disebut Carbon Girang”.
Pembentukan Pakungwati direstui Pajajaran. Sri Baduga mengutus Ki Jagabaya untuk menyampaikan tanda kekuasaan dan memberi gelar Sri Mangana kepada Walangsungsang, putranya. Pada saat itu disampaikan oleh Ki Jagabaya disertai Jasangara, adik bungsu Walangsungsang.
Cirebon Merdeka
Naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2 menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran dan menyatakan Cirebon todak lagi berada dibawah kekuasaan Pajajaran. Tindakan tersebut dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat desakan dari para wali lainnya.
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sri Bima di Pakuan diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran. Untuk mengetahui keadaan itu Sri Baduga mengutus Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya, namun Ki Jagabaya dan pasukannya disergap hingga tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon – Demak yang jumlahnya sangat besar. Akhirnya Jagabaya masuk Islam.
Peristiwa tersebut membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Ia memerintahkan untuk menyiapkan pasukan besar agar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan dapat dicegah oleh Purohita – pendeta tertinggi keraton, yakni Ki Purwa Galih, dengan alasan, tidak pantas seorang kakek menyerang anak dan cucunya. Disamping itu diyakinkan pula, bahwa yang mengangkat Syarif Hidayat adalah Walangsungsang, putranya sendiri.
Perjanjian Internasional Pertama
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya, sehingga wajar jika ia mencurahkan perhatian kepada tegaknya pubatisti, purbajati dan membuat parit pertahanan, sebagaimana yang dijelaskan didalam berbagai naskah.
Tome Pires (1513) menyebutkan Sunda sebagai negeri ksatria dan pahlawan laut. Para pelaut Sunda berlayar keseganap pelosok negeri sampai ke Maladewa. Namun berdasarkan keterangan lain Pajajaran hanya memiliki 6 buah Jung, itupun hanya untuk kepentingan perdagangan antar pulaunya. Memang pada waktu itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai sudah 4.000 ekor pertahun.
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada 4 pasangan yang dijodohkan, yaitu : Pangeran Hasanudin (Banten) dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi) ; Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor ; Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun ; dan Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa). Perkawinan Sabrang Lor – Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511, pada saat itu ia menjabat sebagai Senapati Sarjawala (Panglima angkatan laut) Kerajaan Demak, sehngga ia untuk sementara berada di Cirebon.
Hubungan Cirebon-Demak pada masa itu menurut versi lain dianggap mencemaskan Sri Baduga di Pakuan, ia mengutus putera mahkota (Surawisesa) menghubungi Panglima Portugis di Malaka, yakni Alafonso d’Albuquerque, ketika itu baru saja Portugis merebut Pelabuhan Pasai. Pada tanggal 21 Agustus 1522 secara resmi Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis. Perjanjian ini di akui dan dikomentasikan sebagai perjanjian internasional pertama di bumi Nusantara.
Upaya Pajajaran melakukan perjanjian dengan Portugis telah meresahkan pihak Cirebon dan Demak. Didalam versi lain yang menghubungkan dengan penyerangan Fadilah Khan ke Kalapa (Jakarta), Pajajaran dianggap salah karena meminta bantuan asing. Padahal Pajajaran sedang mempertahankan kedaulatan wilayahnya. Terhadap versi ini akan menjadi pertanyaan jika diketahui sejarah selanjutnya, yakni ketika Demak menyertakan pasukan Portugis, Banten dan Fadilah Khan (Kalapa) untuk menaklukan Blambangan, Panarukan dan Pasuruan. Dengan demikian menjadi wajar pula ketika ada versi yang menegaskan, bahwa direbutnya Kalapa dari tangan Pajajaran bukan karena masalah penyebaran agama, melainkan suatu bentuk aneksasi dari suatu negara terhadap wilayah negara lain.
Kemudian kisah Surawisesa yang menjadi utusan dalam perundingan dengan Portugis disilokakan didalam Lalampahan Mundinglaya Dikusumah dengan kisah Langlayangan Salaka Domas. Di dalam kisah itu diceritakan Mundinglaya bertemu dengan Guriang, konon sebutan Guriang merupakan siloka bagi orang Portugis yang tinggi besar.
Ketegangan Pakuan dengan Cirebon yang dibantu Demak dan Banten tidak sampai mengakibatkan peperangan, oleh karena itu masing-masing pihak dapat memiliki kesempatan untuk mengembangkan keadaan di dalam negerinya, bahkan kerajaan Pajajaran mencapai puncaknya dan Cirebon menjadi puser penyebaran agama Islam.
Dari penelitiannya Tome Pires (1513) mengetahui wilayah pelabuhan yang termasuk yuridiksi Pajajaran. Ia menyebutkan Banten, Pontang, Cigede, (muara Cidurian), Tamgara (muara Cisadane), Kalapa, Karawang dan Cimanuk, sedangkan Cirebon pada waktu itu telah memisahkan diri. Tapi Pires hanya menyebutkan, bahwa Cirebon termasuk wilayah Demak. Untuk kemudian pembahasan Cirebon ia masukan didalam babnya tentang Jawa. (***).
SURAWISESA
Pasca wafatnya Sri Baduga, kemudian digantikan oleh Surawisesa (1522 – 1535), puteranya dari Kentring Manik Mayang Sunda. Surawisesa dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan kasuran (perwira), kadiran (perkasa) dan kuwanen (pemberani). Selama 14 tahun masa pemerintahannya mengalami 15 kali pertempuran. Penulis Carita Parahyangan menuturkan, sebagai berikut :
Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang di Padaren, Ratu gagah perkosa, teguh jeung gede wawanen.
Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun peperangan teh kakuatan baladna aya sarewu jiwa.
Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung. Perang ka Ancol kiyi. Perang ka Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka Gunungbatu. Perang ka Saungagung. Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka Padang. Perang ka Pagoakan. Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka Pagerwesi. Perang ka Madangkahiangan.
Didalam kisah Pantun dan Babad Surawisesa dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Mundinglaya Dikusumah. Ia memiliki Permaisuri bernama Kinawati yang berasal dari Kerajaan Tanjung Barat, yang terletak di daerah Pasar Minggu sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati, penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan, dahulu bernama Kaung Pandak. Di Muara Beres ini bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Pada jaman dahulu merupakan kota pelabuhan dan berada dititik silang. VOC mencatat tempat ini sebagai daerah yang berjarak satu setengah kali perjalanan dari Muara Ciliwung. Dan diberi nama Jalan Banten Lama atau “oude Bantamsche weg”.
Duta Sunda
Pada tahun 1511 armada Demak sedang berada di Cirebon. Hal ini dianggap mengancam kedaulatan Pajajaran, terutama pasca Cirebon menyatakan diri sebagai negara merdeka yang lepas dari kekuasaan Pajajaran. Oleh karena itu Sri Baduga mengutus putra mahkotanya, yakni Surawisesa untuk mengadakan hubungan dengan Portugis.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan tersebut disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Kisah ini dimuat didalam Pustaka Nusantara III/1. Naskah tersebut sebagai berikut :
Karena itu Sang Prabu Pakuan Pajajaran mengutus putera mahkota yaitu Ratu Sangian atau Prabu Surawisesa. Duta Kerajaan Pajajaran ini menuju ke negeri Malaka. Di sana sang duta menegadakan persahabatan dengan pemimpin (nerpati) orang Portugis yang bernama Laksamana Bungker.
Ia telah berjanji akan selalu membantu Kerajaan Pajajaran bila diserang oleh Pasukan Demak dan Cirebon serta inhgin menjalin hubungan dagang. Setahun kemudian orang-orang Portugis berkunjung ke Pulau Jawa. Jumlah kapalnya 4 buah.
Mereka menginggahi semua pelabuhan yang ada di negeri Sunda, dan sang bule membuat surat kelak ketika sang putra mahkota telah menjadi ratu Sunda dengan gelar Prabu Surawisesa. [RPMSJB, Jilid ke-4, 16].
Surawisesa ketika itu masih menjadi Prabu Anom. Kelak dikemudian hari para penulis babad dan petutur pantun mengisahkan lalampahannya ini di dalam Lalakon Salaka (mungkin sakakala) Domas, dengan nama Munding Laya Dikusumah, sedangkan orang Purtugis digambarkannya sebagai Guriang.
Menurut Tome Pires orang Portugis yang mengikuti pelayaran penjajakan pada bulan Maret – Juni 1513, menyatakan, bahwa pada saat itu Portugis telah berhasil menguasai perairan Malaka.
Dari pihak Demak nampaknya berupaya pula untuk menguasai Malaka dari tangan Portugis, namun serangan yang dilakukan pada tahun 1518 dan 1521 yang dipimpin Sabrang Lor untuk menyerang posisi Portugis di Pasai, mengalami kegagalan, bahkan Sabrang Lor, Sultan Demak kedua gugur. Portugis dapat dikalahkan di Pasai pada tahun 1595, ketika itu pasukan laut Aceh dipimpin Laksamana Malahayati. Sedangkan posisinya di Malaka masih dapat dipertahankan sampai dengan tahun 1641. Pada masa itu Portugis berhasil dikalahkan oleh Kumpeni Belanda.
Pasca berakhirnya pertempuran di Pasai, Surawisesa sebagai duta Sunda untuk kali kedua berkunjung ke Malaka. Disatu sisi, pasca kegagalan menyerang Pasai, kemudian Demak mengalihkan perhatiannya untuk menguasai selat Sunda. Hal ini dilakukan untuk mengamankan kepentingan dagangnya. Namun sulit dipertahankan Sunda, mengingat Sri Baduga pada akhir tahun 1521 wafat dan bantuan Portugis masih belum tiba.
Dipihak Demak telah terjadi suksesi. Pada tahun 1521 dinobatkan Sultan Ahmad Abdul Arifin sebagai sultan Demak yang ketiga. Ia putra ketiga dari Raden Patah yang lahir pada tahun 1483. Ia memperoleh tahta Demak karena Sabrang Lor tidak memiliki putra, maka ia menggantikan kedudukan kakaknya sebagai Sultan Demak.
Menurut salah satu versi Sultan Ahmad Abdul Arifin memperoleh nama Trenggono karena ketika hamil ibunya mengidam untuk pergi ke Trangganu, karena lidah penduduklah kemudian sebutan itu berubah menjadi Trenggono.
Pada tahun 1522 Surawisesa naik tahta. Penobatannya dihadilir oleh pihak utusan pihak Portugis di Malaka. Pada akhir kunjungan tersebut utusan Portugis dengan Pakuan menandatangani perjanjian dengan Pajajaran. Perjanjian tersebut menurut Soekanto (1956) ditandatangai pada tanggal 21 Agustus 1522.
Ten Dam (1957) menganggap bahwa perjanjian itu dibuat secara lisan, akan tetapi sumber portugis yang dikutip oleh Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield” (Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu).
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Pajajaran akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun, untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua costumodos atau + 351 kuintal.
Perjanjian Pajajaran dengan Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggono. Hal ini disebabkan Selat Malaka yang dijadikan pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus.
Trenggono segera mengirimkan armadanya di bawah pimpinan Senapati Demak, yakni Fadilah Khan. Pada saat itu Fadillah Khan telah memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana (Cirebon). Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya, yakni Barkat Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah.
Posisi Fadilah Khan juga sangat kuat, karena ia masih terhitung cucu Sunan Ampel, atau Ali Rakhmatullah. Hal ini dikarenakan buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar, ayah dari Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I).
Barros menyebut Fadillah dengan Faletehan. Hal ini sesuai dengan lafal orang Portugis dalam menyebutkan Fadillah Khan, namun Tome Pinto menyebutnya Tagaril, dari sebutan Ki Fadil. Nama ini julukan sehari-hari dari Fadillah Khan. Nama Fadillah sendiri baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah.
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya, Syarif Hidayat menjadi Bupati Banten pada tahun 1526.
Setahun kemudian Fadillah menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran. Menurut Versi lainnya pada masa itu Kalapa tidak dijaga ketat oleh Legiun Sunda, mengingat jarak Pajajaran dengan Kalapa diperkirakan dua hari (Tome Pires : 1453). Menurut versi lainnya, jarak tempuh dari Ibukota Pakuan ke Kalapa lewat perairan memerlukan waktu dua minggu.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan membawa 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa.
Pada tanggal 30 Juni 1527 di Muara Cisadane De Sa memancangkan padrao dan menjuluki Cisadane dengan nama Rio de Sa Jorge. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah.
Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Pasca Sri Baduga
Setelah Sri Baduga wafat, penguasa Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana atau Walasungsang. Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Ia masih putra Sri Baduga dari Subanglarang, sedangkan Surawisesa putra Sri Baduga dari Kentring Manik Mayangsunda. Dengan demikian keengganan Cirebon unuk menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang, sehingga terjadi pertempuran di wilayah Citarum bagian barat.
Pada masa itu Cirebon mendapat dukungan penuh dari Demak. Pada suatu ketika Cirebon menjadi lemah. Hal ini terjadi pasca kegagalan Demak menyerbu Pasuruan dan Panarukan yang berakibat terbunuhnya Sultan Trenggono. Selain itu di Demak sedang terjadi perebutan, bahkan salah satu putra Syarif Hidayat wafat. Pada masa selanjutnya kedudukan Cirebon terdesak dan terlampaui oleh kejayaan Banten, sedangkan Cirebon berubah menjadi vasal Demak.
Perjanjian dengan Cirebon
Perang Pajajaran dengan Cirebon yang dibantu Banten dan Demak berlangsung 5 tahun, karena pasukan gabungan Cirebon tidak berani naik ke darat, sedangkan dipihak lain Pajajaran tidak memiliki armada laut yang kuat. Cirebon hanya berhasil menguasai kota pelabuhan. Pertempuran Pajajaran dengan Cirebon menurut Carita Parahyangan terjadi 15 kali, berlangsung dari tahun 1526 – 1531.
Di front timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pada tahun 1528 Cirebon pernah dipukul mundur oleh Galuh. Berkat kepemimpinan Pangeran Cakrabuana pada akhirnya pasukan Galuh berhasil dipukul mundur sampai ke Talaga. Didaerah ini pasukan Galuh menghimpun kekuatan.
Cirebon menghentikan sementara serangannya ke Talaga, karena pada tahun 1529 Cakrabuana (Walangsungsang) wafat. Pada tahun berikutnya serangan ke Talaga dilakukan, maka pada tahun 1530 Talaga dapat dikalahkan. Raja Talaga kemudian masuk islam dan Talaga menjadi bawahan Cirebon
Kekalahan Galuh disebabkan kurang matangnya persiapan perang dan minimnya peralatan perang yang dimiliki. Sementara pasukan Cirebon di bantu Demak memiliki pasukan meriam yang jauh lebih efektif dibandingkan pasukan panah Galuh.
Pada peristiwa ini Sumedang telah masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon, Hal ini terjadi pasca dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedanglarang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi, pendiri pesantren pertama di Cirebon. Pangeran Santri dari Sindangkasih dapat menjadi bupati Sumedang Larang karena pernikahan dengan Satyasih, Pucuk Umum Sumedang, bahkan acara syukuran penobatannya dilakukan di Cirebon.
Menurut versi lain, pada tahun 1504 M Pangeran Palakaran menikah dengan seorang putri Sindangkasih. Dari pernikahannya maka pada tahun 1505 M melahirkan seorang putra yang diberi nama Ki Gedeng Sumedang (Pangeran Santri). Tentang putri Sindangkasih atau ibunda Pangeran Santri memang membuahkan beberapa kesimpulan. Apakah Pangeran Santri tersebut putra dari putri Sindangkasih (Rambutkasih) yang tilem, karena tidak mau memeluk agama islam, atau putri dari kerabat putri Sindangkasih ?. Namun masalah ini akan dibahas tersendiri.
Dengan posisi di timur Citarum yang telah dikuasai, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing.
Pada tahun 1531 antara Pajajaran yang diprakarsai Prabu Surawisesa dengan Cirebon yang diprakarsai Syarif Hidayat dilakukan perdamaian, masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka ; sederajat ; dan bersaudara sebagai ahli waris Sri Baduga. Dari pihak Cirebon yang ikut menandatangani naskah perjanjian adalah Pangeran Pasarean, putera mahkota Cirebon ; Fadillah Khan ; dan Hasanudin, Bupati Banten.
Bagi Cirebon, penghentian peperangan tersebut dikarenakan pihaknya telah cukup puas dengan menguasai wilayah pesisir Sunda. Hal ini bertujuan untuk mengamankan jalur perdagangannya dan merebut kota pelabuhan. Sementara bagi Pajajaran berakibat kerugian besar, karena lebih dari separuh wilayah peninggalan Sri Baduga telah hilang. Dengan dukungan pasukan belamati yang setia, Surawisesa masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya di Pakuan.
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, berkesempatan untuk membangun Sunda. Dalam suasana seperti itulah Surawisesa mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang Sri Baduga, ayahnya.
Pada tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia melakukan upacara Srada, yakni upacara untuk menyempurnakan sukma yang harus dilakukan 12 tahun setelah seorang raja wafat. Kemudian membuat Sakakala, tanda peringatan tentang Sri Baduga Maharaja dalam bentuk suatu prasasti, yang sekarang kita kenal dengan sebutan ‘Prasasti Batu Tulis.’
Dalam prasasti dicantumkan Maha Karya ayanya satu persatu, bahkan diakhir kalimat ‘ya siya pun.’ Hal ini untuk menunjukan bahwa benar Sri Baduga lah yang membuat tanda-tanda itu, yakni membuat parit pertahanan di Pakuan ; membuat tanda peringatan berupa gunung – gunungan ; mengeraskan jalan dengan batu membuat (hutan) samida ; membuat telaga Rena Mahawijaya. Ya dialah yang membuat semua itu.
++ Wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebuguru dewataprana diwastu diya dingaran sri baduga maharaja ratu haji pakwan pajajaran sri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa niskala sa(ng) sidamoksa di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu ka(n)cana sa(ng) sidamokta ka nusalarang, ya siya nu nyiyan sakakala ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya siyapun ++ i saka. Panca pandawa e(m)bau bumi ++
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi Astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi Padatala ukiran jejak kaki. Menurut versi lain, pemasangan batu tulis tersebut bertepatan dengan upacara Srada, karena dengan dilaksankannya upacara demikian maka sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Pada tahun 1535 masehi, atau dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai Sakakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Diantara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun.
Ti dinya mulang ka pakwan deui.
Hanteu naunan deui.
Ratu tilar dunya.
Lawasna jadi ratu opatwelas taun.
Sumber Bacaan :
Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor. Sumber : pasundan.homestead.com – Sumber : Salah Dana Sasmita, Sejarah Bogor, 24 September 2008.
Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor, – 1983.
Foto :wikipedia.org/wiki/Berkas:Pakuanpajajaran.jpg
Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
Sumber Bacaan :
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
Yosep Iskandar, Perang Bubat, Naskah bersambung Majalah Mangle, Bandung, 1987.
Yus Rusyana – Puisi Geguritan Sunda : PPPB, 1980
Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor.
pasundan.homestead.com – Sumber : Salah Dana Sasmita, Sejarah Bogor, 24 September 2008.
wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh, 5 April 2010.
Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Sejarah Bogor – bagian 1, Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor – 1983 – di copy dari pasundan.homestead.com
Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Di Kutip dari : GUNUNG SEPUH
akibalangantrang.blogspot.com
Disarikan oleh : Agus Setiya Permana
Dari : berbagai sumber
Poerbacaraka pada tahun 1921 menyebutkan, bahwa istilah Pakuan Pajajaran berasal dari kata istana yang berjajar (“aanrijn staande hoven”). Hal ini dimungkin demikian, mengingat nama tersebut gabungan dari nama ibukota (Pakuan) dengan nama keraton Sri Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati (Pajajaran). Dalam sastra klasik disebut Panca Persada yang berarti lima bangunan keraton, sedangkan di dalam naskah Wangsakerta sering disingkat dengan menyebut Sang Bima atau Sri Bima.
Nama Keraton dan pendirinya diberitakan di dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3 halaman 204 – 2005, sebagai berikut :
Hana Pwanung magadegaknya Pakwan Pajajaran lawan kadatwan Sang Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa (adapun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati adalah Sanh Prabu Tarusbawa).
Nama Keraton di Pakuan tersebut dituliskan didalam berita kropak 406 atau Fragmen Carita Parahyangan. Naskah dimaksud menyebutkan :
Di inya urut kadtwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. / Disiar kahulu Cipakancilan, katimu ku Bagawat Sunda Mayajati, ku Bujangga Sedamanah di baan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa. (Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. / Dicari ke hulu Cipakancilan, ditemukan disana Bagawat Sunda Majayati ; oleh Bujangga Sedamanah di bawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa)
Prasasti Kabantenan, yakni Prasasti yang dibuat dari tembaga dan ditemukan di Bekas, menggunakan nama Pakuan Pajajaran (lengkap), Pakuan (tanpa Pajajaran) dan Pajajaran (tanpa Pakuan). Urang sunda lebih nyaman menggunakan nama Pajajaran untuk nama kerajaan dan nama Pakuan untuk nama ibukota. Pemilihan nama tersebut pada akhirnya digunakan pula oleh para penulis sejarah Sunda.
Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres (1513 M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota kerajaan Sunda disebut dayo (dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta). Menurut Laporan VOC, perjalanan dari bekas benteng Pakuan ke muara Ciliwung tempat benteng VOC memakan waktu dua hari.
Saleh Danasasmita (1983 : 2) menghubungkan asal muasal nama keraton dengan nama kota di mana keraton tersebut berada. Menurutnya : “Nama keraton sering meluas menjadi nama ibu kota, bahkan akhirnya sering menjadi nama negara. Contoh nyata adalah Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat yang sebenarnya nama-nama keraton, sekarang meluas menjadi ibukota dan juga nama wilayah”. (Yoseph Iskandar 2005 : 228).
Di dalam versi lainnya menyebutkan, bahwa penggunaan istilah Pajajaran untuk nama kerajaan Sunda sebenarnya mulai digunakan pada masa Prabu Susuktunggal, ayah mertua Sri Baduga Maharaja. Hal ini dikemukakan didalam tulisan Atja Sasmita dan Edi S. Ekadjati, : “Pada waktu Sang Haliwungan berusia 13 tahun, ia diangkat menjadi rajamuda Sunda, dengan nama abhiseka Prabu Susuktunggal, baginda memerintah di Pakuan Pajajaran”. (Ibid : 229).
Pajajaran dipilih untuk nama kerajaan Sunda di Pakuan dimungkinkan akibat sering terjadi perpecahan dan bersatunya kembali antara kerajaan Sunda dengan kerajaan Galuh, sejak tahun 669 M, ditandai dengan Galuh menyatakan kemerdekaannya, demikian pula pada masa sesudahnya, seperti pada masa Sanjaya, Manarah dan pasca Wastu Kancana, sehingga untuk menghindarkan kesalahan pahaman, seperti masa Tarusbawa memindahkan ibukotanya ke Sundapura, maka dipilihlah nama Pajajaran untuk penerus kerajaan Sunda dengan Galuh tersebut.
Istilah Pajajaran kemudian digunakan pula untuk kisah-kisah di dalam cerita babad dan pantun, bahkan didalam Babad Tanah Jawi, menyebutkan kerajaan Sunda dengan nama Pajajaran. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut :
ing tahun 1433 Sang Ratu Dewa iya Raja Purana, ngadegake kutha anyar aran Pakuan. Karajan iki aran Pajajaran. Tulisan kang ana ing watu kono nerangake manawa Sang Prabu yasa segaran. Pajajaran semune krajan rada gedhe lan ngerehake Cirebon barang.
Pajajaran pada jaman Siliwangi tentunya bukan hanya suatu obrolan ringan, kita pun dapat melayang kealam ketentraman hidup dimana raja dan rakyat hidup sajajar lan ngajajar, raja adil dan rakyat sentosa, murah sandang murah pangan, seperti yang dilantunkan Ki Baju Rambeng, seorang juru pantun dari Bogor.
• Talang tulung keur Pajajaran
• jaman aya keneh kuwarabekti
• jaman guru bumi di pusti-pusti
• jaman leuit tangtu eusina metu
• euweuh nu tani mudu ngijon
• euweuh nu tani nandonkeun karang
• euweuh nu tan paeh ku jengkel
• euweuh nu tani modar ku lapar
(masih mending waktu Pajajaran / ketika masih ada kuwarabekti / ketika guru bumi dipuja-puja / ketika lumbung padi melimpah ruah / tiada petani perlu mengijon / tiada petani harus mati kelaparan / tiada petani harus mati karena kesal / tiada hatus petani mati karena lapar). (***)
LOKASI PAKUAN
Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres (1513 M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota kerajaan Sunda disebut dayo (dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta). Menurut Laporan VOC, perjalanan dari bekas benteng Pakuan ke muara Ciliwung tempat benteng VOC memakan waktu dua hari.
Amir Sutaarga (1966) menguraikan tentang asal nama Pakuan yang merujuk pada pendapat beberapa ahli, seperti Holle, Purbacarakan dan Tendam. Menurut Holle arti kata Pakwa Pajajaran berasal dari kata paku (pohon paku, pakis), sehingga Pakuan Pajajaran akan berarti : “tempat yang ada jajaran pohon-pohon paku”, sedangkan menurut Prof. Poerbacaraka, kata Pakwan sama dengan ‘hof’ (istana, dalam bahasa jawa ‘pakuwon’ artinya tempat kediaman) yang berasal dari kata ‘kuwu’ Pakuwuan (bahasa kawi klasik Pakuwwan) dengan lidah urang sunda Pakuan akhiranya menjadi Pakuwan.
Penafsiran lain dari karangan Tendam, yang menyatakan, bahwa kata paku harus dihubungkan dengan lingga kerajaan yang ada disebelah prasasti Batutulis. Paku dalam arti lingga sesuai dengan penafiran jamannya ketika itu berarti sumbu jagat dan hubungannya memang erat dengan kedudukan raja masa itu, yakni pusat jagat, pusat kosmos di dunia, yang mewakili dewa tertinggi yang jadi pusat jagat. Tendam secara tegas membedakan antara ‘pakwan’ dan ‘kadatwan’. Pakwan berarti ibukota pusat kerajaan yang ada paku-nya, lingganya, sedangkan kadatwan ialah keratonnya. Dan memang Kadatwan di Pakuan memiliki nama, yakni Sri Bima Untarayana Madura Suradipati. Dengan alasan ini maka istilah yang dikemukakan oleh Purbacaraka menjadi tidak lagi dapat digunakan.
Nama keraton di Pakuan ditemukan pula didalam berita kropak 406 atau Fragmen Carita Parahyangan. Naskah dimaksud menyebutkan :
Di inya urut kadtwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. / Disiar kahulu Cipakancilan, katimu ku Bagawat Sunda Mayajati, ku Bujangga Sedamanah di baan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa. (Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. / Dicari ke hulu Cipakancilan, ditemukan disana Bagawat Sunda Majayati ; oleh Bujangga Sedamanah di bawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).
Dari kedua data tersebut dapat disimpulkan bahwa dari masa Tarusbawa sampai dengan abad ke 16 nama Pakuan sudah digunakan untuk menyebutkan nama ibukota Sunda.
Lokasi keraton Pakuan terletak pada lahan lemah duwur – diatas bukit yang diapit oleh tiga batang sungai berlereng curam, yakni Cisadane, Ciliwung (Cihaliwung) dan Cipaku (anak Cisadane). Ditengahnya mengalir Cipakancilan yang ke bagian hulu sungainya bernama Ciawi. Pakuan terlindung oleh lereng terjal pada ketiga sisinya, namun disisi tenggara kota berbatasan dengan tanah datar dan terdapat benteng (kuta) yang paling besar, pada bagian luar benteng terdapat parit yang merupakan bentuk negatif dari benteng tersebut. Tanah galian parit itulah yang diperkirakan untuk dijadikan bahan pembangunan benteng.
Lokasi Pakuan didalam Carita Pantun disebutkan :
Guru sekar anu ngarana Aki Santarupa / anu di Taman Milakancana / sakalereun ginung anu tujuh / beulah wetan ti karaton / sagigireun rada jauh tonggoheunnana / Leuwi Kipataheunana / anu aya di talaga panjang / Talaga Kamala Rena Wijaya (guru sekar yang bernama Aki Santapura / yang ada di Taman Milakancana / sebelah utara gintung yang tujuh / sebelah timur dari keraton / sebelah hulu agak jauh diatasnya / Leuwi Kipatahunan / yang ada di telaga panjang / Telaga Kemala Rena Wijaya).
Pantun itu menginspitrasi Amir Sutaarga untuk menguraikan tentang Pakuan Pajajaran. Konon kabar dihias dengan kraton Sri Bima, telaga panjang Sang Hiyang Talaga Rena Mahawijaya atau Sanghyang Kamala Rena Wijaya, dengan taman Milakancana dekat hutan Songgong tempat punden pusat pemujaan penduduk Pakuan Pajajaran.
Kearah Pakuan Pajajaran dibuat jalan-jalan besar yang dapat dilalui gerobak-gerobak dan beberapa kilometer. ke utara Muaraberes di kali Ciliwung masih ada bekas-bekas dermaga, dan juga di Ciampea, disebelah barat dari Pakuan, di Kali Cisadane semestinya akan dapat ditemukan bekas-bekas peninggalan dermaga atau sistim pertahanan, karena kedua tempat itu adalah batas sungai yang dapat dilayari sampai ke muara Laut Jawa, pintu gerbang menuju pedalaman.
Dari Pakuan ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusa, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwa karta, Sagalaherang, terus ske Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga Kawali dan ke pusat kerajaan Galuh Pakuan disekitar Ciamis dan Bojong Galuh. (Mungkin semacam jalan tol).
Berita-berita VOC
Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. KarenaInggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC (East India Company), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris.
Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai lokasi bekas istana Kerajaan Pajajaran, VOC mengirimkan tiga tim ekspedisi, masing-masing dipimpin oleh Scipio (1687) ; Adolf Winkler (1690) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709).
Scipio pada tahun 1687 memiliki dua catatan penting dari ekspedisinya, yakni perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik Unitex sekarang. Scipio mencatat : Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni. Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit.
Scipio pada tanggal 1 September 1687 M memperoleh keterangan dari anak buahnya, bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran. Dari perjalanannya disimpulkan bahwa ada jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan kesan wajah kerajaan, terutama Situs Batutulis.
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja Jawa [maksudnya Sunda Pajajaran] sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau). Laporan tersebut juga dikaitkan dengan kisah anak buahnya yang mengalami patah tulang leher setelah diterkam harimau, laporan tersebut ia terima pada tanggal 31 Agustus 1687 malem hari.
Penduduk Parung Angsana menghubungkan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau penjaga ‘singgasana raja Pajajaran’. Penulis RPMSJB menafsirkan, bahwa laporan dan peristiwa ini yang akhirnya memunculkan mitos tentang hubungan Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau. Selanjutnya disebutkan pula bahwa raja Pajajaran tilem, sedangkan prajuritna berubah wujud menjadi harimau.
Laporan Scipio tersebut menggugah para pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian atau pada tahun 1690 masehi dibentuk kembali team ekspedisi terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur. Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Kapiten Winkler.
Winkler dari hasil ekspedisi melaporkan perjalannya seperti Scipio yang bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan, melewati jalan besar, Scipio menyebutnya ‘twee lanen’. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku, namun hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak (dediepe dwarsgragt van Pakowang) yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.
Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks Unitex itu pada jaman Pajajaran merupakan Kebun Kerajaan. Tajur adalah kata Sunda kuno yang berarti tanam, tanaman atau kebun. Tajur Agung sama artinya dengan Kebon Gede atau Kebun Raya. Sebagai kebun kerajaan.
Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya. Dari Tajur Agung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak pada tahun 1709 dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku Tulus Rejo, sekarang). Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama sebelum pindah ke Sekip dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawang Gintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantar Peuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon Gintung.
Di sekitar Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan 7 batang pohon beringin.
Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca (Purwa Galih), maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh Gang Amil.
Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Bale Kambang (rumah terapung), yang biasanya digunakan untuk bercengkrama raja. Contoh Bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali. Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jl. Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan benteng batu yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara).
Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang. Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa Istana Pakuan itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8½ baris, disebutkan demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup. Winkler menyebut kedua batu itu stond (berdiri). Jadi setelah terlantar selama kira-kira 110 tahun, sejak Pajajaran burak bubar/hancur oleh pasukan Banten pada tahun 1579, batu-batu itu masih berdiri dan masih tetap pada posisi semula.
Winkler dari tempat prasasti menuju ke tempat arca, pada penduduk menyebutnya Purwakalih, pada tahun 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih. Di sana terdapat 3 buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian pada tahun 1862 disadur dalam bentuk pupuh. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara Kabuyutan Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad Pajajaran, Pohon Campaka Warna terletak tidak jauh dari alun-alun.
Dari Naskah Kuna
Dalam kropak, tulisan pada lontar atau daun nipah yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan.
Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. :
Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa jeung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.
(Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai (dibangun) lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. dicari ke hulu Cipakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).
Dari sumber kuno tersebut dapat diketahui, bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari hulu Cipakancilan. Hulu Cipakancilan terletak dekat lokasi kampung Lawang Gintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Cipakancilan. Juru pantun kemudian menerjemahkan menjadi Cipeucang, yang artinya sama (Peucang = Kancil).
Hasil Penetian
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan cetakan tangan untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada 4 orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya C.M. Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.
Hasil penelitian Pleyte yang dilakukan pada tahun 1903 dipublikasikan pada tahun 1911. Dalam tulisannya ia menyebutkan angka tahun yang tertera pada batu tulis (Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg). Pleyte menjelaskan :
“Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjarans koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten” (Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih dipercayai menunjuk kampung Batutulis yang sekarang sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran, masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).
Sedikit kotradiksi dari Pleyte adalah pertama ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, akan tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas Dalem Kitha (Jero kuta) dan Jawi Kitha (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah kota dalam dan kota luar. Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.
Peneliti lain seperti Ten Dam menduga, letak keraton tersebut terletak di dekat kampung Lawang Gintung, bekas Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang oleh data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa Leuwi Sipatahunan yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ciliwung dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasih, leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi oleh puteri-puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari Leuwi Sipatahunan itu.
Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen Cakrabirawa (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama Mila Kencana. Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan.
Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawang Gintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini Kuta Maneuh.
Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler yang berkunjung ke Batutulis pada tanggal 14 Juni 1690. Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata paseban dengan 7 batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas balay yang lama.
Penelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang Saketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, Lawang Saketeng berarti porte brisee, bewaakte in-en uitgang (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawang Saketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.
Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Cipakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang di jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara jalan Suryakencana dengan jalan Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi, bekas pondasi benteng. Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ciliwung.
Deretan kios dekat simpangan jalan Siliwangi – jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyiang jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus jalan Siliwangi, di sini dahulu terdapat gerbang, terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.
Di Kampung Lawang Gintung, benteng ini bersambung dengan benteng alam yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Cipakancilan memisahkan ujung benteng dengan benteng pada tebing Kampung Cincaw.(***)
KEMBALI KE PAKUAN
Wastu Kancana wafat pada tahun 1475. Untuk menjaga keseimbangan wilayah Sunda, kerajaan dipecah dua, yakni Sunda Galuh yang berpusat di Keraton Surawisesa diperintah oleh Ningrat Kencana dengan gelar Prabu Dewa Niskala sedangkan Sunda Pakuan yang berpusat di Keraton Sri Bima diperintah oleh Sang Haliwungan dengan gelar Prabu Susuktunggal.
Para pewaris Wastu Kancana menurut Atja dan Ekadjati (1989 : 142), sebagai berikut :
“Setelah ayahnya wafat Prabu Susuktunggal menjadi raja di Pakuan Pajajaran yang berdiri sendiri, hingga tahun 1482 Masehi. Dengan demikian baginda berkuasa 100 tahun lamanya. Ia wafat pada usia 113 tahun”, sedangkan Dewa Niskala, didalam buku yang sama dijelaskan, bahwa : “Prabu Niskala Wastu Kancana, pada tahun 1371 menikah dengan Dewi Mayangsari, putri bungsu Prabu Suradipati (Bunisora), putri itu baru berusia 17 tahun. Salah seorang putranya ialah Sang Ningratkancana. Pada usia 23 tahun dinobatkan menjadi raja wilayah Garut dengan nama abhiseka Prabu Dewaniskala. Baginda menjadi rajamuda pada ayahnya hingga 1475 masehi”. (Iskandar – hal. 230).
Politik keseimbangan dengan cara pembagian kekuasaan telah berhasil melakukan stabilitas wilayah Sunda, terutama ada keterwakilan unsur Galuh dengan Sunda yang di posisikan sejajar. Hubungan kekerabatan para keturunan Wastu Kancana pada generasi berikutnya semakin kuat, ditandai dengan jalinan perkawinan Jayadewata, putra Dewa Niskala dengan Kentring Manik Mayang Sunda, putri Susuktunggal. Hubungan perkawinan dilakukan juga oleh para keturunan Sang Bunisora dengan keturunan Wastu Kencana. Dua orang putra Wastu Kancana menikah dengan putri Giri Dewata alias Gedeng Kasmaya putra Sulung Bunisora yang menikah dengan Ratya Kirana puteri Ganggapermana raja daerah Cirebon Girang. Oleh karena itu Gedeng Kasmaya dapat menjadi penguasa Cirebon mewarisi tahta dari mertunya.(RPMSJB Jilik ketiga, hal 50).
Suksesi dan Penyatuan Wilayah
Kisah penyatuan kembali kerajaan Sunda dengan Galuh (Kawali) warisan Wastu Kancana tidak terlepas dari adanya peristiwa di Kawali. Pada masa tersebut, tahta Sunda di Kawali diwariskan kepada Dewa Niskala, dan ia di anggap ngarumpak larangan (tabu) yang berlaku di keraton Galuh. Mungkin pada waktu itu hukum adat di Sunda mengkatagorikannya pada pelanggaran moral. Padahal persoalan moralitas di wilayah Sunda Galuh mendapat sorotan yang serius, bahkan dapat mewarnai perubahan jalannya sejarah Sunda. Hal ini nampak dari kisah Smarakarya Mandiminyak (Amara) dengan Pwah Rababu, istri Sempakwaja yang membuahkan perebutan tahta Galuh. Kisah selanjutnya adalah Kisah Dewi Pangrenyep. Didalam versi cerita tradisional, seperi pantun dan babad, kisah ini diabadikan didalam lalakon Ciung Wanara. Demkian pula didalam kisah Dewa Niskala yang dianggap ngarumpak tabu keraton dengan cara menikahi putri hulanjar dan sekaligus istri larangan (Wanita terlarang).
Dari contoh kisah diatas dapat disimpulkan, bahwa keraton Galuh memiliki tradisi yang sangat menghormati moralitas, pada masa itu diatur dalam suatu bentuk etika hidup dan kenegaraan, yang disebut Purbatisti – Purbajati, bahkan memiliki sanksi yang tegas, dikucilkan dari lingkungan atau diturunkan dari tahtanya.
Keyakinan dan ketaatan Keraton Galuh demikian menjadikan suatu hal yang lumrah ketika nyusud kagirangna, karena Cikal Bakal Galuh adalah Kendan yang didirikan oleh Resi Manikmaya, resi sekaligus penguasa. Para keturunan Galuh dalam periode berikutnya menciptakan keseimbangan dengan membentuk negara Galunggung sebagai negara agama (kabataraan) yang memiliki kekuatan untuk mengontrol perilaku penguasa Galuh. Ketaatan Galuh terhadap Galunggung nampak pula ketika masa Demunawan menginisiasi Perjanjian Galuh, sehingga wajar ketika Dewa Niskala dipaksa untuk mengundurkan diri karena dianggap ngarumpak larangan.
Penulis Carita Parahyangan dan Siksa Kandang Karesyan mendifiniskan tentang Istri larangan (istri yang terlarang untuk dinikahi oleh keluarga Galuh), pada masa itu ada tiga katagori, yakni (1) gadis atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya diterima, gadis atau wanita terlarang bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu, (2) Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat, dan (3) ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut. (Ekadjati – 2005 : hal.196). Kecuali istri larangan dalam katagori (1) dan (3) sampai saat ini masih diyakini masyarakat sebagai sesuatu yang harus dihindari, sedangkan yang temasuk katagori (2) sudah sangat luntur, bahkan didalam hukum negara saat ini perkawinan antar bangsa, antar suku dan antar agama bukan lagi merupakan sesuatu yang tabu.
Peristiwa Dewa Niskala didalam sejarah resmi sangat terkait pula dengan eksodusnya keluarga Keraton Majapahit ke Kawali, pasca huru hara di Majapahit yang menjatuhkan Brawijaya V. Pada masa tersebut Majapahit mendapat serangan beruntun dari Demak dan Girindrawardana. Keluarga keraton Majapahit mengungsi ke Pasuruan, Blambangan dan Supit Udang, namun tak kurang pula yang mengungsi ke Kawali disebelah barat Majapahit.
Kisah pelarian keluarga keraton Majapahit yang menuju wilayah Galuh tiba di Kawali. Mereka dipimpin oleh Raden Baribin, saudara seayah Prabu Kretabhumi. Mereka disambut dengan senang hati oleh Dewa Niskala. Raden Baribin kemudian di jodohkan dengan Ratu Ayu Kirana, putri Prabu Dewa Niskala. Namun Dewa Niskala dianggap ‘ngarumpak larangan’ karena menikahi seorang rara hulanjar dan istri larangan (wanita terlarang) dari salah satu rombongan para pengungsi. Rara hulanjar sebutan untuk wanita yang telah bertunangan. Masalah hulanjar sama halnya dengan aturan di Majapahit, yakni perempuan yang masih bertunangan dan telah menerima Panglarang, tidak boleh diperistri kecuali tunangannya telah meninggal dunia atau membatalkan pertunangannya.
Pernikahan Dewa Niskala dengan hulanjar atau istri larangan, serta akibat dari perbuatannya diabadikan oleh penulis Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung tiga. Lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe larangan ti kaluaran.
Hal yang sama dituliskan pula di dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa 1 sarga 3, sebagai berikut :
• //sang ningrat kancana / a-
• Thawa prabhu dewa niskala/
• Madeg ratu ghaluh pakwan
• Ing (1397-1404) ikang ca-
• Kakala//lawasnya/pitung warca/
• Mapan sira kawilang sang sa-
• Lah mastri lawan wanodya
• Sakeng wilwatikta/
(Sang Ningrat Kancana atau Prabu Dewa Niskala, menjadi ratu Galuh Pakuan pada tahun 13897-1404. Lamanya 7 tahun. Karena ia terhitung bersalah memperistri gadis [hulanjar] dari Majapahit) [Yoseph Iskandar – hal 321].
Prabu Susuktunggal merasa bahwa keraton Surawisesa telah dinodai, sehingga mengancam untuk memutuskan segala hubungan kekerabatan dengan Galuh. Ancaman demikian tidak berakibat menakutkan jika disampaikan oleh kerabat biasa, namun lain halnya jika disampaikan oleh seorang raja Sunda yang sederajat dengan Dewa Niskala, sehingga wajar jika kemudian terjadi ketegangan.
Prabu Susuktunggal didalam kisah dan versi lain memang tak ada ‘cawadeun’, bahkan penulis Carita Parahyangan memiliki kesan yang sangat baik, ia mencatatkan sebagai berikut :
Enya kieu, mimiti Sang Resi Guru boga anak Sang Haliwungan, nya eta Sang Susuktunggal nu ngomean pakwan reujeung Sanghiang Huluwesi, nu nyaeuran Sanghiang Rancamaya. / Tina Sanghiang Rancamaya aya nu kaluar. / “Ngaran kula Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiang banaspati.” / Sang Susuktunggal, enya eta nu nyieun pangcalikan Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja, ratu pakwan Pajajaran. Nu kagungan kadaton Sri bima – untarayana madura – suradipati, nya eta pakwan Sanghiang Sri Ratudewata. / Titinggal Sang Susuktunggal, anu diwariskeunana tanah suci, tanah hade, minangka bukti raja utama. / Lilana ngadeg ratu saratus taun.
Ketegangan diantara kedua keturunan Wastu Kancana itu berakhir ketika para pemuka kerajaan mendesak keduanya untuk mengundurkan diri. Sebagai bentuk kompromi keduanya harus menyerahkan tahtanya kepada Jayadewata, yakni putra Dewa Niskala dan sekaligus menantu Susuktunggal. Pada masa itu Jayadewata telah menduduki jabatan sebagai Putra Mahkota Galuh, sedangkan di Sunda diangkat sebagai Prabu Anom.
Adnya peristiwa tersebut mengandung hikmah yang cukup besar, karena peristiwa ini maka pada tahun 1482 M kerajaan Sunda warisan Wastu Kencana bersatu kembali dibawah pemerintahan Jayadewata, cucunya, dengan sebutan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.
Dari Kawali ke Pakuan.
Jayadewata pasca dinobatkan sebagai raja Sunda kemudian mengalihkan pusat pemerintahannya dari Kawali ke Pakuan. Sumber utama tentang masalah ini ditegaskan didalam prasasti Kabantenan dan Batutulis Bogor.
Saleh Danasasmita (1981-1984) menterjemaahkan Prasasti Bogor, sebagai berikut :
OO wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu / diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diyadingan sri / baduga maharaja ratu haji pakwan pajajaran sri sang ratu de- / wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa nis- / kala sa(ng) sidamoka di gunatiga, i(n)cu rahyang niskala wastu / ka(n)cana sa(ng) sidamoka ka nusa larang, ya siya nu nyiyan sakaka- / ia gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghayang talaga / rena mahawijaya, ya siya pun OO i saka, pan- / dawa (m) bumi OO [Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana; dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewata Niskala yang mendiang ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya, Ya dialah (yang membuat semua itu). (Dibuat dalam (tahun) 1455.].
Jika dicermati dari Prasasti Bogor, Jayadewata diistrenan sebagai raja Sunda dua kali, yakni di Kawali dengan gelar Prabuguru Dewataprana dan di Pakuan dengan gelar Sri Baduga Maharaja. Berita yang sama di muat dalam naskah Pustaka Negara Kretabhumi parwa 1 sarga 4 halaman 47, sebagai berikut :
Raja Pajajaran winstwan ngaran Prabhuguru Dewata prana muwah winastwan ngaran Cribaduga Maharaja Ratuhaji ing Pakwan Pajajaran Cri Sang Ratu Dewata putra ning Rahiyang Dewa Niskala Wastu Kencana. Rahyang Niskala Wastu Kancana putra ning Prabhu Maharaja Linggabhuanawicesa. [Raja Pajajaran dinobat kan dengan gelar Prabhuguru Dewataprana dan dinobat kan lagi dengan gelar Sri Baguga Maharaja Ratuhaji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, putra rahiyang Niskala Wastu Kancana. Rahiyang Niskala Wastu Kancana putra Prabu Maharaja Linggabuanawisesa]. (Iskandar, hal. 226).
Dari dua kali peristiwa pengangkatan Jayadewata tentu membuahkan tandatanya, namun dapat terjawabkan jika diketahui bahwa Jayadewata sebelum diistrenan jadi raja Sunda ia menyandang gelar (jabatan) Putra mahkota (rajaputra) di Galuh dan Prabu Anom di Pakuan. Gelar putra mahkota karena memang ia putra dari Dewa Niskala sedangkan Prabu Anom karena ia menikah dengan rajaputri Pakuan, putrinya Prabu Susuktunggal, yakni Kentring Manik Mayang Sunda.
Kisah pengangkatan di dua kerajaan tersebut adalah suatu bentuk kompromi yang tekait dengan ketegangan penguasa Galuh dengan Sunda. Hal tersebut diinisiasikan oleh para pemuka kerajaan untuk menjaga harmoni antara Galuh dengan Sunda. Kisah pelantikan Jayadewata di abadikan dalam Carita Ratu Pakuan yang disusun oleh Kai Raga dari Srimanganti (Cikuray).
Alasan pemindahan ibukota Sunda ke Pakuan sampai sekarang belum banyak di kupas secara khusus, padahal Jayadewata lebih kental berdarah Kawali, karena ia putra Dewa Niskala. Namun alasan pemindahan pusat pemerintahan ke Pakuan diuraikan didalam beberapa versi, yakni Pertama karena Jayadewata telah sering tinggal di Pakuan untuk mewakili mertuanya, sehingga ia lebih familier melaksanakan tugas pemerintahannya dari Pakuan. Kedua adanya upaya Jayadewata untuk lebih mengakrabkan dirinya dengan kerabat Pakuan, yakni dari pihak mertuanya. Ketiga Susuktunggal dianggap jauh lebih berwibawa dibandingkan Dewa Niskala dan lebih dihargai oleh masyarakat Sunda. Keempat perkembangan kota Pakuan pada masa itu dianggap lebih maju dibandingkan Kawali. Sama halnya ketika masyarakat memilih Sunda untuk menyebutkan gabungan entitas Sunda dengan Galuh.
Jayadewata bertahta memerintah wilayah kerajaan Sunda (Galuh dan Sunda, kemudian disebut Pajajaran) pada tahun 1404 sampai dengan 1443 saka, atau pada tahun 1482 sampai dengan 1521 masehi. Pajajaran dimasa pemerintahannya mencapai puncaknya. Menurut penulis Carita Parahyangan : “disebabkan (Sri Baduga Maharaja) melaksanakan pemerintahannya berdasarkan purbatisti purbajati, (sehingga) tidak pernah kedatangan musuh kuat atau musuh halus. Tentram disebelah utara, selatan, barat dan timur”. Cag Heula. (***)
SRI BADUGA MAHARAJA
Jayadewata bertahta memerintah wilayah kerajaan Pajajaran pada tahun 1404 sampai dengan 1443 saka, atau pada tahun 1482 sampai dengan 1521 masehi, jika mengacu kedalam tulisan Amir Sutaarga sejak tahun 1474 – 1513 masehi. Hal tersebut ia cantumkan dalam tulisannya, tentang Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513.
Jayadewata sebelum bertahta sebagai raja Pajajaran ia menyandang predikat Putra Mahkota di Kawali dan Prabu Anom di Pakuan, karena ia putra raja Sunda Kawali (Dewa Niskala), dan sekaligus menantu raja Sunda Pakuan (Prabu Susuktunggal).
Didalam Babad Tanah Jawi dijelaskan :
ing tahun 1433 Sang Ratu Dewa iya Raja Purana, ngadegake kutha anyar aran Pakuan. Karajan iki aran Pajajaran. Tulisan kang ana ing watu kono nerangake manawa Sang Prabu yasa segaran. Pajajaran semune krajan rada gedhe lan ngerehake Cirebon barang.
Penulis Carita Parahyangan menujukan keberadaan sebagai pengganti Wastu Kancana. Kisah tersebut menyebutkan pula tentang eksistensinya, sebagai berikut :
Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilu puluh salapan taun. / Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
Jayadewata memiliki banyak gelar, diantaranya gelar Sri Baduga Maharaja Ratu (H)aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Di Jawa Barat Sri Baduga lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Menurut Pangeran Wangsakerta, : hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.
“Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”.
Pemberian nama Siliwangi menurut tradisi lama dikarenakan orang segan (teu wasa) atau tidak sopan (belegug) menyebut nama raja yang dihormatinya sesuai dengan nama sesungguhnya, sehingga juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Nama Siliwangi selanjutnya dikenal pula sebagai tokoh sastra, seperti yang tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun, ditulis pada tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup.
Kisah Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah perjalanan Pamanahrasa atau Siliwangi menjadi raja di Pakuan. Namun memang ada beberapa hal yang perlu ditafsirkan mengingat sangat syarat dengan simbol-simbol, seperti penyebutan Sumedang Larang sebagai muasalnya dan menempatkan Anggalarang sebagai raja di Sumedang Larang.
Alasan lain tentang penyebutan Siliwangi menurut Wangsakerta karena dalam hal kekuasaan ia setingkat dengan Prabu Wangi (Linggabuana) dan Prabu Wangisuta (Wastu Kancana). Di dalam naskah Kertabahumi 1/5 h. 22/23 ditegaskan, :
“Cri Baduga Maharaja atyantakaweh yasa nira ring nagara Sunda. Swabhawa Matangyan sira pramanaran Prabu Ciliwangi mapan sira sumilihaken kacakrawrtyan Sang Prabhu Wangi ya ta sang mokteng Bubat lawan Sang Prabhu Wangisuta ya ta sang mokteng Nusalarang”
(Sri Baduga Maharaja sangat banyak jasanya terhadap negeri Sunda. Kekuasaanya seolah-olah tidak berbeda dengan Sang Prabu Maharaja yang gugur di Bubat. Itulah sebabnya ia digelari Prabu Siliwangi karena menggantikan pemerintahan Sang Prabu Wangi yaitu yang gugur di Bubat dan Sang Prabu Wangisuta yaitu mendiang di Nusa Larang) [RPMSJB, Jilid Keempat, h. 3]
Tokoh Cerita Sastra
Jayadewata dalam kapasitasnya sebagai Siliwangi dikenal melalui cerita sastra, baik melalui nyanyian anak-anak yang lengkap dengan kejayaannya di Pajajajaran maupun dalam sirsilah keluarga menak, cerita babad, pantun dan wawacan. Kisah dan kebesaran Siliwangi didalam cerita ini terkenal jauh sebelum ditemukannya prasasti Batu Tulis dan Kebantenan, sehingga penfsiran bahwa sejarah Sunda merupakan rekaan Belanda menjadi tidak beralasan.
Menurut Holle (1867 : 457), didalam naskah kuna yang bernama Siksa Kandang Karesyan menyebutkan beberapa caerita pantun, yaitu Angga Larang, Babakcatra, Siliwangi dan Haturwangi. Naskah ini diberi candra sangkala nora catur sagara wulan atau sama dengan angka 1440 Saka atau tahun 1518 masehi. (Sutaarga, 1966 : 15). Naskah dan candra sangkala ini menunjukan, penokohan Siliwangi sudah dilakukan ketika masa Siliwangi masih jumeneng. Namun sayangnya, cerita-cerita pantun yang judulnya tercantum dalam naskah Siksa Kandang Karesyan tersebut saat ini tidak lagi ditemukan, kecuali hanya berupa cerita Pantun, itu pun hampir punah ditelan jaman.
Tentang biografi Siliwangi sampai saat ini baru ditemukan beberapa naskah yang disimpan di Museum Pusat – Jakarta yang ditulis pada pertengahan abad 19, yakni Babad Pajajaran lima jilid yang ditulis dalam bahasa dan tulisan jawa dari pertengahan abad 19 dan naskah Ceritera Prabu Anggalarang yang ditulis dalam bahasa latin, berasal dari Ciamis.
Amir Sutaarga (1966 : 17) secara singkat menguraikan tentang wawacan dan naskah-naskah tersebut, namun tidak dapat ditampilkan dalam bahasan ini, mengingat pada panjangnya tulisan tersebut. Judul tulisan yang tertera dalam buku itu berjudul (1) Ceritera Prabu Anggalarang ; (2) Babad Siliwangi ; (3) Babad Pajajaran dan (4) Wawacan Cariosan Prabu Siliwangi. (ibid, hal 22).
Kesejarahan Siliwangi dari Ceritra, Wawacan dan Babad dapat disimpulkan, sebagai berikut : (1) Prabu Siliwangi putra Prabu Wangi atau Prabu Anggalarang (2) Prabu Siliwangi telah mengalami kisah hidup dan keprihatinan (3) Prabu Siliwangu dianggap berparas elok dan berwatak baik (4) Prabu Siliwangi banyak melakukan peperangan dan perkawinan politis sehingga dapat mengkonsolidasikan Pajajaran (5) Prabu Siliwangi tidak menggantikan langsung Prabu Anggalarang, melainkan melalui kepala pemerintahan perantara [mungkin juga istilahnya raja panyelang] (6) Prabu Siliwangi didalam wawacan Sulanjana dijadikan mitos padi dan lambang kesuburan di Sunda.
Penyusunan naskah babad, wawacan dan karya sastra yang dibuat pada jaman dan daerah yang berbeda tentunya juga akan sangat berpengaruh terhadap munculnya perbedaan dalam menyusun sirsilah Siliwangi. Seperti nampak perbedaan sirsilah yang dimuat dalam Babad Pajajaran dan Babad Galuh. Tidak heran jika dikemudian hari muncul perdebatan tentang siapa Siliwang tersebut, bahkan sulit dibedakan antara Prabu Wangi ; Prabu Wangisuta ; dan Prabu Siliwangi sendiri.
Banyak para menak jaman baheula yang menyusun sirsilah keluarganya dengan mengaitkan nama Siliwangi. Hal ini mudah di pahami mengingat Siliwangi memiliki banyak keturunan, dari istri-istri putri para penguasa daerah. Selain hal tersebut, terutama hubungannya dengan masalah politik, pada jaman Belanda siapapun yang dapat menjadi penguasa daerah (bupati) di tatar Sunda haruslah berdarah biru, keturunan menak Pajajaran, alias keturunan Prabu Siliwangi. Salah satu contoh sirsilah ini dimuat didalam Kropak 421, salah satu cuplikannya, sebagai berikut :
Punika Prabu Siliwangi, Puputra Mundingsari Ageung, / Puputra Mundingsari Leutik, / Puputra Raden Panglurah, / Puputra Sunan Dampal, / Puputra Sunan Genteng, / Puputra Wanaperih, / Puputra Sunan Ciptarengga, / Puputra Satonga Asta, / Puputra Eyang Wargasita / Saderekna Ki Enjot Nayawangsa, / Ki Entol Panji, / Sadulurna Nyi Asta, / Ki Dipati Talaga, / Ki Arya Saringringan, / Ki Mas Yudamardawa, / Ki Mas Badapati, / Ki Mas Wangsakusumah / ……. (Sudarsa dan Edi : 2006).
Sirsilah Prabu Siliwangi saat ini banyak merujuk dan menggabungkan pada naskah Carita Parahyangan ; Pararathon (Brandes 1920 : 36-37) dan Sejarah Banten (Djajadiningrat 1913 : 90 dan 1318). Ketiga naskah tersebut bertolak dari masa perang bubat (1279 saka/1357M) sampai dengan burakna Pajajaran (1501 saka/1579 M). Sirsilah tersebut telah beberapa kali di uji coba melalui cara membandingkan dengan prasasti yang ditemukan. Menurut Amir Sutaarga (1966), sirsilah tersebut, sebagai berikut :
1 1350 – 1357 Prabu Maharaja
2 1357 – 1363 Masa Peralihan Hyang Bunisora
3 1363 – 1467 Prabu Niskala Wastu Kancana
4 1467 – 1474 Rahiyang Dewa Niskala
5 1474 – 1513 Sri Baduga Maharaja
6 1513 – 1527 Prabu Surawisesa
7 1527 – 1535 Prabu Ratu Dewata
8 1535 – 1543 Sang Ratu Saksi
9 1543 – 1559 Prabu Ratu Carita
10 1559 – 1579 Nu Sia Mulya atau Prabu Seda
Memindahkan Ibukota
Jayadewata sampai pada tahun 1482 masih memusatkan kegiatan pemerintahannya di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 – 1482 adalah Jaman Sunda Kawali, selanjutnya pemerintahan di pindahkan ke Pakuan, bertepatan dengan diistrenannya Jayadewata sebagai raja Sunda di Pakuan.
Khusus kekuasaannya di Pakuan, jika mengacu kedalam tulisan Amir Sutaarga sejak tahun 1474 – 1513 masehi. Hal tersebut ia cantumkan dalam tulisannya, tentang Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513.
Pajajaran pada masa Jayadewata memiliki luas melebihi luas jawa barat sekarang. Menurut naskah Bujangga Manik sampai ke tungtung Sunda (Tegal, Cipamali) dan daerah Banyumas (Pasir Luhur) atau bekas kerajaan Pasir.
Pada masa itu Raden Banyakcatra, atau Kamandaka, putra Siliwangi diangkat mantu oleh raja Pasir dan menurunkan raja-raja Pasir. Hal ini dapat dibuktikan dari babad Pasir (Kenbel, 1900), namun sekarang nama-nama yang berkonotasi Sunda sudah mulai berubah, dan berangsur-angsur diganti dengan kata-kata Jawa.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali. Penobatan yang pertama dilakukan ketika menerima Tahta Galuh dari ayahnya, Prabu Dewa Niskala, kemudian bergelar Prabu Guru Dewataprana, kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunggal. Adanya peristiwa demikian menyebabkan ia secara praktis menguasai seluruh tatar Sunda dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Urang Sunda sering pacaruk untuk membedakan Prabu Siliwangi dengan Prabu Wangi atau Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di Bubat. Urang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana.
Di dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah ‘seuweu’ Prabu Wangi atau putra Prabu Wangi, sedangkan Sri Baduga atau Siliwangi adalah putra Wastu Kancana. Mengapa Dewa Niskala, ayah Sri Baduga dilewati ?. Padahal ia pun dikisahkan di dalamnya. Hal ini dikarenakan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh, sedangkan Sri Baduga memiliki kekuasaan yang sama dengan Wastu Kancana, dengan demikian maka Sri Baduga dianggap sebagai penerus langsung dari tahta Wastu Kancana.
Alasan diatas dikemukakan juga di dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/4, bahwa : ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja, sama seperti kakeknya, Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh.
Didalam membahas tentang Prabu Siliwangi Amir Sutaarga (1965) mengutarakan, Sri Baduga dianggap sebagai “silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). “Silih” dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.
Pada masa pemerintahan Sri Baduga kerajaan Pajajaran mencapai masa keemasan. Penulis Carita Parahyangan menjelaskan sebab-sebabnya, yakni :
“Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa” (disebabkan melaksanakan pemerintahan yang berdasarkan purbatisti purbajati, tidak pernah kedatangan musuh kuat atau musuh halus. Tentram disebelah utara, selatan, barat dan timur).
Tentang Sri Baduga didapatkan pula berita dari naskah luar, seperti yang dicatat oleh Tome Pires yang ikut dalam perjanjian antara Pajajaran dengan Portugis. Ia mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar : “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Selain laporan tersebut, didalam Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18, ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab, pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila Sri Baduga diabadikan kebesarannya oleh para penggantinya dan rakyat Sunda dari masa kemasa.
Tentang kesuburan Pajajaran pada masa Siliwangi dilantunkan Ki Baju Rombeng seorang Juru Pantun dari Bogor Selatan, yang hidup pada awal ke 20 menuturkan :
Talang tulung keur Pajajaran / jaman aya keneh kuwarabekti / jaman guru bumi di pusti-pusti / jaman leuit tangtu eusina metu / euweuh nu tani mudu ngijon / euweuh nu tani nandonkeun karang / euweuh nu tan paeh ku jengkel / euweuh nu tani modar ku lapar.
(masih mending waktu Pajajaran / ketika masih ada kuwarabekti / ketika guru bumi dipuja-puja / ketika lumbung padi melimpah ruah / tiada petani perlu mengijon / tiada petani harus mati kelaparan / tiada petani harus mati karena kesal / tiada hatus petani mati karena lapar). (***)
KEJAYAAN PAKUAN
Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan. Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga atau Siliwangi adalah raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran masyarakat.
Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan, yakni menjalankan nilai-nilai Purbatisti – Purbajati.
“Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa”.
Hal ini sejalan dengan tulisan Tome Pires didalam The Suma Oriental, tentang The Kingdom of Sunda is justly geverned – Raja Sunda memerintah secara adil.
Mahakarya dari Sri Baduga diuraikan pula di dalam naskah Pustaka Kertabumi I/2. Naskah versi Cirebon ini menyebutkan, bahwa :
Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan. (RPMSJB, Jilid keempat, hal. 9).
Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun tak kurang yang musnah termakan jaman.
Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan ; membuat Talaga Maharena Wijaya ; memperteguh ibu kota ; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan, memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan.
Pendidikan
Pembangunan yang berhubungan dengan Pendidikan pada dasarnya memadukan pembangunan watak (jati diri) dan kesejahteraan umum. Hal ini dituliskan di dalam Prasasti Kabantenan yang dibuat atas perintah langsung Sri Baduga. Saat ini baru ditemukan 4 buah keputusan yang tertera didalam 5 lempeng tembaga. Keputusan tersebut menyangkut masalah penentuan batas Kabuyutan dan pembebasan pajak (RPMSJB, Jilid keempat, hal. 4).
Menurut Holle, isi ringkasnya dapat diutarakan sebagai berikut :
Prasasti 1 Penetapan batas lemah dasawasasana (tanah kabuyutan) di Sundasembawa
Prasasti 3–4 Penetapan batas dayeuh Jayagiri dan dayeuh Sunda Sembawa dan keputusan pembebasan pajak ;
Prasasti 5 Pengukuhan status lemah dasawasasana di Sunda Sembawa.
Prasasti 1, 2 dan 5 berupa piteket (keputusan langsung), sedangkan Prasasti 3 dan 4 berisi tentang sakakala (tanda peringatan). Khusus untuk Prasasti 3, 4, 5 akan dibahas tersendiri mengingat para akhli menganggap prasasti ini mencerminkan tentang kepribadian Sri Baduga.
Prasasti 3 dan 4 menjelaskan :
//o// ong awignamastu, nihan sakakala ; rahyang nikala wastu kancana pun, turunka rahyang ningrat kancana, maka nguni ka susuhunan ayeuna di pakuan pajajaran pun mulah mo mihape
Dayeuhan di jayagiri, deung dayeuhan di su(n)da sembawa, aya ma nu ngabayuan inya, ulah dek ngaheuryan inya, ku na dasa, calagara, kapas timbang, pare dondang, mang(k)a ditudi(ng) ka para muhara, mulah dek men –
Taan inya beya pun, kena inya nu purah ngabuhaya, mibuhayakeunna ka caritaan pun, nu pageuh ngawakan na dewasanana //o//
Terjemaahan :
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan dasa, calagra, kapas timbang, dan pare dongdang. Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran agama. Mereka yang teguh mengamalkan hukum-hukum dewa.
Prasasti 5
Ini piteket nu seba ka papajaran, miteketan ka kabuyuran di sun(n)da
sembawa, aya ma nu ngabayuan, mulah aya numunah-munah inya nu ngaheureuyan
lamu aya nu kadeu paambahan lurah sunda sembawa eta lurah kawikwan.
Terjemahan :
Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberikan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan ada yang menghapus atau mengganggu nya. Bila ada yang bersikeras menginjaknya daerah Sunda Sembawa aku perintahkan agar di bunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta.
Jika dicermati peringatan yang tertera dalam Prasasti 3 dan 4 tersebut akan nampak adanya amanat dari Wastu Kancana kepada Susuhanan Pajajaran (Sri Baduga) yang disampaikan melalui Ningrat Kancana, untuk mengurus wilayah Jayagiri dan Sunda Sembawa. Jika dihubungkan dengan Prasasti 1 akan diketahui bahwa di daerah Jayagiri dan Sunda Sembawa terdapat batas antara Kota dan Kabuyutuan. Sunda Sembawa didalam sejarah awal merupakan daerah asal Terusbawa, cikal bakal raja-raja Sunda. Di daerah tersebut pernah pula dijadikan ibukota Tarumanagara pada masa Purnawarman.
Kabuyutan atau Dawasasana dikelola oleh kelompok wiku, mereka mengurus keagamaan, kesejahteraan raja, negara dan penduduk. Wilayah para wiku di dalam prasasti 1 disebut lemah larangan, yakni daerah otonom atau semacam perdikan, dikepalai oleh Lurah Kawikwan (Kawikuan). Dalam prasasti 5 ditegaskan pula bahwa siapapun yang memasuki lemah larangan tanpa ijin akan dijatuhi hukuman mati.
Disekitar lemah larangan terdapat sangga, yaitu penduduk yang mendukung keberadaan dan ngabayuan (menghidupi) Kabuyutan. Sangga dimaksud dalam prasasti ini dimungkinkan berada di dalam wilayah Sunda Sembawa dan Jayagiri. Dengan demikian di Jayagiri dan Sunda Sembawa terdapat Lemah Rangan dan Sangga.
Sri Baduga di dalam prasasti 3 dan 4 memerintahkan agar penduduk di kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu dasa (pajak tenaga perorangan), calagra (pajak tenaga kolektif), kapas timbang (kapas 10 pikul) upeti dan pare dongdang (padi 1 gotongan). Urutan pajak tersebut didalam kropak 630 adalah dasa, calagra, upeti, dan panggeureus reuma, sedangkan petugas pajak disebut Pangurang.
Pare dongdang disebut panggeres reuma. Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha, sedangkan Reuma adalah bekas ladang. Memang contoh untuk panggeres reuma saat ini sudah tidak ada, yang dimaksud adalah padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen, kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru. Didalam keyakinan masyarakat Sunda dimasa lalu, hasil tanah demikian milik lelembut, karena tidak ada yang mengurusnya, namun pelaksanaan panennya diwakilkan menjadi hak milik raja, sehingga padi yang tumbuh demkian selanjutnya menjadi hak raja atau penguasa setempat.
Dongdang adalah alat pikul seperti tempat tidur persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dongdang harus selalu di gotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut dongdang (berayun). Dongdang biasanya digunakan untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, pare dongdang atau penggeres reuma lebih bersifat barang antaran.
Kewajiban yang benar-benar harus ditunaikan adalah pajak tenaga atau dasa dan calagra, di Majapahit disebut walaghara atau pasukan kerja bakti. Didalam memenuhi dasa dan calagra dilakukan untuk kepentingan raja, diantaranya tugas untuk menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di serang ageung atau ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi.
Sistem dasa dan calagara masih diteruskan pada masa para Bupati Belanda. Pada masa itu wilayah Jawa Barat sudah diserahkan Mataram kepada Belanda. Sedangkan kekuasaan Mataram di Jawa Barat didapatkan, karena adanya penyerahan begitu saja oleh Suradiwangsa kepada Sultan Agung, raja Sumedang Larang, pengganti Prabu Geusan Ulun. Sistim ini sebagai bentuk simbiosa mutualisma para Bupati dalam mempertahankan batas wilayah kekuasannya dengan kepentingan Belanda yang membutuhkan hasil bumi, konon wilayah Jawa Barat merupakan penghasil kopi terbaik. Padahal di negara Belanda sendiri tidak mengenal sistem semacam ini. Belanda memanfaatkan sistim ini untuk kerja rodi. Bentuk dasa diubah menjadi Heerendiensten, yakni bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar yang memang bertujuan untuk kepentingan Belanda dan pribadi para bupati, bukan untuk kepentingan umum seperti pada masa Sri Baduga.
Disamping pajak ada pula yang disebut beya (restribusi) yang dipungut di pelabuhan, muara sungai, tempat penyebrangan dan tempat-tempat lainnya. Didalam Prasasti 3 dan 4 penduduk Sunda Sembawa dan Jayagiri dibebaskan dari seluruh pajak dan restribusi. Hal ini berkaitan dengan tugasnya untuk mengurus kabuyutan yang terletak di keua perbatasan Jayagiri dan Sunda Sembawa.
Dalam kaitan ini dapat dipahami, dengan memajukan lemah larangan atau lurah kawikwan (kawikuan), Sri Baduga memajukan pula pendidikan bagi semua kalangan melalui lembaga – lembaga binayapanti yang ada didaerah tersebut. Binayapanti yang dimaksud adalah tempat belajar atau pesantren yang ada di lemah larangan atau kabuyutan. Sama halnya dengan Kabuyutan yang dikembangkan oleh Prabu Darmasiksa dimasa lalu.
Didalam membahas Kabuyutan memang seolah-olah ada beberapa perbedaan fungsi, terutama antara Kabuyutan yang dikisahkan di Galunggung, Kanekes, Sukabumi (prasasti Cibadak) dan Sunda Sembawa. Fungsi kabuyutan Sunda Sembawa dan Jayagiri adalah Kabuyutan lemah Dawasasana yang berhubungan dengan dewa-dewa. Sedangkan Kabuyutan di Kanekes, atau Sasakadomas adalah Kabuyutan Jati Sunda atau Kabuyutan Parahyangan yang berhubungan dengan para leluhur. (RPMSJB, Jilid ke 4, hal. 6).
Masyarakat Sunda pada masa Pajajaran memiliki hirarki pemerintahan yang jelas. Hirarki tersebut merupakan satu kesatuan antara manusia dengan Hiyang, sehingga dapat diketahui juga tentang tingkatan Kabuyutan. Tingkatan tersebut, yakni : Wado tunduk kepada Mantri ; Mantri tunduk kepada Nanganan ; Nanganan tunduk kepada Mangkubumi ; Mangkubumi tunduk kepada Raja ; Raja tunduk kepada Dewa ; Dewa tunduk kepada Hyang.
Sumber dari Prasasti Batu Tulis
Karya Sri Baduga tercantum pula didalam Prasasti Batu tulis yang dibuat pada masa Surawisesa pada tahun 1455 saka atau 1533 masehi. Prasasti tersebut menerangkan sebagai berikut :
++ Wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebuguru dewataprana diwastu diya dingaran sri baduga maharaja ratu haji pakwan pajajaran sri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa niskala sa(ng) sidamoksa di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu ka(n)cana sa(ng) sidamokta ka nusalarang, ya siya nu nyiyan sakakala ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya siyapun ++ i saka. Panca pandawa e(m)bau bumi ++
Terjemahan :
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana ; dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusalarang. / Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). / dibuat dalam tahun Saka lima pandawa pengasuh bumi (1455).
Prasasti tersebut menunjukan adanya karya Sri Baduga, yakni membuat parit pertahanan ; gunung-gunungan ; mengeraskan jalan dengan batu membuat hutan samida ; dan membuat telaga Rena Mahawijaya. Namun dakam hal ini penulis hanya akan menyajikan beberapa saja.
Parit Pertahanan
Arti kata nyusuk lebih sering diterjemaahkan sebagai membuat Parit. Hal yang sama dilakukan oleh Tarusbawa, Banga, Hyang Batari dan Niskala Wastu Kancana yang tercantum didalam naskah maupun prasasti (Galunggung dan Batutulis). Parit ini kelak akan dicoba ketangguhannya dalam beberapa kali menghadapi serangan Banten. Konon benteng tersebut hanya dapat dijebol setelah ada pengkhianatan yang membuka pintu benteng dari dalam.
Parit yang dibangun Sri Baduga bertujuan untuk melindungi Sri Bima. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawang Gintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini Kuta Maneuh.
Hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler yang berkunjung ke Batutulis pada tanggal 14 Juni 1690. Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata paseban dengan 7 batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas balay yang lama.
Penelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang Saketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, Lawang Saketeng berarti porte brisee, bewaakte in-en uitgang (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawang Saketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.
Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Cipakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang di jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara jalan Suryakencana dengan jalan Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi, bekas pondasi benteng. Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ciliwung.
Deretan kios dekat simpangan jalan Siliwangi – jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung melewati kompleks perkantoran PDAM, lalu menyilang jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus jalan Siliwangi, di sini dahulu terdapat gerbang, terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.
Di Kampung Lawang Gintung, benteng ini bersambung dengan benteng alam yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Cipakancilan memisahkan ujung benteng dengan benteng pada tebing Kampung Cincaw.
Sakakala Gugunungan
Sakakala Gugunungan dimaksud merupakan tanda peringatan berupa gunung-gunungan yang letaknya diperkirakan terdapat di Badigul Rancamaya. Bukit Badigul memperoleh namanya dari penduduk karena penampakannya yang unik. Sebelum tahun 1984 bukit tersebut hampir gersang dan berbentuk seperti parabola dan tampak seperti wajan terbalik. Bukit-bukit disekitarnya tampak subur. Badigul hanya ditumbuhi jenis rumput tertentu. Mudah diduga bukit ini dulu dikerok sampai mencapai bentuk parabola.
Badigul dimungkinan waktu itu dijadikan Bukit Punden tempat berziarah, sama dengan yang dimaksud dalam rajah Waruga Pakuan dengan Sanghiyang Padungkulan.
Kedekatan telaga (diperkirakan di Rancamaya) dengan bukit punden bukanlah tradisi baru. Pada masa Purnawarman, raja beserta para pembesar Tarumanagara selalu melakukan upacara mandi suci di Gangganadi, Setu Gangga yang terletak dalam istana Kerajaan Indraprahasta – Cirebon Girang. Setelah bermandi suci, raja melakukan ziarah ke punden-punden yang terletak dekat sungai.
Jalan Berbatu.
Jalan berbatuan pernah ditemukan oleh regu ekspedisi Scipio pada tahun 1687, terletakdiantara Bogor dan Rancamaya. Hal yang sama ditemukan pula oleh Winkler (1690), tidak jauh dari prasasti ditemukan jalan berbatuan yang rapi menuju kearah Paseban dan ditandai oleh tujuh pohon beringin. Disebelah jalan tersebut diperkirakan bekas berdirinya Sri Bima. (RPMSJB, Jilid keempat, hal. 8).
Menurut Sutaarga (1966), kearah Pakuan Pajajaran dibuat jalan-jalan besar yang dapat dilalui gerobak-gerobak, Beberapa kilometer kearah utara Muaraberes di kali Ciliwung dan Ciampea masih ada bekas-bekas dermaga. Posisi ini berada disebelah barat dari Pakuan. Di Kali Cisadane semestinya dapat ditemukan bekas-bekas peninggalan dermaga atau sistim pertahanan, karena kedua tempat itu merupakan batas sungai yang dapat dilayari sampai ke muara Laut Jawa, pintu gerbang menuju pedalaman.
Dari Pakuan ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusa, Warunggede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwa karta, Sagalaherang, terus ske Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga Kawali dan ke pusat kerajaan Galuh Pakuan disekitar Ciamis dan Bojong Galuh. (Mungkin semacam jalan tol).
Samida
Samida adalah hutan yang kayunya di gunakan untuk pembakaran jenasah. Jenis kayu ini hampir sama dengan cemara dan pinus yang mudah terbakar. Hutan ini diperkirakan terletak diluar Pakuan dan berada di perbukitan. Jenis kayu demikian biasanya tumbuh didataran tinggi dan bercuaca dingin, sehingga dimungkiknkan tumbuh subur di wilayah Bogor.
Telaga Rena Mahawijaya
Winkler pada abad ke 17 dalam penelitiannya tidak menemukan bekas telaga tersebut, dimungkinkan telah jebol pasca serangan Banten, atau memang telah hancur karena bencana alam. Kesulitan menemukan telaga ini berakibat banyaknya dugaan-dugaan.
Pleyte menyebutkan, bahwa telaga yang dimaksud adalah kolam tua di Kotabatu, terletak lima kilo meter sebelah barat daya Pakuan. Sebelumnya ditemukan banyak patung disana, kemudian oleh Friederich dipindahkan ke kebon raya, namun luas kolam tersebut tidak memenuhi syarat jika disebutkan sebagai telaga. Pada masa sesudahnya, Poerbacaraka (1921) menyebutkan, bahwa yang dimaksud Telaga Rena Wijaya tersebut adalah Telaga Warna yang terletak di daerah puncak. Dugaan tersebut tidak beralasan, mengingat di dalam Bujangga Manik, sekitar tahun 1473 – 1478 ia pernah berhenti di dekat Talagawarna dana masih tetap utuh. Kisah Bujangga Manik tersebut menyebutkan, sebagai berikut :
Sananyjak aing ka Bangis, / Ku ngaing geus / aleumpang, / Nepi ka Talaga Hening, / Ngahusir aing ka Peusing.
Menurut Suhamir Salmun telaga ini terletak pada aliran Ciliwung. Namun para petutur Pantun mengisahkan, bahwa : “telaga yang berada pada aliran Ciliwung disebut Kamalawijaya (kamala = air), sedangkan yang berada di Rancamaya disebut Rena Wijaya. Istilah Rena Wijaya menjadi Rancamaya disebabkan lidah urang sunda yang lebih familir menyebutkan Ranca ketimbang menyebutkan Rena. Hal ini dianggap sejalan dengan naskah Carita Parahyangan, yang menyatakan Rancamaya pernah disaeuran (di bandung) oleh Sang Haluwesi, adik Susuktunggal. (RPMSJB, Jilid Keempat, hal.8)
Menurut Amir Sutaarga (1966), danau buatan tersebut menahan air sungai Ciliwung dari Bantar Peuteuy sampai dengan Babakan Pilar. Jika dilihat dari ketinggian air mancur (tugu, pilar), dari sisi jalan raya Jakarta – Bogor (bukan dari jalan tol), kemudian turun kebawah menuruni Sungai Ciliwung, maka akan nampak adanya penyempitan pada tepi sungai ini, dan dasar pada sungai ini jatuh dibawah masih kelihatan penumpukan batu-batu kali yang besar.
Sutaarga menggambarkan keadaan tersebut setelah terinspirasi dari informasi juru pantun Bogor :
Inyana laju nindak deui / ka leuwi Kipatahunan / anu kiwari disarebutna / Sipatahunan atawa Cipatahunan / nu aya di talaga panjang / nu ngaran Talaga Kamala Rena Wijaya / anu kiwari mah ngan kari urut / nyanghulu ka Bantar Peuteuy / nunjangna ka Babakan Pilar. (ia kemudian pergi lagi / ke lubuk Kipatahunan / yang sekarang disebut orang / Sipatahunan atau Cipatahunan / yang adanya di Telaga Kemala Rena Wijaya / yang sekarang hanya tinggal bekasnya / beruhulu ke Bantar Peuteuy / ujung kakinya pada Babakan Pilar).
Bila diteliti keadaan sawah di Rancamaya sebelum dijadikan real estate, dapat diperkirakan bahwa dulu telaga itu membentang dari hulu Cirancamaya sampai ke kaki bukit Badigul di sebelah utara jalan lama yang mengitarinya dan berseberangan dengan Kampung Bojong. Sebelum tahun 1966, di sisi utara lapang bola Rancamaya, merupakan tepi telaga yang bersambung dengan kaki bukit.
Alasan lainnya, kedekatan Cirancamaya dengan Badigul melambangkan adanya kesatuan Sunda dengan Galuh, yakni Cirancamaya dilambangkan sebagai urang Galuh (air) sedangkan gunung Badigul dilambangkan sebagai urang Sunda (gunung).
Sri Baduga disebut Sang Lumahing (Sang Mokteng) di Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya, sehingga Rancamaya dianggap memiliki nilai yang tersendiri. Rancamaya terletak kira-kira 7 Km di sebelah tenggara Kota Bogor. Rancamaya memiliki mata air yang sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs makam kuno dengan pelataran berjari-jari 7.5 m tertutup hamparan rumput halus dan dikelilingi rumpun bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu terdapat Pohon Hampelas Badak setinggi 25 meter dan pohon beringin.
Dewasa ini seluruh situs sudah dihancurkan, bahkan sudah dirikan Real Estate. Konon surat keputusan tentang Cagar Budaya tidak mampu menahan laju pembangunan – Pre Historis, namun pernah di dalamnya ditambah sebuah kuburan baru, lalu makam kunonya diganti dengan bata pelesteran, ditambah bak kecil untuk peziarah dengan dinding yang dihiasi huruf Arab. Makam yang dikenal sebagai makam Embah Punjung ini mungkin sudah dipopulerkan orang sebagai Makam Wali, sama seperti kuburan Embah Jepra pendiri Kampung Paledang yang terdapat di Kebun Raya, disebut sebagai makam Raja Galuh. Mungkin pula sama dengan klim Gus Dur terhadap Makam leluhur Panjalu di Situ Lengkong. Jadi kapan ditatar Sunda bisa memiliki jejak ‘Karuhun’-nya.
Dari berita Portugis
Pada tahun 1513 Portugis mengunjungi Pajajaran dengan membawa empat kapal. Berita ini diketahui dari catatan Tome Pires yang ikut dalam rombongan tersebut. pada kesempatan ini pula Tome Pires berhasil mewawancarai beberapa pihak yang ada di Pajajaran, untuk kemudian ia bukukan didalam “The Suma Oriental”.
Dari penelitiannya Tome Pires mengetahui wilayah pelabuhan yang termasuk yuridiksi Pajajaran. Ia menyebutkan Banten, Pontang, Cigede, (muara Cidurian), Tamgara (muara Cisadane), Kalapa, Karawang dan Cimanuk, sedangkan Cirebon pada waktu itu telah memisahkan diri. Tapi Pires hanya menyebutkan, bahwa Cirebon termasuk wilayah Demak. Untuk kemudian ia membahas Cirebon dalam babnya tentang Jawa.
Dayo (dayeuh) di istilahkan untuk menyebut ibukota yang terletak sejauh dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa. Rumah-rumah di Pakuan indah-indah dan besar, terbuat dari kayu palem, sedangkan istana raja (Sri Bima) dikelilingi oleh 330 pilar, masing-masing sebesar tong anggur yang tinggi + 9 meter dan dihiasi berbagai macam ukiran pada puncaknya.
Menurut RPMSJB (1983-1984), Pires menyebutkan Sunda sebagai negeri ksatria dan pahlawan laut. Para pelaut Sunda berlayar keseganap pelosok negeri sampai ke Maladewa. Komoditi perdagangan yang terpenting adalah beras (10 jung pertahun), lada (1.000 bahar setahun), kain tenun (diekspor ke Malaka). Demikian pula sayuran dan daging sampai melimpah, bahkan tamarin (asam) cukup untuk dimuat dalam seribu kapal. (Jilid keempat, hal 10).
Pajajaran telah mengenal alat tukar, berupa uang emas dan kepeng. Pajajaran juga sebagai importir tekstil halus dari Cambay dan kuda Pariaman yang mencapai 4.000 ekor setahun. Kuda tersebut digunakan sebagai alat pengangkutan, angkatan perang dan berburu yang merupakan olah raga kaum bangsawan.
Kesan Tome Pires terhadap Urang Sunda waktu itu adalah : menarik (goodly figure), ramah, tinggi, kekar (robust), dan ‘the are true man’ – mereka orang jujur. Sedangkan terhadap pemerintahan Sri Baduga mencatat, bahwa :”Kerajaan Sunda diperintah dengan adil “ (The Kingdom of Sunda is justly geverned).
Dari kebebasaran tersebut, ada lantunan Ki Baju Rombeng, Juru Pantun dari Bogor yang hidup pada awal ke 20.
Talung talung keur Pajajaran / jaman aya keneh kuwarabekti / jaman guru bumi di pusti-pusti / jaman leuit tangtu eusina metu / euweuh nu tani mudu ngijon / euweuh nu tani nandonkeun karang / euweuh nu tan paeh ku jengkel / euweuh nu tani modar ku lapar.
(masih mending waktu Pajajaran / ketika masih ada kuwarabekti / ketika guru bumi dipuja-puja / ketika lumbung padi melimpah ruah / tiada petani perlu mengijon / tiada petani harus mati kelaparan / tiada petani harus mati karena kesal / tiada hatus petani mati karena lapar). Cag heula. (***)
PEMISAHAN CIREBON
Perkawinan Sang Pamanahrasa (Sri Baduga Maharaja) dengan Nyi Mas Subanglarang, putri dari Ki Gedeng Tapa, memperoleh putera dan putri, yakni Walangsungsang, Rara Santang dan Rajasangara. Sang Pamanah Rasa mempersunting Nyi Mas Subanglarang setelah terlebih dahulu mengalahkan Raja Sakti Mandraguna dari wilayah Cirebon, yakni Amuk Murugul. Dengan demikian, baik dari Sirsilah ibu maupun ayah, Walangsungsang masih teureuh Niskala Wastu Kancana.
Subanglarang sebelum dipersunting Sang Pamanahrasa terlebih dahulu telah memeluk agama Islam. Ia alumnus Pesantren Quro yang didirikan oleh Syeh Hasanudin atau Syeh Quro (bukan Sultan Hasanudin), Syeh Hasanudin masuk ke wilayah ini pada masa Laksamana Cheng Ho. Menjadi tidak mengherankan jika putra-putrinya dari Subanglarang memeluk agama Islam dan direstui oleh Sang Pamanahrasa.
Bahwa memang ada cerita tentang keluarnya ketiga bersaudara tersebut keluar lingkungan istana Pakuan disebabkan perselisihan tahta antara Subanglarang dengan Kentring Manik Mayangsunda. Namun ada versi lain yang menceritakan bahwa keluarnya Walangsungsang dari lingkungan Pakuan bersama adiknya, Nyi Mas Rarasantang dilakukan dengan seijin ayahnya, sedangkan Rajasangara tetap berada dilingkungan Pakuan. Tahta Pajajaran dikemudian hari diserahkan kepada Surawisesa, putra mahkota dari Kentring Manik Mayang Sunda.
Iskandar (2005) menjelaskan, bahwa : pada suatu ketika, Walangsungsang bersama adik-adiknya meminta izin secara baik-baik kepada ayahandanya, untuk pergi ke Kerajaan Singapura (Cirebon). Alasan Walangsungsang dan adik-adiknya yang utama dikemukakan secara terus terang kepada ayahnya. Walangsungsang yang berstatus Tohaan (Pangeran), juga adik-adiknya, merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai putera-puteri Maharaja. Mereka merasa haus akan ilmu pengetahuan, terutama dibidang keagamaan. Ketika ibunya masih hidup, mereka ada yang membimbing, tetapi ketika ibunya telah wafat, di Pakuan tidak ada orang yang bisa dijadikan guru mereka. Tidak Ada lagi penenang batin yang memadai bagi mereka.
Sri Baduga Maharaja menurut versi lainnya, ketika itu masih berstatus Prabu Anom, bahkan mertuanya (Prabu Susuktunggal) masih dibawah kekuasaan kakeknya, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana. Sri Baduga Maharaja atau Prabu Anom Jayadewata, sangat maklum atas keinginan ketiga puterinya itu. Dengan berat hati ia hanya mengijinkan Walangsungsang dan Rara Santang, sedangkan Rajasangara dimohon tetap tinggal di Pakuan.
Berdirinya Pakungwati
Pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April 1445 Masehi, bertepatan dengan 1 Muharam 848 Hijriah, Pangeran Walangsungsang membuka perkampungan baru dihutan pantai kebon pasisir yang bernama Cirebon Larang atau Cirebon Pasisir.
Nama tersebut diambil berdasarkan nama yang sudah ada, yaitu kerajaan Cirebon yang terletak dilereng Gunung Cereme yang pernah dirajai oleh Ki Gedeng Kasmaya (putera sulung Sang Bunisora). Ketika Cirebon Pasisir sudah berdiri, kawasan Cirebon yang dilereng Gunung Cereme kemudian disebut Cirebon Girang.
Daerah baru tersebut berkembang pesat. Dua tahun setelah didirikan tercatat ada 346 orang. Kampung baru Cirebon Pasisir, penduduknya terdiri atas caruban (campuran) berbagai bangsa dan agama. Mereka sepakat memilih Ki Danusela menjadi kuwu yang pertama, dan Ki Samadullah terpilih menjadi pangraksabumi, dengan julukan Ki Cakrabumi yang kemudian dijuluki pula Pangeran Cakrabuana.
Setelah menunaikan ibadah haji Pangeran Walangsungsang alias Ki Samadullah, mendapat nama baru, yakni Haji Abdullah Imam. Kemudian bermukim di Mekah selama 3 bulan. Di Cirebon, isterinya Indah Geulis, putri dari Ki Danuwarsih telah melahirkan seorang puteri. Untuk kemudian diberi nama Nyai Pakungwati.
Dalam rangka penyebaran agama, ia memperisteri Ratna Riris (puterinya Ki Danusela) dan namanya diganti dengan Kancana Larang. Selanjutnya Ki Danusela wafat, Walangsungsang diangkat menjadi kuwu yang kedua di Cirebon Larang.
Pada tahun 1479 M, kedudukannya digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Syarif Hidayat berkuasa sejak tahun 1479 – 1568.
Dalam Pustaka Pakungwati Carbon (1779 M) yang disusun oleh Wangsamanggala – Demang Cirebon Girang atas perintah Sultan Muhammad Saifuddin (Matang Aji), dijelaskan tentang letak Pakungwati sebagai berikut :
“Keraton ini didirikan di sebelah barat Kali Karyan. Dahulu disebut Kali Carbon yang dalam jaman hindu disebut Kali Subha. Sebelah hulunya disebut Kali Gangga dan disebelah hulunya lagi disebut Carbon Girang”.
Pembentukan Pakungwati direstui Pajajaran. Sri Baduga mengutus Ki Jagabaya untuk menyampaikan tanda kekuasaan dan memberi gelar Sri Mangana kepada Walangsungsang, putranya. Pada saat itu disampaikan oleh Ki Jagabaya disertai Jasangara, adik bungsu Walangsungsang.
Cirebon Merdeka
Naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2 menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran dan menyatakan Cirebon todak lagi berada dibawah kekuasaan Pajajaran. Tindakan tersebut dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat desakan dari para wali lainnya.
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sri Bima di Pakuan diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran. Untuk mengetahui keadaan itu Sri Baduga mengutus Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya, namun Ki Jagabaya dan pasukannya disergap hingga tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon – Demak yang jumlahnya sangat besar. Akhirnya Jagabaya masuk Islam.
Peristiwa tersebut membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Ia memerintahkan untuk menyiapkan pasukan besar agar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan dapat dicegah oleh Purohita – pendeta tertinggi keraton, yakni Ki Purwa Galih, dengan alasan, tidak pantas seorang kakek menyerang anak dan cucunya. Disamping itu diyakinkan pula, bahwa yang mengangkat Syarif Hidayat adalah Walangsungsang, putranya sendiri.
Perjanjian Internasional Pertama
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya, sehingga wajar jika ia mencurahkan perhatian kepada tegaknya pubatisti, purbajati dan membuat parit pertahanan, sebagaimana yang dijelaskan didalam berbagai naskah.
Tome Pires (1513) menyebutkan Sunda sebagai negeri ksatria dan pahlawan laut. Para pelaut Sunda berlayar keseganap pelosok negeri sampai ke Maladewa. Namun berdasarkan keterangan lain Pajajaran hanya memiliki 6 buah Jung, itupun hanya untuk kepentingan perdagangan antar pulaunya. Memang pada waktu itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai sudah 4.000 ekor pertahun.
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada 4 pasangan yang dijodohkan, yaitu : Pangeran Hasanudin (Banten) dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi) ; Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor ; Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun ; dan Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa). Perkawinan Sabrang Lor – Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511, pada saat itu ia menjabat sebagai Senapati Sarjawala (Panglima angkatan laut) Kerajaan Demak, sehngga ia untuk sementara berada di Cirebon.
Hubungan Cirebon-Demak pada masa itu menurut versi lain dianggap mencemaskan Sri Baduga di Pakuan, ia mengutus putera mahkota (Surawisesa) menghubungi Panglima Portugis di Malaka, yakni Alafonso d’Albuquerque, ketika itu baru saja Portugis merebut Pelabuhan Pasai. Pada tanggal 21 Agustus 1522 secara resmi Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis. Perjanjian ini di akui dan dikomentasikan sebagai perjanjian internasional pertama di bumi Nusantara.
Upaya Pajajaran melakukan perjanjian dengan Portugis telah meresahkan pihak Cirebon dan Demak. Didalam versi lain yang menghubungkan dengan penyerangan Fadilah Khan ke Kalapa (Jakarta), Pajajaran dianggap salah karena meminta bantuan asing. Padahal Pajajaran sedang mempertahankan kedaulatan wilayahnya. Terhadap versi ini akan menjadi pertanyaan jika diketahui sejarah selanjutnya, yakni ketika Demak menyertakan pasukan Portugis, Banten dan Fadilah Khan (Kalapa) untuk menaklukan Blambangan, Panarukan dan Pasuruan. Dengan demikian menjadi wajar pula ketika ada versi yang menegaskan, bahwa direbutnya Kalapa dari tangan Pajajaran bukan karena masalah penyebaran agama, melainkan suatu bentuk aneksasi dari suatu negara terhadap wilayah negara lain.
Kemudian kisah Surawisesa yang menjadi utusan dalam perundingan dengan Portugis disilokakan didalam Lalampahan Mundinglaya Dikusumah dengan kisah Langlayangan Salaka Domas. Di dalam kisah itu diceritakan Mundinglaya bertemu dengan Guriang, konon sebutan Guriang merupakan siloka bagi orang Portugis yang tinggi besar.
Ketegangan Pakuan dengan Cirebon yang dibantu Demak dan Banten tidak sampai mengakibatkan peperangan, oleh karena itu masing-masing pihak dapat memiliki kesempatan untuk mengembangkan keadaan di dalam negerinya, bahkan kerajaan Pajajaran mencapai puncaknya dan Cirebon menjadi puser penyebaran agama Islam.
Dari penelitiannya Tome Pires (1513) mengetahui wilayah pelabuhan yang termasuk yuridiksi Pajajaran. Ia menyebutkan Banten, Pontang, Cigede, (muara Cidurian), Tamgara (muara Cisadane), Kalapa, Karawang dan Cimanuk, sedangkan Cirebon pada waktu itu telah memisahkan diri. Tapi Pires hanya menyebutkan, bahwa Cirebon termasuk wilayah Demak. Untuk kemudian pembahasan Cirebon ia masukan didalam babnya tentang Jawa. (***).
SURAWISESA
Pasca wafatnya Sri Baduga, kemudian digantikan oleh Surawisesa (1522 – 1535), puteranya dari Kentring Manik Mayang Sunda. Surawisesa dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan kasuran (perwira), kadiran (perkasa) dan kuwanen (pemberani). Selama 14 tahun masa pemerintahannya mengalami 15 kali pertempuran. Penulis Carita Parahyangan menuturkan, sebagai berikut :
Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang di Padaren, Ratu gagah perkosa, teguh jeung gede wawanen.
Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun peperangan teh kakuatan baladna aya sarewu jiwa.
Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung. Perang ka Ancol kiyi. Perang ka Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka Gunungbatu. Perang ka Saungagung. Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka Padang. Perang ka Pagoakan. Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka Pagerwesi. Perang ka Madangkahiangan.
Didalam kisah Pantun dan Babad Surawisesa dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Mundinglaya Dikusumah. Ia memiliki Permaisuri bernama Kinawati yang berasal dari Kerajaan Tanjung Barat, yang terletak di daerah Pasar Minggu sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati, penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan, dahulu bernama Kaung Pandak. Di Muara Beres ini bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Pada jaman dahulu merupakan kota pelabuhan dan berada dititik silang. VOC mencatat tempat ini sebagai daerah yang berjarak satu setengah kali perjalanan dari Muara Ciliwung. Dan diberi nama Jalan Banten Lama atau “oude Bantamsche weg”.
Duta Sunda
Pada tahun 1511 armada Demak sedang berada di Cirebon. Hal ini dianggap mengancam kedaulatan Pajajaran, terutama pasca Cirebon menyatakan diri sebagai negara merdeka yang lepas dari kekuasaan Pajajaran. Oleh karena itu Sri Baduga mengutus putra mahkotanya, yakni Surawisesa untuk mengadakan hubungan dengan Portugis.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d’Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan tersebut disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Kisah ini dimuat didalam Pustaka Nusantara III/1. Naskah tersebut sebagai berikut :
Karena itu Sang Prabu Pakuan Pajajaran mengutus putera mahkota yaitu Ratu Sangian atau Prabu Surawisesa. Duta Kerajaan Pajajaran ini menuju ke negeri Malaka. Di sana sang duta menegadakan persahabatan dengan pemimpin (nerpati) orang Portugis yang bernama Laksamana Bungker.
Ia telah berjanji akan selalu membantu Kerajaan Pajajaran bila diserang oleh Pasukan Demak dan Cirebon serta inhgin menjalin hubungan dagang. Setahun kemudian orang-orang Portugis berkunjung ke Pulau Jawa. Jumlah kapalnya 4 buah.
Mereka menginggahi semua pelabuhan yang ada di negeri Sunda, dan sang bule membuat surat kelak ketika sang putra mahkota telah menjadi ratu Sunda dengan gelar Prabu Surawisesa. [RPMSJB, Jilid ke-4, 16].
Surawisesa ketika itu masih menjadi Prabu Anom. Kelak dikemudian hari para penulis babad dan petutur pantun mengisahkan lalampahannya ini di dalam Lalakon Salaka (mungkin sakakala) Domas, dengan nama Munding Laya Dikusumah, sedangkan orang Purtugis digambarkannya sebagai Guriang.
Menurut Tome Pires orang Portugis yang mengikuti pelayaran penjajakan pada bulan Maret – Juni 1513, menyatakan, bahwa pada saat itu Portugis telah berhasil menguasai perairan Malaka.
Dari pihak Demak nampaknya berupaya pula untuk menguasai Malaka dari tangan Portugis, namun serangan yang dilakukan pada tahun 1518 dan 1521 yang dipimpin Sabrang Lor untuk menyerang posisi Portugis di Pasai, mengalami kegagalan, bahkan Sabrang Lor, Sultan Demak kedua gugur. Portugis dapat dikalahkan di Pasai pada tahun 1595, ketika itu pasukan laut Aceh dipimpin Laksamana Malahayati. Sedangkan posisinya di Malaka masih dapat dipertahankan sampai dengan tahun 1641. Pada masa itu Portugis berhasil dikalahkan oleh Kumpeni Belanda.
Pasca berakhirnya pertempuran di Pasai, Surawisesa sebagai duta Sunda untuk kali kedua berkunjung ke Malaka. Disatu sisi, pasca kegagalan menyerang Pasai, kemudian Demak mengalihkan perhatiannya untuk menguasai selat Sunda. Hal ini dilakukan untuk mengamankan kepentingan dagangnya. Namun sulit dipertahankan Sunda, mengingat Sri Baduga pada akhir tahun 1521 wafat dan bantuan Portugis masih belum tiba.
Dipihak Demak telah terjadi suksesi. Pada tahun 1521 dinobatkan Sultan Ahmad Abdul Arifin sebagai sultan Demak yang ketiga. Ia putra ketiga dari Raden Patah yang lahir pada tahun 1483. Ia memperoleh tahta Demak karena Sabrang Lor tidak memiliki putra, maka ia menggantikan kedudukan kakaknya sebagai Sultan Demak.
Menurut salah satu versi Sultan Ahmad Abdul Arifin memperoleh nama Trenggono karena ketika hamil ibunya mengidam untuk pergi ke Trangganu, karena lidah penduduklah kemudian sebutan itu berubah menjadi Trenggono.
Pada tahun 1522 Surawisesa naik tahta. Penobatannya dihadilir oleh pihak utusan pihak Portugis di Malaka. Pada akhir kunjungan tersebut utusan Portugis dengan Pakuan menandatangani perjanjian dengan Pajajaran. Perjanjian tersebut menurut Soekanto (1956) ditandatangai pada tanggal 21 Agustus 1522.
Ten Dam (1957) menganggap bahwa perjanjian itu dibuat secara lisan, akan tetapi sumber portugis yang dikutip oleh Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield” (Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu).
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Pajajaran akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun, untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua costumodos atau + 351 kuintal.
Perjanjian Pajajaran dengan Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggono. Hal ini disebabkan Selat Malaka yang dijadikan pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus.
Trenggono segera mengirimkan armadanya di bawah pimpinan Senapati Demak, yakni Fadilah Khan. Pada saat itu Fadillah Khan telah memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana (Cirebon). Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya, yakni Barkat Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah.
Posisi Fadilah Khan juga sangat kuat, karena ia masih terhitung cucu Sunan Ampel, atau Ali Rakhmatullah. Hal ini dikarenakan buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar, ayah dari Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I).
Barros menyebut Fadillah dengan Faletehan. Hal ini sesuai dengan lafal orang Portugis dalam menyebutkan Fadillah Khan, namun Tome Pinto menyebutnya Tagaril, dari sebutan Ki Fadil. Nama ini julukan sehari-hari dari Fadillah Khan. Nama Fadillah sendiri baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah.
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya, Syarif Hidayat menjadi Bupati Banten pada tahun 1526.
Setahun kemudian Fadillah menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran. Menurut Versi lainnya pada masa itu Kalapa tidak dijaga ketat oleh Legiun Sunda, mengingat jarak Pajajaran dengan Kalapa diperkirakan dua hari (Tome Pires : 1453). Menurut versi lainnya, jarak tempuh dari Ibukota Pakuan ke Kalapa lewat perairan memerlukan waktu dua minggu.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan membawa 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa.
Pada tanggal 30 Juni 1527 di Muara Cisadane De Sa memancangkan padrao dan menjuluki Cisadane dengan nama Rio de Sa Jorge. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah.
Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Pasca Sri Baduga
Setelah Sri Baduga wafat, penguasa Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana atau Walasungsang. Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Ia masih putra Sri Baduga dari Subanglarang, sedangkan Surawisesa putra Sri Baduga dari Kentring Manik Mayangsunda. Dengan demikian keengganan Cirebon unuk menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang, sehingga terjadi pertempuran di wilayah Citarum bagian barat.
Pada masa itu Cirebon mendapat dukungan penuh dari Demak. Pada suatu ketika Cirebon menjadi lemah. Hal ini terjadi pasca kegagalan Demak menyerbu Pasuruan dan Panarukan yang berakibat terbunuhnya Sultan Trenggono. Selain itu di Demak sedang terjadi perebutan, bahkan salah satu putra Syarif Hidayat wafat. Pada masa selanjutnya kedudukan Cirebon terdesak dan terlampaui oleh kejayaan Banten, sedangkan Cirebon berubah menjadi vasal Demak.
Perjanjian dengan Cirebon
Perang Pajajaran dengan Cirebon yang dibantu Banten dan Demak berlangsung 5 tahun, karena pasukan gabungan Cirebon tidak berani naik ke darat, sedangkan dipihak lain Pajajaran tidak memiliki armada laut yang kuat. Cirebon hanya berhasil menguasai kota pelabuhan. Pertempuran Pajajaran dengan Cirebon menurut Carita Parahyangan terjadi 15 kali, berlangsung dari tahun 1526 – 1531.
Di front timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pada tahun 1528 Cirebon pernah dipukul mundur oleh Galuh. Berkat kepemimpinan Pangeran Cakrabuana pada akhirnya pasukan Galuh berhasil dipukul mundur sampai ke Talaga. Didaerah ini pasukan Galuh menghimpun kekuatan.
Cirebon menghentikan sementara serangannya ke Talaga, karena pada tahun 1529 Cakrabuana (Walangsungsang) wafat. Pada tahun berikutnya serangan ke Talaga dilakukan, maka pada tahun 1530 Talaga dapat dikalahkan. Raja Talaga kemudian masuk islam dan Talaga menjadi bawahan Cirebon
Kekalahan Galuh disebabkan kurang matangnya persiapan perang dan minimnya peralatan perang yang dimiliki. Sementara pasukan Cirebon di bantu Demak memiliki pasukan meriam yang jauh lebih efektif dibandingkan pasukan panah Galuh.
Pada peristiwa ini Sumedang telah masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon, Hal ini terjadi pasca dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedanglarang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi, pendiri pesantren pertama di Cirebon. Pangeran Santri dari Sindangkasih dapat menjadi bupati Sumedang Larang karena pernikahan dengan Satyasih, Pucuk Umum Sumedang, bahkan acara syukuran penobatannya dilakukan di Cirebon.
Menurut versi lain, pada tahun 1504 M Pangeran Palakaran menikah dengan seorang putri Sindangkasih. Dari pernikahannya maka pada tahun 1505 M melahirkan seorang putra yang diberi nama Ki Gedeng Sumedang (Pangeran Santri). Tentang putri Sindangkasih atau ibunda Pangeran Santri memang membuahkan beberapa kesimpulan. Apakah Pangeran Santri tersebut putra dari putri Sindangkasih (Rambutkasih) yang tilem, karena tidak mau memeluk agama islam, atau putri dari kerabat putri Sindangkasih ?. Namun masalah ini akan dibahas tersendiri.
Dengan posisi di timur Citarum yang telah dikuasai, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing.
Pada tahun 1531 antara Pajajaran yang diprakarsai Prabu Surawisesa dengan Cirebon yang diprakarsai Syarif Hidayat dilakukan perdamaian, masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka ; sederajat ; dan bersaudara sebagai ahli waris Sri Baduga. Dari pihak Cirebon yang ikut menandatangani naskah perjanjian adalah Pangeran Pasarean, putera mahkota Cirebon ; Fadillah Khan ; dan Hasanudin, Bupati Banten.
Bagi Cirebon, penghentian peperangan tersebut dikarenakan pihaknya telah cukup puas dengan menguasai wilayah pesisir Sunda. Hal ini bertujuan untuk mengamankan jalur perdagangannya dan merebut kota pelabuhan. Sementara bagi Pajajaran berakibat kerugian besar, karena lebih dari separuh wilayah peninggalan Sri Baduga telah hilang. Dengan dukungan pasukan belamati yang setia, Surawisesa masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya di Pakuan.
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, berkesempatan untuk membangun Sunda. Dalam suasana seperti itulah Surawisesa mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang Sri Baduga, ayahnya.
Pada tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia melakukan upacara Srada, yakni upacara untuk menyempurnakan sukma yang harus dilakukan 12 tahun setelah seorang raja wafat. Kemudian membuat Sakakala, tanda peringatan tentang Sri Baduga Maharaja dalam bentuk suatu prasasti, yang sekarang kita kenal dengan sebutan ‘Prasasti Batu Tulis.’
Dalam prasasti dicantumkan Maha Karya ayanya satu persatu, bahkan diakhir kalimat ‘ya siya pun.’ Hal ini untuk menunjukan bahwa benar Sri Baduga lah yang membuat tanda-tanda itu, yakni membuat parit pertahanan di Pakuan ; membuat tanda peringatan berupa gunung – gunungan ; mengeraskan jalan dengan batu membuat (hutan) samida ; membuat telaga Rena Mahawijaya. Ya dialah yang membuat semua itu.
++ Wang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebuguru dewataprana diwastu diya dingaran sri baduga maharaja ratu haji pakwan pajajaran sri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa niskala sa(ng) sidamoksa di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu ka(n)cana sa(ng) sidamokta ka nusalarang, ya siya nu nyiyan sakakala ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya siyapun ++ i saka. Panca pandawa e(m)bau bumi ++
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi Astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi Padatala ukiran jejak kaki. Menurut versi lain, pemasangan batu tulis tersebut bertepatan dengan upacara Srada, karena dengan dilaksankannya upacara demikian maka sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Pada tahun 1535 masehi, atau dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai Sakakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Diantara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun.
Ti dinya mulang ka pakwan deui.
Hanteu naunan deui.
Ratu tilar dunya.
Lawasna jadi ratu opatwelas taun.
Sumber Bacaan :
Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor. Sumber : pasundan.homestead.com – Sumber : Salah Dana Sasmita, Sejarah Bogor, 24 September 2008.
Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor, – 1983.
Foto :wikipedia.org/wiki/Berkas:Pakuanpajajaran.jpg
Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
Sumber Bacaan :
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.
Yosep Iskandar, Perang Bubat, Naskah bersambung Majalah Mangle, Bandung, 1987.
Yus Rusyana – Puisi Geguritan Sunda : PPPB, 1980
Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.
Sejarah Bogor (Bagian 1), Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor.
pasundan.homestead.com – Sumber : Salah Dana Sasmita, Sejarah Bogor, 24 September 2008.
wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh, 5 April 2010.
Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Sejarah Bogor – bagian 1, Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor – 1983 – di copy dari pasundan.homestead.com
Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung – 1966.
Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) – Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005
Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Di Kutip dari : GUNUNG SEPUH
akibalangantrang.blogspot.com
Disarikan oleh : Agus Setiya Permana
Dari : berbagai sumber
Langganan:
Postingan (Atom)